Selain Kawasan Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, sementara ini patut disebutkan dua daerah lainnya sebagai kandidat kuat. Ya, Kabupaten Gunung Mas dan Kawasan Segita ialah nama yang belakangan ini santer disebut sebagai daerah alternatif yang menjadi lokasi tujuan pemindahan ibukota.
Kabupaten Gunung Mas merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kapuas pada 2002. Kabupaten yang ibukotanya bernama Kuala Kurun itu memiliki luas sekitar 10.804 kilometer persegi dan saat ini dihuni 109.947 jiwa.
Sedangkan yang disebut sebagai “Kawasan Segita” ialah nama daerah yang berada di antara Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Gunung Mas, di mana ketiganya masuk ke wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Merujuk pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, menggunakan skenario paling cepat, setidaknya aktivitas pemindahan baru bisa dilakukan pada 2024.
“Kalau menggunakan skenario cepat, paling tidak 2024 itu sudah mulai ada aktivitas pemindahan. Paling tidak, kalau tidak seluruhnya, sebagian pemerintahan dipindahkan dari Jakarta ke ibukota negara baru tersebut,” ujar Bambang.
Ketidakberdayaan Jakarta mengatasi masalah banjir dan kemacetan seringkali jadi salah satu pertimbangan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta. Sungguhpun demikian problem senyatanya barangkali sangat kompleks.
Pembangunan Jakarta sebagai ibukota berdampak terjadinya pembangunan ekonomi yang terlalu memusat di kota urban ini. Laiknya pribahasa “ada gula ada semut,” ini menyebabkan Jakarta semakin dipadati oleh para pendatang dari berbagai daerah dan mendorong tingginya arus urbanisasi. Walhasil, kepadatan penduduk di Jakarta nisbi sangat tinggi.
Sedangkan besarnya jumlah penduduk sendiri tentu menyebabkan timbulnya berbagai masalah demografi seperti tingginya angka pengangguran, kemiskinan, pemukiman liar, kriminalitas, dan berbagai problem turunan lain seperti pencemaran lingkungan yang berdampak pada penurunan kondisi kualitas air dan udara yang semakin memburuk.
Jika kondisi ini berlarut-larut, maka jumlah penduduk Jakarta bisa ditebak akan kian membengkak dan semakin memperparah masalah demografi seperti kemacetan dan inefisiensi transportasi yang semakin parah, buruknya kualitas ekologi, yang akhirnya bakal bermuara pada ancaman penurunan tingkat kualitas hidup masyarakat Jakarta.
Ya, singkat kata, Jakarta bisa dikata telah dianggap gagal dalam mengemban tanggung jawabnya di bidang pengelolaan tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pengendalian penduduk dan permukiman, serta transportasi, sebagai ibukota negara Indonesia.
Selain itu, bicara kebijakan pemindahan ibukota dari Jakarta sebenarnya juga didasarkan pada spirit negara untuk melakukan proses keseimbangan dan keadilan pembangunan bagi seluruh rakyat.
Bagaimanapun, multifungsi Jakarta sebagai pusat ekonomi, keuangan, bisnis, politik, dan juga pendidikan ialah merupakan dampak dari pemerintahan yang sentralistis, sekaligus juga wujud dari kebijakan pembangunan yang terkonsentrasi di Jakarta selama ini.
Sejak zaman kolonialisme Belanda, perekonomian Indonesia bisa dikata didominasi oleh Pulau Jawa. Sialnya, pola ini masih berlanjut di masa Orde Lama dan semakin dipertajam pada masa Orde Baru. Arah kebijakan sentralisasi ini ditandai dengan terkonsentrasinya berbagai fasilitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik di Pulau Jawa. Sedangkan bicara Pulau Jawa sendiri, pembangunan terkonsentrasi di Jakarta.
Hasilnya ialah terjadilah ketimpangan antarwilayah di Indonesia dan fakta ini telah berlangsung lama. “Kue pembangunan” selama ini diestimasi terkonsentrasi di Pulau Jawa hingga mencapai 52 persen PDB dan Pulau Sumatra 28 persen, dan sisanya sekitar 20 persen dibagi ke daerah-daerah lain. Bahkan 1/5 PDB, konon terkonsentrasi di seputar Jabodetabek.
