Perburuan oleh manusia masih menjadi ancaman terbesar menurunnya populasi banteng liar di habitatnya.
Banteng adalah hewan yang berkerabat dengan sapi dan banyak ditemui di kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Ada dua jenis hewan bernama Latin Bos javanicus tersebut, yaitu banteng liar dan banteng ternak, yang lebih dikenal di Indonesia sebagai sapi bali dan dapat ditemui di Bali, Nusa Tenggara, serta Sulawesi. Banteng liar dapat dijumpai di Pulau Jawa (Bos javanicus javanicus) dan Kalimantan (Bos javanicus lowi).
Hewan herbivora berciri khas bercak besar putih pada bagian bokong serta keempat kaki dari lutut ke bawah juga ada warna putih seolah si banteng memakai kaus kaki. Warna kulit si jantan cenderung gelap dengan perawakan tegap, kuat, dan bahu depan lebih tinggi dari bagian belakang. Sedangkan banteng betina umumnya berkulit cokelat muda. Baik jantan maupun betina terdapat tanduk di bagian kepala. Makhluk berkaki empat ini hidup berkelompok antara 10--12 ekor dengan hanya seekor pejantan.
Seperti dikutip jurnal zoologi milik Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden, Belanda, banteng pertama kali dideskripsikan oleh naturalis Jerman Joseph Wilhelm Eduard d'Alton pada tahun 1823 silam. Nama banteng diserap dari bahasa Jawa bantheng dan deskripsi awal d'Alton mengenai mamalia besar ini berasal dari dua tengkorak hewan yang berasal dari Jawa dan berjenis kelamin jantan dan betina. d'Alton hanya menyebut banteng bagi tengkorak hewan jantan.
Sejak itu, beberapa ilmuwan memberikan sejumlah nama Latin bagi banteng, kendati d'Alton menyebutnya sebagai Bos javanicus, mengacu kepada lokasi penemuannya. Banteng Jawa masih dapat ditemui dengan mudah di 3 pusat konservasi di Jawa Timur, yaitu Taman Nasional Baluran, Alas Purwo, dan Meru Betiri. Begitu pula di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup, hingga 2023 lalu populasi banteng Jawa di Baluran mencapai 211 ekor diikuti Alas Purwo (175 ekor), dan Meru Betiri (72 ekor).
Kondisi sebaliknya justru terjadi pada banteng kalimantan, subspesies banteng dengan ukuran tubuh terkecil. Jika banteng Jawa jantan memiliki panjang tubuh berkisar 200--240 sentimeter (cm) dan berat maksimal 900 kilogram (kg), maka banteng kalimantan ukurannya tak lebih dari 190--225 cm dan berat maksimal 800 kg saja. Hutan lebat di pedalaman Kalimantan merupakan habitat banteng kalimantan.
Termasuk, di kawasan konservasi Taman Nasional Kutai (Kalimantan Timur) dan Taman Nasional Kayan Mentarang (Kalimantan Utara). Banteng itu juga dapat ditemui pada hutan nonkonservasi di Belantikan Hulu, Kalimantan Tengah. Sejumlah literasi menyebutkan, populasi banteng kalimantan jauh lebih sedikit dibandingkan banteng Jawa, bahkan kurang dari 100 ekor.
Hutan Belantikan Hulu letaknya di Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau. Tepat di tengah hutan mengalir Sungai Belantikan yang hulunya berada di Pegunungan Schwaner dan menjadi batas alam antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat. Lokasi ini antara 2013 hingga 2019 menjadi tempat riset banteng kalimantan bagi para peneliti sumber daya hayati dan bioteknologi dari IPB University dan Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin).
Desa Nanga Matu yang berada di pesisir selatan Kalteng dan berada paling hulu merupakan salah satu titik pengamatan banteng kalimantan. Seperti umumnya desa lain di sepanjang aliran Sungai Belantikan, kawasan hutan Desa Nanga Matu merupakan hutan produksi (HP). Pegiat konservasi dari Yayorin, Edy Santoso seperti dikutip dari website resminya mengatakan bahwa keberadaan banteng kalimantan di Belantikan Hulu diketahui pertama kali pada 2003.
