Indonesia.go.id - Ziarah Lintas Samudera

Ziarah Lintas Samudera

  • Administrator
  • Minggu, 14 April 2019 | 08:20 WIB
SEJARAH NUSANTARA
  Lukisan kapal belanda yang dipakai mengangkut haji. Sumber foto: Wikipedia

Jika pada milenium pertama, pemuka-pemuka Siwa-Buddha dari India dan Cina berziarah ke wilayah timur. Pertengahan mienium kedua, para peziarah dari Nusantara harus menuju ke barat.

Al Tabari, penulis Sejarah Para Raja dan Rasul, yang hidup di abad 10 telah menulis keberadaan orang-orang Sayabijah. Kata ini adalah bentuk jamak dari Sabaj atau Zabaj. Nama itu adalah sebutan bagi orang-orang yang berasal dari negeri kepulauan di timur jauh. Konon, sebutan itu berasal dari catatan Ptolemy yang membuat peta geografi di zaman Romawi.

Dua orang sejarawan klasik itu sepertinya tidak mengada-ada. Baru-baru ini Laboratorium Genetika Eijkmann, Jakarta, mempublikasikan penelitian tentang jejak penyebaran genetik orang-orang Nusantara.

Setidak-tidaknya sejak abad 8, orang-orang Nusantara sudah kawin (interbreed) dengan orang kepulauan Comoro di sebelah timur Tanzania. Orang-orang Madagaskar di sebelah selatannya, bahkan mempunyai garis ibu dari Banjar, Kalimantan Selatan. Perkawinan antarbenua itu diperkirakan terjadi pada sekitar abad 11 atau sezaman dengan Kedatuan Sriwijaya.

Bagaimana orang-orang Nusantara, bisa sampai di pantai timur Afrika hingga jazirah Arabia? Jawabannya adalah pelayaran samudera.

Pelaut-Pelaut Leluhur

Orang-orang Nusantara tercatat dalam sejarah sebagai pelaut yang luar biasa. Konon replika perahu Sriwijaya, yang terinspirasi dari pahatan Borobudur, adalah satu-satunya model perahu kargo penjelajah yang mempunyai kabin bagi selir atau gundik. Bandingkan dengan perahu-perahu Portugis yang melarang membawa perempuan karena berpotensi memicu konflik.

Gabriel Ferrand, orientalis dari Prancis, mengulas koloni orang-orang Nusantara di Madagaskar pada milenium pertama. Mereka adalah awak kapal yang tangguh. Penguasa-penguasa bandar memakai mereka untuk mengusir bajak laut. Sumber-sumber Cina mengatakan, mereka mampu berenang dengan mata terbuka. Kemampuan itu, saat ini dimiliki orang-orang Bajo, suku laut nomaden yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara.

Denys Lombard, Indonesianis dari Prancis dalam bukunya Nusajawa: Jaringan Asia, berkali-kali menjelaskan pentingnya memahami jaringan pelayaran samudera yang sangat tua umurnya. Jaringan ini diperkirakan telah ramai sebelum pelaut-pelaut Eropa tiba. Perdagangan rempah-rempah yang membawa kamper dari hutan-hutan Sumatra menuju Alexandria bahkan telah ada sebelum penanggalan Gregorian bermula.

Catatan berbahasa Arab paling tua tentang orang-orang Nusantara yang menguasai perdagangan samudera ditulis oleh Buzurg ibn Shahriar, dalam bukunya Ajaib Al Hindi. Ditulis pada awal abad ke 11, buku ini menjelaskan kesaksian seseorang bernama Ibn Lakis.  Dia menyaksikan sekitar seribu perahu orang Waq-waq yang berlabuh di Sofala (Mozambiq). Mereka mencari barang-barang yang berharga di negeri mereka. Mulai dari kulit kura-kura, kulit macan tutul, amber, dan terutama budak Zanggi. 

Tempat lain yang menjadi bandar persinggahan orang Nusantara sejak awal masehi adalah Pantai Coromandel. Nama itu berasal dari penyebutan pelaut Portugis tentang Kerajaan Cola Mandala.  Nama lainnya adalah Kuru Mandalam atau Wilayah Kuru. Prasasti Tanjore dari Tamil yang diperkirakan berasal dari abad 11 mencatat kemenangan Raja Cola atas Kerajaan Kadaram (Kedah). George Coedes, juga dari Prancis, menerjemahkan peristiwa itu sebagai serangan terhadap Kedatuan Sriwijaya.

Paruh kedua mienium pertama banyak disebut sejarawan sebagai jaman “Indianisasi” Nusantara. Pantai Coromandel dalam alur pelayaran samudra adalah pelabuhan yang berhadapan langsung dengan ujung Sumatera. Di kawasan inilah silang budaya Nusantara dengan India menemukan titik singgungnya.

 Ziarah Ke Tanah Suci

Lima ratus tahun setelah kejayaan Sriwijaya, tidak banyak sumber-sumber luar yang bercerita tentang perjalanan laut orang Nusantara. Yang ada adalah arus balik para pedagang mulai dari orang-orang Moro dari Semenanjung Iberia di ujung barat, kapal dagang Persia dari Hormus hingga Gujarat sampai munculnya armada besar Cheng Ho dari Cina.

Diplomasi Majapahit dari timur pulau Jawa hanya mencapai kawasan Asia Tenggara. Mitologi Panji-Inao adalah rekam jejak yang masih membekas hingga hari ini.

Merebaknya kedatangan pedagang-pedagang dari negeri “atas angin” ke wilayah pesisir Nusantara menjadi penanda zaman baru. Jika pada mienium pertama, pemuka-pemuka Siwa-Buddha dari India dan Cina berziarah ke wilayah timur. Pertengahan mienium kedua, para peziarah dari Nusantara harus menuju ke barat.

Catatan tertua ditulis oleh seorang sufi kelahiran Aden Yaman. Ditulis pada sekitar awal abad 14. Abdullah bin As’ad al Yafi’i menulis tentang seseorang yang bernama Mas’ud al Jawi atau Mas’ud dari Jawa. Sedini itu Mas’ud telah menjadi seorang pengajar mistik di Mekah.

Michael Laffan, peneliti dari Leiden, mencatat keberadaan Mas’ud sebagai seorang Mursyid (panutan) dari Tarikat Qadiriyah. Mas’ud lah yang  mengajak al Yafi’i ke dalam persaudaraan yang mengacu pada ajaran Syaikh Abdul Qadir al Jailani.  Entah mengapa riwayat peziarah selanjutnya dari Nusantara tidak pernah lepas dari sosok sufi kelahiran Baghdad yang hidup di awal abad ke-12.

Hamzah al Fansuri, seorang penyair dan sufi dari Aceh tercatat melakukan ziarah ke Mekah pada awal abad 16. Syair-syair gubahannya menyatakan dirinya sebagai pengikut Qadiriyah.

Uniknya, Nuruddin al-Raniri, peziarah berikutnya yang hidup satu abad sesudahnya, juga menyatakan diri sebagai pengikut tarekat yang sama. Padahal, seperti telah dicatat dalam sejarah, al-Raniri adalah seseorang yang menyatakan ajaran Hamzah Fansuri sebagai ajaran zindiq (ateis). Dia bahkan menyatakan hukuman mati bagi pengikutnya.

Terlepas kontroversi yang terjadi di masa kekuasaan Sultan Iskandar al-Tsani, sosok al-Raniri adalah seseorang yang menuliskan berbagai catatan yang sangat penting tentang riwayat peziarah-peziarah Nusantara. Azyumardi Azra, dalam tesis doktornya yang digubah menjadi buku Jaringan Ulama, menulis sosok kelahiran Randir, Gujarat ini sebagai salah satu dari tiga besar peziarah Nusantara yang membangun jaringan ulama lintas samudera.

Tiga peziarah besar itu dua berasal dari Aceh sedangkan satu lagi berasal dari Makassar. Mereka adalah Nuruddin al-Raniri, Abdul-Rauf  al-Singkili, dan Yusuf al Makassari. Triumvirat inilah yang selanjutnya membangun cabang-cabang jejaring peziarah/ulama nusantara yang berkembang hingga sekarang. (Y-1)