Pria paruh baya itu melantunkan kidung Dandang Gula untuk menandai usainya prosesi perkawinan adat Sedulur Sikep. Meski sekarang tidak selalu bersifat endogami, perkawinan kedua mempelai itu berasal dari satu komunitas. Oleh masyarakat sana disebut sebagai perkawinan “tunggal bibit.”
Di rumah mempelai perempuan yakni Ani Agustina, di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kudus, malam itu seorang pria bernama Kristiyanto, asal Karangturi, Kecamatan Sukolilo, Pati, baru saja selesai berucap janji. Sang mempelai pria berucap janji akan senantiasa membimbing dan setia pada mempelai wanita yang ialah kekasih pujaan hatinya.
Bagi warga Sedulur Sikep, janji bukanlah sekadar janji. Janji itu harus dipegang kuat atau “kukuh demen janji.” Terlebih-lebih terkait ritual pasuwitan atau perkawinan, bagi Sedulur Sikep di sana dikenal adagium: “janji sepisan kanggo selawase.” Artinya yaitu, “janji sekali untuk selamanya.”
Pola perkawinan juga cenderung monogami. Ini eksplisit dalam petatah-petitih mereka: “Bojo siji kanggo salawase turun-temurun.” Bahwa, istri itu cukup hanya satu untuk selamanya.
Demikianlah, terlihat tingginya komitmen perkawinan bagi Sedulur Sikep. Ya, Sedulur Sikep memang dikenal menempatkan makna perkawinan dalam fase kehidupan manusia sebagai momen sakral dan agung.
Bagi mereka, perkawinan merupakan wahana terbaik bagi manusia untuk belajar ilmu kesunyatan. Perkawinan tak semata membuahkan keturunan sebagai tujuan utama. Perkawinan juga mengandung makna hakikat ketuhanan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Melalui perkawinan manusia diharapkan sanggup meraih keluhuran budi, menciptakan kehidupan harmonis, rukun, dan tenteram.
Lazimnya pancaran nuansa kebahagiaan selalu hadir kuat pada momen ritual pernikahan, malam itu kedua mempelai juga tampak tak bisa menyembunyikan ekspresi kebahagiaan mereka Ya, pasangan itu, Kristiyanto dan Ani Agustina, telah berjanji mengayuh biduk rumah tangga hingga ajal memisahkannya.
Pertanyaannya ialah: “Apa yang menarik dicatat dari momen pernikahan di Kamis 25 April 2019 di atas?”
Patut diketahui, selama ini perkawinan warga Sedulur Sikep ini seringkali tidak melalui prosedur legal formal di hadapan pejabat pemerintah sebagai representasi dari salah satu dari enam agama yang diakui negara. Oleh para antropolog, perkawinan yang tidak dicatat oleh pemerintah atau negara ini sering diperikan sebagai salah satu ciri (paterns) sosiokultural komunitas Sedulur Sikep.
Selama ini, bagi mereka, pernikahan cukup dilakukan di depan orang tua pasangan mempelai. Dalih komunitas Sedulur Sikep, dulu perkawinan para leluhur mereka toh tak juga pernah dicatat.
Tidak dicatatnya proses perkawinan adat Sedulur Sikep barangkali saja sesungguhnya bukanlah semata karena mereka tidak mau mencatatkan diri. Tetapi, lebih dari itu. Selama ini yang terjadi ialah kontruksi regulasi administrasi kependudukan memang tidak memungkinkan proses pencatatan secara legal formal terhadap perkawinan adat Sedulur Sikep tersebut.
Konsekuensinya, proses perkawinan Sedulur Sikep selama ini bukan saja tidak diakui oleh negara, melainkan juga tidak pernah mendapatkan bukti pencatatan berupa akta nikah. Celakanya, rentetan persoalan tak berhenti di situ. Tidak adanya akta nikah membawa konsekuensi anak-anak keluarga Sedulur Sikep yang lazim tidak memiliki akta kelahiran.
Sialnya lagi, tidak adanya akta kelahiran seringkali berbuntut munculnya kesulitan lain. Anak-anak mereka susah mengakses layanan fasilitas pendidikan atau sekolah. Pun tak sekali dua, berbuntut pada kesulitan melamar pekerjaan atau bahkan tak jarang berbuah stigmatisasi.
Barangkali saja, rentetan persoalan turunan ini tidak terlalu dirasakan Sedulur Sikep. Pasalnya karena satu atau lain hal, anak-anak mereka umumnya tidak disekolahkan secara formal. Tapi, bagi masyarakat adat lain, seperti Marapu, Parmalin Sunda Wiwitan atau Kejawen, misalnya, jelas belum tentu dirasakan demikian juga.
Demikianlah, selama ini sebenarnya telah terjadi praktik kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif. Ini bukan hanya dialami oleh Sedulur Sikep, tetapi juga terjadi pada masyarakat adat lainnya, yang selama ini konsisten menganut kepercayaan di luar enam agama resmi.
Tapi, itu semua kini bakal segera berakhir. Perkawinan antara Kristiyanto dan Ani Agustina, seolah-olah menandai momen bersejarah yang penting bagi masyarakat adat secara umum maupun masyarakat penghayat secara khusus. Perkawinan adat Sedulur Sikep kini bukan saja telah diakui oleh negara, melainkan dicatatkan pula di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana sering terjadi di masa lalu ke depan bakal tak terulang kembali.
Kebebasan Beragama
Akar persoalan semua itu terletak pada tidak diakuinya hak konstitusional masyarakat penghayat secara utuh dan apa adanya oleh negara. Sekalipun populasinya tidak besar, lazimnya eksistensi kepercayaan masih dianut oleh sebagian besar masyarakat adat. Berdasar Sensus Penduduk 2010, jumlah masyarakat penghayat hanya 299.617 orang atau sekitar 0,13 persen dari total penduduk. Angka ini berasal dari indikator kategori “lainnya” sebagai jawaban di luar enam agama resmi.
Pasca-G30S 1965, di awal pemerintahan Orde Baru, tercatat banyak masyarakat penghayat menjadi korban karena tuduhan PKI. Namun sejak 1973 angin perubahan berhembus. Eksistensi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diakui oleh negara dan disejajarkan dengan agama, sekalipun ini tidak berarti secara formal dianggap sebagai agama. Dalam GBHN dan produk peraturan perundang-undangan lain, pada fase itu, kata kepercayaan selalu dilekatkan pada frasa agama.
Pada masa itu, frasa kepercayaan pada kolom agama di KTP bisa dicantumkan dan masyarakat penghayat dibolehkan melangsungkan perkawinan adat tanpa harus melalui salah satu dari lima agama ketika itu.
Namun situasi kondusif itu tak berlangsung lama. Sejak 1978 hak-hak tersebut dipreteli kembali. Mulai dari identitas di KTP, pencabutan hak-hak perkawinan secara adat atau kepercayaan, dan lain-lain. Singkat kata, para penghayat harus mencantumkan salah satu dari lima agama sekalipun tidak diyakininya, jikakalu tidak ingin didiskriminasi.
Masuk era reformasi, perlakuan diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh komunitas penghayat bisa dikata belum mengalami perubahan signifikan. Walaupun ditemui perbaikan, juga ditemui kemunduran di sana-sini.
Pada era ini banyak ditemui pasal-pasal yang menghilangkan frasa kepercayaan di belakang frasa agama. Sebutlah UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, misalnya, di sana frasa kepercayaan dihilangkan.
Benar, UU 23 Tahun 2006 jo UU 24 Tahun 2014 tentang Administrasi Kependudukan, telah mengakui eksistensi penghayat sehingga dibolehkan melangsungkan perkawinan berdasarkan kepercayaannya sendiri tanpa harus melalui salah satu dari enam agama resmi. Namun regulasi ini ternyata masih tidak membolehkan kelompok penghayat mencantumkan identitas kepercayaan mereka baik di KTP maupun KK. Kolom agama harus dikosongkan, sekalipun dalam praktiknya justru tertera tanda setrip kecil.
Pada 2016, lahir sebuah kebijakan bersejarah dari rahim Mahkamah Konstitusi. Ya, Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Putusan No 97/PUU-XIV/2016 ialah sebagai jawaban atas permohonan uji materiil terhadap Pasal 61 Ayat (1) & (2), dan Pasal 64 Ayat (1) & (5) UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan UU Administrasi Kependudukan, dicatat banyak orang telah memberikan angin perubahan positif.