Bukti Fisik
Riset awal yang digelar pada 2003 mendapati adanya informasi dari masyarakat bahwa ada habitat seperti banteng di dalam hutan desa. Selanjutnya, pihak Edy menemukan bukti fisik berupa tanduk, kotoran, dan jejak kaki banteng kalimantan itu. Bersama para peneliti IPB University, mereka kemudian bergerak untuk mengtahui jumlah populasi banteng kalimantan.
Kamera penjebak (trap camera) pun dipasang pada 32 titik pada kawasan seluas 64 kilometer persegi (km2). Umumnya kamera dipasang pada lokasi tempat banteng berkumpul karena ada kolam atau salt lick dan mineral lick. Masyarakat lokal menyebutnya sebagai sopanan dan rada. Awalnya populasi banteng kalimantan sempat terhitung hingga angka 30 ekor. Tetapi setelah melibatkan pihak Tropical Forest Conservation Aid (TFCA), rupanya jumlah tersebut susut menjadi 20 ekor saja.
Kendati tersedia cukup pakan dalam jumlah melimpah bahkan mencapai 63 jenis di antaranya bambu, kelakai, hingga paku-pakuan, banteng kalimantan tetap menghadapi beberapa ancaman terutama perburuan oleh manusia. Sebab, sebagai kawasan nonkonservasi, setiap orang bisa bebas masuk dan keluar kawasan hutan Belantikan Hulu. Selain itu kegiatan penebangan pohon dan pembukaan lahan baru turut menambah penderitaan salah satu mamalia besar Pulau Kalimantan tersebut.
Tindakan seperti disebutkan tadi membuat ruang gerak kawanan banteng kalimantan menjadi terbatas sebab mereka kehilangan sumber air minum dan pakan serta lokasi untuk berkembang biak. Padahal banteng liar adalah spesies mamalia besar paling terancam di dunia dan oleh Lembaga Konservasi Alam Internasional (IUCN) telah dimasukkan ke dalam Daftar Merah (Redlist) dengan status Genting (Endagered). Artinya, populasi banteng liar berada di ambang kepunahan sangat tinggi jika tidak ada upaya penyelamatan terhadap habitat dan populasinya.
Upaya mencegah makin berkurangnya populasi banteng kalimantan terus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan. Seperti dilakukan Kantor Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng yang menggandeng Yayorin. "Kami selalu berdampingan dengan Yayasan atau LSM yang bergerak di konservasi lingkungan dalam melakukan riset dan kampanye," ucap Kepala Kantor SKW II Pangkalan Bun Dendi Sutiadi seperti dikutip Antara.
Terbitkan Aturan
Sejak 2019, mereka secara intens melakukan sosialisasi kepada masyarakat di 4 desa seputar kawasan hutan Belantikan Hulu yang meliputi Nanga Matu, Kahingai, Petarikan, dan Bintang Mangalih. Hasilnya, perangkat desa sepakat menerbitkan peraturan bagi masyarakat desa maupun luar desa yang melarang perburuan atau merusak habitat banteng kalimantan di dalam kawasan hutan Belantikan Hulu. Bagi siapa saja yang melanggar aturan desa tersebut akan mendapatkan sanksi berupa denda.
Perlindungan terhadap banteng, baik subspesies banteng Jawa dan banteng kalimantan juga telah dilakukan pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018. Dalam beleid hukum tersebut, terpampang jelas bahwa pemerintah memberikan perlindungan penuh kepada keanekaragaman hayati termasuk banteng dari ancaman kepunahan. Sebelumnya, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) no.180/IV-KKH/2015 disebutkan bahwa banteng merupakan satu di antara 25 satwa prioritas yang harus dilindungi.
Jauh sebelum itu, Pemerintah Kolonial Belanda sejak 1931 juga telah memasukkan banteng sebagai satwa dilindungi. Upaya serupa juga dilakukan pemerintah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAE dimana terdapat ratusan keanekaragaman hayati didaftarkan sebagai flora dan fauna yang wajib dilindungi termasuk banteng Jawa dan banteng kalimantan.
Salah satu ketentuan dalam UU 5/1990 tersebut adalah larangan berburu, membunuh, atau mengawetkan dan memperdagangkan satwa liar yang dilindungi, baik dalam kondisi hidup atau mati. Jika melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi penjara 5 tahun dan denda Rp1 miliar. Oleh sebab itu, menjaga kelestarian satwa liar yang hidup di alam Indonesia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama. Agar keberadaannya bisa tetap dipertahankan sebagai plasma nuftah Indonesia.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf