Indonesia.go.id - Lasem sebagai Model Alkulturasi

Lasem sebagai Model Alkulturasi

  • Administrator
  • Rabu, 30 Januari 2019 | 12:59 WIB
WISATA ANTROPOLOGI
  Sendratari Pada Pucak Perayaan Imlek. Sumber foto: Antara Foto

“Pasca-Orde Baru, bicara wacana relasi antaretnis, secara paradigmatik sering dihadapkan pada pilihan antara model ‘asimilasi’ di satu sisi atau ‘integrasi’ di sisi lain. Sementara itu, bicara hikmah dari model alkulturasi antaretnis di Lasem, tampaknya justru melebihi daripada dua model itu. Apa kata kuncinya? Pernikahan antaretnis.

Bagi komunitas pecinta batik, nama batik Lasem sudah tentu mendapatkan tempat tersendiri. Terlebih produk batik yang menyandang nama ‘Batik Tiga Negeri’. Sebuah nama yang boleh dikata melegenda di dunia batik.

Popularitasnya hingga menjangkau kawasan Jawa Barat. Sebutlah Bandung, Garut, atau Tasikmalaya, kain batik ini nisbi sangat laris manis di kalangan masyarakat berada. Tak kecuali, pada abad ke-19 hingga ke-20, batik Lasem juga seringkali jadi mas kawin dalam pernikahan adat masyarakat Betawi.

Tak tanggung-tanggung, harga kain batik yang menyandang branding itu bisa dibanderol belasan juta rupiah, menariknya justru adalah produk lawasan dan bukan baru. Label merek Tjoa jadi identitas kuat untuk produk batik lawasan itu.

Adalah Ny Tjoa Giok Tjiam, pengusaha batik peranakan yang pertama kali mempopulerkannya Batik Tiga Negeri pada 1910. Dalam perjalanannya bukan hanya Lasem, tetapi Pekalongan dan Solo pun mengeluarkan produk batik dengan kombinasi ketiga warna itu dan juga diberi nama yang sama.

Disebut Batik Tiga Negeri karena proses pembuatannya dicelup di tiga lokasi yang berbeda, yang masing-masing terkenal dengan kekhasan warnanya. Warna merah dicelup di Lasem; biru di Pekalongan; dan soga di Solo.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548854535_Batik_Tiga_Negeri_Solo.JPG" style="height:359px; width:479px" />

Batik Tiga Negeri Solo. Sumber foto: Istimewa

Ada yang unik dengan warna merah pada batik Lasem, atau dalam bahasa Jawa disebut ‘abang getih pithik’. Warna ini hanya bisa dibuat oleh para pembatik di Lasem. Konon, karena perbedaan karakteristik mineral dalam air maka corak warna merah itu tidak dapat ditiru oleh daerah lain.

Apa yang membuat produk Lasem jadi menarik ialah, pada motif batik ini tidak lagi kental dengan nuansa Mataraman. Selain variasi motifnya lebih beragam, batik Lasem juga dikenal sebagai batik pesisiran yang indah dengan warna yang ekspresif.

Dalam beberapa literatur batik, batik Lasem disebutkan sebagai salah satu varian klasik atau biasa disebut “pakem” dengan pola dan corak yang punya kekhasan sendiri. Populer dengan sebutan batik tulis ‘kendoro kendiri’ atau batik ‘pesisiran Laseman’. Motif-motif batik Lasem merupakan perwujudan pembauran budaya antara etnis Jawa dan Tionghoa yang telah berlangsung ratusan tahun lalu.

Munculnya Sentra Batik

Carita Lasem atau Babad Lasem sendiri menceritakan, batik Lasem konon berkorelasi erat dengan kedatangan rombongan Laksamana Cheng Ho pada 1413. Alkisah, salah satu anak buah kapal Cheng Ho, yaitu Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni, memilih tinggal di Bonang Lasem setelah melihat panorama indah Jawa.

Kemudian babad ini menerakan, di tempat mukimnya yang baru ini, Na Li Ni mulai membatik bermotif burung hong, liong, bunga seruni, banji, mata uang, dan utamanya ialah penggunaan ‘warna darah ayam’ yang adalah warna kesukaan etnis Tionghoa.

Besarnya pengaruh tradisi Tionghoa ke dalam seni batik Jawa terlihat dari diadopsinya berbagai motif Tionghoa ke dalam seni batik Jawa. Beberapa yang termasyur, antara lain, ‘motif naga’ (atau ‘liong’ dari bahasa China ‘long’), ‘swastika’ (banji), ‘mega mendung’, dan ‘tamansari’.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548853828_batik_tiga_negeri_lasem.jpeg" style="height:336px; width:420px" />

Batik Tiga Negeri Lasem. Sumber foto: Istimewa

Merujuk jurnal sejarah dan budaya ‘Patrawidya’ edisi April 2017 terbitan Yogyakarta, dua peneliti dari Undip yaitu Nazala Noor Maulany dan Noor Naelil Masruroh menulis, bahwa eksistensi batik telah dikenakan oleh para bangsawan Lasem sejak Bhre Lasem I berkuasa, 1350-1375. Tuanya tradisi batik Lasem, terlihat dari jejak historis yang masih tersisa dalam penyebutan corak warna batik tertentu. Di Lasem, warna coklat tua dan biru tua sampai sekarang di masih disebut dengan istilah ‘sogan Majapahit’.

Jurnal itu juga menyebutkan, sudah sejak 1850-an Lasem dikenal sebagai sentra batik yang diproduksi oleh pengusaha Tionghoa. Sedangkan jikalau merujuk Denys Lombard dalam ‘Nusa Jawa: Silang Budaya’, bahkan diduga produksi batik di Cirebon dan Lasem nisbi telah berkembang semenjak abad ke-18.

Jikalau Asia Tenggara sudah tercatat dalam kronik berita China sejak abad ke-3, dan Pulau Jawa di abad ke-5, maka khusus Lasem telah tertulis sejak abad ke-12. Di masa kebesaran Kerajaan Majapahit, selain di Sampotoalang, Tuban, dan Ujung Galuh, adalah Lasem, yang sering disebut sebagai salah satu tempat berkembangnya pemukiman Tionghoa di Jawa. Merujuk catatan sejarah NJ Krom, Pratiwo dalam ‘The Historikal Reading of Lasem’ mengatakan perkampungan etnis Tionghoa ini telah ada sejak awal berdirinya Majapahit, yaitu kisaran 1294-1527.

Sedangkan dari catatan kronik China di sepanjang abad ke-12 hingga ke-17, Lasem, yang dahulu kala terkenal dengan nama ‘Lao Sam’, merupakan tujuan favorit para imigran Tionghoa yang umumnya berasal dari pesisir selatan China, yaitu Fujian dan Guangdong.

Buku ‘Lasem: Negeri Dampoawang: Sejarah yang Terlupakan’ karya M Akrom Unjiya mencatat, batik Lasem di awal abad ke-19 telah mengalami masa keemasannya. Batik ini tidak hanya di pasarkan ke seluruh Nusantara, melainkan juga telah diekspor hingga ke Thailand dan Suriname.

Dalam fase keemasan ini membuat para desainer motif batik semakin bermunculan dan semakin kreatif. Motif baru pun pesat bermunculan, seperti latohan, gunung ringgit, kricakan, watu pecah, dan lainnya. Ada catatan menarik terkait motif kricakan, motif ini muncul terinspirasi oleh penderitaan rakyat di Hindia Belanda yang saat itu harus bekerja keras memecah-mecah batu besar untuk membuat jalan pos sepanjang Anyer–Panarukan, sesuai perintah Gubernur Jenderal Deandels.

Akrom Unjiya juga menuliskan, sejalan dengan masa keemasan batik Lasem, tumbuhlah komunitas seniman pembatik Lasem, yang secara gender didominasi kaum perempuan. Konon, semua perempuan Lasem ialah seniman batik yang handal, dan selalu menurunkan keahliannya itu kepada anak perempuan mereka.

Bahkan di masa itu, kesempurnaan seorang perempuan yang telah menginjak usia dewasa, salah satunya diukur dari kemahirannya memainkan canting, menorehkan lilin cair di atas lembaran mori putih membentuk titik, garis, dan lengkung, serta citra gambar motif tertentu secara ekpresif dan estetik.

Alkulturasi via Pernikahan

Pada titik ini, bicara potret alkulturasi etnis Tionghoa di Lasem tentu bukan hanya batik. Beranjangsana ke Lasem segera ditemui banyak bangunan bergaya arsitektur Tionghoa klasik berdiri. Juga dalam segi bahasa, berkunjung ke Lasem tidak bakalan ditemui masyarakat etnis Tionghoa mahir berbahasa Mandirin. Sebaliknya yang dikenakan ialah justru bahasa Indonesia atau Jawa.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548853516_klenteng_gie_yong_bio.jpg" />

Klenteng Gie Yong Bio Lasem. Sumber foto: Wordpress

Bukan hanya itu. Bahkan, sekiranya peka mengamati aspek sosiokultural Lasem pun juga segera terlihat fenomena alkulturasi antara etnis Tionghoa dan Jawa yang menunjukkan bahwa telah terjadi di banyak aspek kehidupan yang telah berlangsung lama. Walhasil, terbentuklah lanskap budaya tersendiri.

Ya, lahirlah budaya “Tionghoa peranakan”, sebutlah demikian. Buku yang berjudul ‘Alkulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perpektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga – Sekarang)’ karya penelitian lapangan Dwi Ratna Nurhajarini, Ernawati Purwaningsih, dan Indra Fibiona mencatat, setelah generasi berganti generasi di Lasem, perkawinan campuran berperan membentuk generasi baru yang lahir dari pernikahan dengan perempuan lokal.

Singkat cerita, penelitian tersebut memaparkan, bahwa sejak awal terbentuknya komunitas Tionghoa di Lasem, kawin campur antaretnis antara Tionghoa dan Jawa, telah lazim dilakukan. Ini terjadi karena laki-laki Tionghoa yang merantau ke selatan tidak disertai istri-istri mereka. Sampai menjelang Perang Dunia I, para imigran Tiongoa ini cenderung bermigrasi tanpa disertai oleh para perempuan dalam jumlah yang signifikan.

Fenomena perkawinan campuran ini bahkan telah terjadi di awal saat rombongan Laksamana Cheng Ho hadir di Tanah Jawa. Anak perempuan dari Bi Nang Un dan Na Li Ni yang namanya disebut dalam Babad Lasem, yakni Bi Nang Ti menikah dengan laki-laki lokal bernama Pangeran Badranala. Dari pernikahan itu, lahirlah dua anak yaitu Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santhibadra. Pangeran Wirabajra itulah yang menggantikan posisi ayahnya selaku penguasa Lasem tatkala berada di bawah kuasa Kasultanan Demak.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548855567_100_3329.jpg" />

Kimsin Oei Ing Kiat dan Tan Pan Tjiang. Sumber foto: Silvia Galikano

Persekutuan melalui penikahan antara keluarga Tionghoa peranakan dan keluarga aristokrat Jawa tentu saja tak hanya sesekali itu terjadi.

Tercatat lagi di masa Sultan Agung di Mataram, Lasem dipimpin oleh seorang bupati keturunan Tionghoa bernama Cik Go Ing, yang kemudian diberi gelar Tumenggung Mertoguna. Bupati-bupati Lasem berikutnya dan juga bupati pesisir utara lainnya seperti Blora, Tuban, Kudus, Bojonegoro (Rajegwesi), posisinya diambil dari keturunan Tumenggung Mertoguna.

Perkawinan campuran itu hingga kini relatif masih lazim dilakukan. Munawir Aziz dalam karya penelitiannya 'Lasem Kota Tiongkok Kecil; Interaksi Tionghoa, Arab, dan Jawa dalam Silang Budaya Pesisiran' (2014) mencatat, di Lasem masih ada 54 keluarga hasil pernikahan antaretnis. Pernikahan antaretnis terbanyak terjadi di Desa Karangturi, sebuah pusat Pecinan di Lasem.

Di atas semua itu yang paling menarik digarisbawahi ialah cerita kepahlawanan masyarakat Lasem. Kenangan bersama masyarakat Lasem tentang kerja sama antaretnis maupun antaragama, yaitu Jawa dan Tionghoa plus kaum Santri, selalu merujuk pada momen ‘Perang Kuning’. Dipicu oleh peristiwa kerusuhan dan pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740, peristiwa itu kemudian meluas dan sampai juga di Jawa Tengah dan khususnya Lasem.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548897945_Patung_Raden_Mas_Panji_Margono.jpg" />

Patung Raden Mas Panji Margono. Sumber foto: Wikipedia

Perang Kuning di Lasem ialah perang melawan VOC Belanda yang berlangsung pada 1750. Kisah ini ialah kisah perlawanan rakyat Lasem di bawah pimpinan Bupati Lasem, Adipati Widyaningrat, yang memiliki nama Tionghoa ‘Oei Ing Kiat’, bekerja sama dengan RM Margana dan Kiai Ali Badawi.

Alkisah, perang melawan VOC Belanda itu dilakukan seusai salat jumat di masjid Lasem. Waktu itu yang menjadi imam ialah Kiai Baidlowi atau Badawi. Usai memberikan ceramah, Kiai Badwi mengeluarkan maklumat tentang makna penting perang melawan VOC Belanda. Babad Lasem mengisahkan, semua orang yang hadir di masjid itu menyatakan siap berperang melawan kompeni. Perang Kuning di Lasem ini kemudian berkembang hingga ke Rembang dan Juwana.

Sekalipun Perang Kuning melawan VOC Belanda berakhir pada kekalahan, hingga hari ini peristiwa bersejarah itu telah jadi simbol kepahlawanan dan persatuan di kalangan masyarakat etnis Jawa dan Tinghoa serta kaum Santri di Lasem. Dari kasus itulah muncullah Kelenteng Bie Yong Gio, kelenteng yang sengaja didirikan sebagai bentuk dedikasi yang dipersembahkan kepada para tokoh yang memimpin perang tersebut.

Tak aneh sekiranya menjelang ambruknya rezim Orde Baru, Lasem, yang oleh para peneliti Eropa sering dianggap sebagai ‘The Little Beijing Old Town’ atau ‘Le Petit Chinois’, dapat dengan mudah terhindar dari kerusuhan rasial yang saat itu sempat muncul di beberapa kota di Indonesia.

Sebagai penutup tulisan. Jikalau pasca-Orde Baru secara paradigmatik sering dihadapkan pada pilihan antara paham ‘asimilasi’ di satu sisi atau ‘integrasi’ di sisi lain, hikmah dari model alkulturasi antaretnis di Lasem tampaknya justru melebihi daripada dua model itu. Apa kata kuncinya?

Pernikahan antaretnis. Perkawinan sering dianggap sebagai bentuk puncak dari sebuah proses asimilasi maupun integrasi. Pasalnya dalam sebuah perkawinan sudah barang tentu selain terjadi proses peleburan budaya yang dibawa oleh dua orang yang menikah, juga pengakuan atas perbedaan budaya masing-masing dalam sebuah format integrasi. (W-1).