Bukan saja Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan angin perubahan terhadap tafsiran konstitusi kepada eksitensi kepercayaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama, lebih dari itu juga mengekspresikan nilai-nilai demokratis dan sekaligus mengukuhkan prinsip negara hadir.
Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi
Seperti diketahui, uji materiil atas UU Administrasi Kependudukan ini terkait pengaturan pengosongan kolom agama dalam KK dan KTP-Elektronik bagi warga penghayat kepercayaan. Menurut warga penghayat kepercayaan, ketentuan UU ini dianggap merugikan hak konstitusional mereka karena bernilai diskriminatif.
Menarik dicatat di sini. Melalui Putusan No. 97/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan uji materiil dari para pemohon secara keseluruhan. Banyak analisis mengatakan, putusan ini telah meletakkan tiga pilar penting bagi jaminan konstitusional bagi warga penghayat kepercayaan, kini dan ke depan.
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan elaborasi makna pada kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) & (2) dan Pasal 64 Ayat (1) & (5) UU Administrasi dan Kependudukan, sehingga bermakna merangkum keberadaan aliran kepercayaan. Mahkamah Konstitusi menggunakan penafsiran ‘original intents’ dari rumusan Pasal 29 UUD 1945. Original intents ialah prinsip penafsiran yang mencoba mencari tahu makna asli dari perumusan konstitusi. Kerangka ini digunakan untuk mempertegas makna gagasan awal tentang istilah “kepercayaan” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari istilah “agama.”
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi mempertegas hak atas agama, termasuk di sini ialah kepercayaan, sebagai hak konstitusional warga (constitutional rights) dan sekaligus merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak atas agama sebagai hak konstitusional ini bersifat “natural rights,” yaitu hak alamiah yang melekat pada setiap manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun. Natural rights atau hak alamiah jelas bukanlah pemberian negara.
Dalam konteks ini, selain menegaskan makna agama sebagai “natural rights,” Putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus juga mempertegas posisi negara hadir sebagai pengemban tanggung jawab untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak setiap individu penghayat kepercayaan sebagai pemegang hak (rights holders).
Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi meletakkan prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan hukum sebagai dasar menguji konstitusionalitas UU Administrasi dan Kependudukan. Menurut amar putusan itu, dikatakan bahwa pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan di dalam KK dan KTP-Elektronik justru melahirkan ketidakjelasan status hukum dalam administrasi kependudukan. Selain itu, ketentuan tersebut juga melanggar prinsip persamaan di depan hukum dan bersifat diskriminatif.
Tiga pilar putusan ini ialah koreksi mendasar tentang posisi status kewarganegaraan (citizenship). Posisi warga penghayat kepercayaan harus diletakkan kembali secara utuh dalam posisinya sebagai warga negara.
Walhasil, seturut Putusan Mahkamah Konstitusi, posisi dan kedudukan konstitusional dari aliran kepercayaan kini bukan saja diakui oleh negara secara lebih utuh, melainkan juga dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan posisi enam agama resmi. Selain itu, putusan ini juga membawa konsekuensi pada hak konstitusional warga untuk menjalankan kepercayaannya sebagai dijamin oleh konstitusi atau negara.
Putusan ini jelas berimplikasi pada diperbolehkannya aliran kepercayaan dimasukkan pada kolom identitas agama di KTP-Elektronik dan KK. Dibukanya akses tersebut juga berimplikasi pada pengakuan dan pengesahan negara terhadap proses ritual perkawinan masyarakat adat di luar enam agama yang diakui oleh negara.
Ini berarti perkawinan Sedulur Sikep atau masyarakat penghayat lainnya kini bisa dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil. Ini juga berarti pemerintah akan memberikan akta nikah sebagai fasilitas layanan kepada seluruh warga tanpa diskriminasi, sebagaimana selama ini. Adanya akta kawin itu pada akhirnya memungkinkan anak-anak keluarga Sedulur Sikep atau kelompok masyarakat penghayat lainnya menjadi teregistrasi secara administrasi kependudukan berupa akta kelahiran. (W-1)