Penetapan Pinisi sebagai Art of boatbuilding in South Sulawesi adalah bentuk pengakuan internasional terhadap arti penting pengetahuan lokal dan perkapalan tradisional yang dimiliki nenek moyang Indonesia dan terwariskan dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Pengetahuan lokal dan teknologi pembuatan kapal seperti model Pinisi ini diperkirakan telah dikenal sejak 1500 tahun lalu. Pola ini didasarkan pada teknologi kuno yang lebih sederhana dan telah berkembang 3.000 tahun silam. Bermula dari teknologi sederhana seperti lesung kayu untuk menumbuk padi, 'perahu lesung', hingga berkembang menjadi kapal cadik dan bertiang layar.
Sejarah bangsa Austronesia sebagai moyang bangsa Asia juga termasuk Indonesia, konon ialah bangsa bahari yang telah berhasil mengembangkan teknologi pelayaran dan navigasi sejak ribuan tahun lalu. Adanya pengakuan UNESCO itu maknanya kini bagi masyarakat Indonesia juga dunia adalah Pinisi menjadi lambang perihal kapal layar asli Nusantara.
Pinisi adalah kapal tradisional Indonesia khas etnis Bugis dan Makasar. Pinisi berasal dari kata 'panisi' yang dalam Bahasa Bugis yaitu mpnisi (mappanisi), yang berarti menyisip. Maknanya adalah menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air. Lopi dipnisi (lopi dipanisi) artinya perahu yang disisip. Dari kata panisi inilah mengalami proses fenomik menjadi pinisi.
Sentra pembuatan kapal berpusat di Tana Beru, Bira dan Batu Licin di Kabupaten Bulukumba. Sekitar tujuhpuluh persen masyarakat setempat mencari nafkah melalui pekerjaan yang berhubungan dengan pembuatan kapal dan navigasi. Wajar, masyarakat Bugis sendiri sebenarnya mengenal beberapa tipe kapal, antara lain, Pinisi, Lambo’ Palari, Lambo’ Calabai, dan Jarangka’ Soppe’ Pajala’. Namun sejauh ini yang terkenal ialah tipe Pinisi.
Menarik dicatat di sini. Pembuatan kapal dan seni pelayaran tak hanya menjadi andalan ekonomi masyarakat, melainkan juga fokus utama kehidupan sehari-hari dan bahkan jadi identitas budaya setempat.
Pinisi bagi masyarakat bukanlah semata-mata karya peradaban manusia dalam arti profan, itu juga karya manusia dalam arti sebagai perwujudan kekuatan spiritulisme alam yang sakral. Alamlah yang mengajar kepada masyarakat tentang bagaimana membuat Pinisi.
Dalam kosmologi masyarakat pesisir, laut dimaknai sebagai bagian dari unsur alam yang terpisah dari unsur daratan. Laut dan darat ialah entitas tersendiri dan terpisah satu dengan lainnya. Sehingga saat kedua unsur itu hendak disatukan maka harus melalui upacara ritual tertentu supaya unsur laut dan darat itu menyatu dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Demikianlah kira-kira makna dan tujuan dari ritual appassili, yaitu upacara peluncuran kapal. Dilakukan pada malam hari, ritual ini bersifat wajib supaya kapal tidak tertimpa musibah saat melaut. Besar atau kecilnya ritual tergantung pada kemampuan pemilik kapal itu.
Pada ritual appassili disediakan kue-kue tradisional gogoso, kolapisi (kue lapis), onde-onde, kaddo massingkulu (kue dari beras yang dibungkus daun bambu), sogkolo (nasi ketan), dan unti labbu. Menariknya, bahkan sebelum sebuah kayu itu nantinya dibuat jadi kapal, masyarakat mengenal upacara annakbang kalibeseang. Sebuah ritual yang bertujuan meminta persetujuan pada pohon yang akan ditebang dan diambil kayunya sebagai bahan pembuatan kapal.
Sebelum diadakan appassili, lazimnya juga dilakukan upacara songkabala. Yaitu, ritual penyembelihan binatang korban di depan kapal, entah itu sapi, kerbau, atau kambing.
Darah binatang itu lantas dibasuhkan di beberapa bagian kapal. Seperti haluan, mesin, dan daun kemudi kapal. Tujuannya, secara magis dan simbolik diharapkan kapal ini selalu terhindar dari peristiwa buruk saat melaut. Daging hewan dimasak dan disajikan pada saat ritual appassili. Ritual ini diisi doa, makan bersama, dan dilanjutkan menarik kapal hingga bergeser sedikit sebagai tanda, bahwa kapal siap turun ke laut.