Hikmah utama dari ritual Sekaten ialah pelajaran tentang hubungan dan dialog antaragama dalam bingkai budaya Jawa. Bagaimana tidak. Bicara sejarah islamisasi di tanah Jawa, tentu tak dapat dipisahkan dari keberadan Walisanga sebagai arsitektur sosialnya. Sedangkan bicara desain social engineering-nya, kasat mata bekerja melalui proses alkulturasi.
Secara historis, awalnya ritual Sekaten diselenggarakan sebagai piranti dakwah. Ya, Walisanga khususnya Sunan Kalijaga, sengaja memilih proses islamisasi melalui jalan kebudayaan dan kesenian.
Menyimak sejarah Sekaten, terlihat jelas dakwah Islam bukan dibangun melalui artikulasi politik yang tendensius dan eksklusivisme. Sebaliknya, dakwah justru dibangun melalui proses dialog dan sikap terbuka. Akomodatif atas unsur-unsur lokal, dan lebih jauh, bahkan berhasil mengembangkan sikap inklusivisme dan toleransi, serta model komunikasi tanpa tekanan.
Saat itu pola akulturasi ini jelas didukung oleh kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa. Proses ini utamanya terjadi di era Mataram-Islam, khususnya ketika Sultan Agung berkuasa. Pada masa itu mistisisme Jawa tampak mengalami perkembangan dan pengayaan warna diskursus yang semakin kompleks.
Secara umum, artikulasi diskursus ini mengambil model mistisisme. Diskursus ini bukan hanya berhasil menempatkan posisi raja sebagai guru sufi atau wali—dianugerahi setumpuk kemuliaan dan kesaktian—yang mengemban fungsi menjadi jembatan ketuhanan bagi kawula, melainkan juga piawai memadukan kosmologi Hindu-Budha dalam wadah sufisme Islam.
Merujuk sumber Kasultanan Yogyakarta, ritual Sekaten adalah tradisi yang telah diselenggarakan sejak zaman Kerajaan Demak. Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Ritual ini untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad.
Ada pendapat menyatakan, Sekaten berasal dari kata ‘sekati’. Sekati sendiri merupakan nama seperangkat gamelan yang diyakini berasal dari era Majapahit. Pendapat lain menyatakan, istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab, ‘syahadatain”, yang merupakan kalimat untuk menyatakan diri memeluk Islam.
Hingga kini terdapat empat kraton yang memiliki tradisi tahunan itu, yakni Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Kasepuhan, dan Kanoman Cirebon. Fokus ritual Sekaten sesungguhnya merujuk pada piranti gamelan atau disebut ‘gangsa’ dalam bahasa Jawa.
Prosesi Sekaten diawali dengan membawa keluar gamelan dari keraton ke masjid. Prosesi Sekaten diakhiri dengan membawa gamelan masuk kembali dari masjid ke kraton. Kyai Sekati, demikianlah nama piranti gamelan itu.
Kembali pada strategi kebudayaan Sunan Kalijaga. Bagaimanapun, Islam datang ke tanah Jawa ketika situasi budaya dan tradisi non-Islam telah mengakar kuat. Strategi alkulturasi sengaja dipilih Sunan Kalijaga sebagai jalan syiar. Masuk melalui proses penyesuaian terhadap adat istiadat, tradisi, dan budaya Jawa saat itu, kemudian ditambahkan unsur atau nilai-nilai Islam di dalamnya.
Di sini adanya latar belakang kosmologi mistisme dan perilaku asketis orang Jawa tentu penting dicatat. Saat berkunjung ke tanah Jawa antara 1512 – 1515, Tome Pires memberi kesaksian bahwa tradisi kepertapaan atau kebiarawanan sebagai upaya manusia bersatu dengan Tuhannya lazim ditemui di tanah Jawa. Tome Pires bahkan mencatat, sepanjang kunjungannya itu ditemui setidaknya limapuluh ribu pertapa.
Berkaitan tradisi asketisme itulah, menjadi wajar sekiranya folklore Jawa juga mengisahkan, saat mula-mula berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga pun mengawali karir dakwahnya dengan menjadi seorang pertapa.
Diceritakan, tubuh Raden Said, demikian nama muda Kalijaga, sampai ditumbuhi lumut dan semak belukar lantaran begitu lama bertapa di pinggir sungai. Itulah muasal nama Kalijaga yng berasal dari bahasa Jawa, yakni ‘kali’ yang artinya sungai dan kata ‘jaga’ yang artinya penjaga atau penunggu.
Ya, dari tradisi mistisisme dan asketisme dalam budaya Jawa inilah terbuka ruang bagi proses alkuturasi sekaligus ruang konvergensi. Yang dari sana pulalah, kemudian memungkinkan munculnya titik temu sinkretis dan universal dari pluralisme kebenaran agama-agama. Islamisasi tanah Jawa oleh Walisanga, khususnya Sunan Kalijaga, jelas berangkat dari titik pijak itu.
Jejak kepiawaian Sunan Kalijaga cukup banyak. Misalnya, pada ritual Sekaten atau Garebek Mulud. Secara historis, ritual ini bermula dari proses adaptasi budaya, yaitu dengan mengadopsi ritual Rajameda atau Rajawedha di zaman Majahapit dan lantas memberikan nilai-nilai Islami.
Keberadaan Canthang Balung, yaitu seorang brahmana yang memimpin arak-arakan pembawa sesaji dalam ritual Hindhu di era Majapahit, misalnya, oleh Sunan Kalijaga sengaja dihilangkan dalam ritual Sekaten.
Tak kecuali melalui proses menggubah narasi lakon wayang. Ambil contoh lakon Jimat Kalimasada, misalnya, jelas nama judul ini berasal dari Kalimat Syahadat. Berisi pengakuan adanya Tuhan yang tunggal dan Nabi Muhammad ialah utusan-Nya.
Contoh lain, nyanyian anak-anak (tembang dolanan) “Gundul-gundul Pacul” yang demikian populer, atau sebut juga nyanyian bertema rohani seperti “Lir-ilir” atau “Kidung Rumekso ing Wengi” yang sangat sohor di kalangan masyarakat Jawa. Semuanya ini melukiskan keberhasilan strategi kebudayaan Sunan Kalijaga ketika berdakwah, sekaligus jadi bukti penerimaan orang Jawa atasnya.
Ya, Sunan Kalijaga bukan hanya dikenal piawai mengembangkan strategi kebudayaan sebagai seni dakwah, dia juga dikenang oleh masyarakat Jawa sebagai pribadi yang mengajarkan Islam bukanlah agama kekerasan. Boleh dikata, penerimaan masyarakat Jawa khususnya yang berdomisili di daerah Vorstenlanden atas kharisma Sunan Kalijaga hampir-hampir hegemonik. Sunan Kalijaga jadi panutan bagi masyarakat Jawa saat mendudukan soal agama dan tradisi.
Fenomena Unik
Ya, bicara fenomena Islamisasi Jawa memang sangat menarik. Saking uniknya proses keislaman masyarakat Jawa, Anthony Reid dalam karyanya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 mendudukkan fenomena Islamisasi Jawa sebagai kasus khusus di tengah-tengah perkembangan umum Islam di Asia Tenggara. Kata kunci utamanya, kekuatan Kejawen.
Kekuatan Kejawen yang bersifat langgeng itu, seturut Anthony Reid, membuat daerah-daerah berbahasa Jawa tampak unik di antara budaya-budaya Islam lainnya di Asia Tenggara. Dalam konteks pembentukan “Islam-Jawa”, sebutlah demikian, Reid bahkan mencatat Sultan Agung berhasil membangun sintesis kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam, hal yang tidak pernah berhasil dilakukan oleh Sultan Akbar di India.
Selain berhasil mengembangkan stratifikasi bahasa Jawa ke dalam bentuk ngoko, kromo madya, dan krama inggil, kebijakan terobosan Sultan Agung lainnya ialah mensintesiskan sistem kalender Saka dan kalender Hijriah (Islam) menjadi sistem kalender Jawa seperti yang dikenal sekarang.
Maka sejak itu berakhirlah sistem kalender Saka di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang sangat bercorak Islam dan sama sekali tidak berbau Hindu-Budha atau budaya India. Kebijakan Sultan Agung itu disetujui dan diikuti oleh Sultan Abdul Mufakkir Mahmud Abdul Kadir dari Banten.
Pada titik ini, jika ditanyakan sejauh mana Sultan Agung telah mengimplementasikan ajaran Islam? Anthony Reid mencatat. sekalipun Sultan Agung tidak memaksakan ajaran Islam secara ketat pada rakyatnya, dia memberlakukan hal-hal penting tertentu. Pejabat kerajaan harus Islam dan melakukan sunat. Begitu juga orang-orang Eropa yang menjadi tawanan dan tidak ingin dihukum mati pun harus demikian.
Masih menurut Reid, di masa Sultan Agung itulah, ritual Sekaten mengalami perkembangan luar biasa dan menjadi perayaan kerajaan yang terbesar sepanjang tahun. Hal menarik juga diungkap sejarawan HJ de Graaf.
Menurut de Graaf (1986), sejak Raja Banten beroleh gelar Sultan pada 1638, segala daya dan upaya dilakukan untuk memperoleh atribut itu. De Graaf mencatat, pada 1641 telah dipersembahkan sebuah gelar Sultan dari Arab. Merujuk dokumen Belanda, nama gelar itu lengkapnya adalah Sultan Abdul Mahomet Moulana Matavani. Dalam tafsiran de Graaf, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani ialah Sultan Agung.
Barulah di masa Amangkurat IV berkuasa (1719 – 1724) atribut gelar Kalipatullah diterima. Praktis Amangkurat IV adalah raja Jawa pertama yang mengenakan gelar itu. Nama gelar itu lengkapnya ialah Prabu Mangku-Rat Senapati Ingalaga Ngabdu’-Rahman Sayidin Panatagama Kalipatullah. Dan konon, gelar itu didapat dari otoritas dunia Muslim.
The Religion of Java karya Clifford Geertz tentu patut disebutkan di sini. Bukan saja karena karya ini telah menjadi klasik, melainkan juga selalu jadi rujukan utama hampir seluruh peneliti yang concern mengkaji Islam di Jawa. Meski bukannya tanpa kritik dan kelemahan, konsepsi trikotomi Geert, yaitu abangan, priyayi, dan santri—merujuk pendapat Donald K Emmerson (1976)—merupakan a favorite topic bagi pengamat kehidupan agama Islam di tanah Jawa.
Belakangan, datang kritik tajam dari Marshall GS Hodgson. Dalam The Venture of Islam, Hodgson membeber kekeliruan Geertz. Bahwa tanpa disadari, Geertz telah mendefinisikan Islam dengan membawa bias asumsi kacamata pelaksanaan syariah versi kaum Islam modernis. Menurut Hodgson, “Bagi yang paham Islam, melihat datanya yang demikian komprehensif itu—tak peduli maksud Geertz sendiri—menunjukkan betapa sedikitnya yang masih bertahan dari Hindu masa lalu, bahkan di pedalaman Jawa, dan menimbulkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam itu justru sedemikian sempurnanya.”
Ya, budaya hibrida adalah karakteristik budaya Nusantara. Senyawa unsur-unsur global dan unsur lokal senantiasa menjadi elan dinamik sekaligus penentu konstruksi sosial warna kebudayaan di dalamnya. Wajah Hindu dan Budha di sini memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan Hindu dan Budha di tanah kelahirannya, India.
Begitu juga Islam di Nusantara. Walhasil dalam perkembangannya, jadilah sebuah negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, namun tercatat paling sedikit mengalami proses Arabisasi.
Terkait kehidupan agama, masyarakat Jawa sejak dulu juga telah dikenal memiliki karakter moderat dan memiliki toleransi tinggi terhadap penganut agama-agama lain. Bahkan menurut temuan Ben Anderson, kemampuan untuk bersikap tolerans dan menghargai pluralisme kebenaran agama-agama lain adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi orang Jawa.
Barangkali saja kutipan di bawah ini, yang diambil dari karya Ben Anderson Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, dapat memberikan ilustrasi perihal karakteristik Islam-Jawa:
“Sudah tentu saya orang Islam, tetapi bukan orang muslim yang fanatik. kami orang-orang Jawa bisa bergaul dengan orang-orang Kristen dan Budha. kami melihat kebenaran dalam semua agama dan tidak hanya (eksklusif) dalam kepercayaan kami.”