Adanya ketimpangan antarwilayah ini tentu melukai rasa keadilan bangsa Indonesia, dan tingginya disparitas pertumbuhan antarwilayah ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut.
Menyimak konteks latar belakang tersebut di atas, tak sedikit analisis tiba pada kesimpulan bahwa beban Jakarta tak dapat diselesaikan tanpa jalan keluar pemindahan ibukota. Sementara itu, pemindahan ibukota sekaligus bakal jadi instrumen ampuh untuk mengatasi problem kesenjangan antarwilayah di Indonesia.
Sejarah Wacana Pemindahan Ibukota
Bicara isu rencana pemindahan ibukota sebenarnya ialah bukanlah wacana baru. Sejak zaman kolonialisme Belanda, ide itu sebenarnya telah mengemuka. Rencana pemindahan ibukota dari Jakarta disebabkan oleh kondisi Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah dan akrab dengan berbagai penyakit menular seperti malaria dan diare.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1558242888_antarafoto_presiden_kalteng_080519_ak_7.jpg" />Presiden Joko Widodo berjalan di kawasan hutan saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019). Sumber foto: Antara Foto
Pada 1906 pemerintah Hindia Belanda telah mewacanakan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung. Meskipun kurang mendapat dukungan Volksraad, tetapi kebijakan ini mulai diimplementasikan pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum (1916-1921).
Ide ini bermula dari hasil studi HF Tillema tentang kesehatan kota-kota pantai di Pulau Jawa. Sebagai seorang Ahli Kesehatan Lingkungan yang bertugas di Semarang, Tillema menyimpulkan “kota-kota pelabuhan di pantai Jawa cenderung tidak sehat”.
Tak kecuali Batavia, kota pelabuhan ini kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pada rekomendasi akhirnya, Tillema mengusulkan, Bandung dipilih sebagai Ibukota Hindia Belanda yang baru untuk menggantikan posisi Batavia.
Ide pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung mendapat dukungan dari Prof J Klopper, Rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang ITB), dan mulai dilaksanakan pada 1920. Areal seluas 27 hektar di Bandung pun telah disiapkan menjadi kawasan pusat pemerintahan sipil.
Sejak itulah kantor-kantor baik pemerintah maupun swasta mulai dipindahkan. Secara bertahap beberapa kantor telah dipindahkan ke Bandung, seperti Kantor Pertambangan dan Energi (1924), gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma (1923), Kantor Pos Besar (1928), dan Kantor Pusat Kereta Api (1928).
Namun di lahan yang disiapkan untuk kawasan pusat pemerintahan sipil itu ternyata hanya sempat diselesaikan dua bangunan, yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan 12 bangunan lain yang direncanakan, tidak sempat dibangun karena pemerintah Belanda mengalami resesi dan menyebabkan gagalnya proyek pemindahan ibukota ke Bandung.
Selain Bandung, Palangkaraya juga pernah didaulat menjadi kota tujuan relokasi ibukota. Jauh hari pada 1957 Presiden Soekarno pernah mencanangkan kota ini sebagai lokasi baru terkait kebijakan pemindahan Ibukota Jakarta. Posisi geografis Palangkaraya dianggap unik karena berada tepat di tengah-tengah gugus kepulauan Indonesia.
Ide ini mengemuka saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Sekalipun saat itu jika ke Palangkaraya masih harus mengendarai transportasi sungai dari Banjarmasin, dua kali kunjungan presiden pertama ini mengisyaratkan keseriusan rencana pemindahan ibukota ke sana.
Akan tetapi setelah keluarnya Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno tampaknya meninggalkan gagasan pemindahan ibukota. Bung Karno demikian dia biasa dipanggil terlihat kembali memfokuskan pembangunan di Jakarta, yang hendak dijadikannya sebagai simbol kebangkitan Indonesia sebagai pemimpin Dunia Ketiga.
Kini Tugu Soekarno dikenang orang menjadi memori wacana Presiden Soekarno memindahkan ibukota. Terletak di dekat Istana Isen Mulang dan hanya berjarak 50 meter dari bibir Sungai Kahayan, di sinilah Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Kota Palangkaraya, 17 Juli 1957.
Wacana pemindahan ibukota terus bergulir. Merujuk artikel “Pemindahan Ibukota Negara” tulisan Deden Rukmana, memasuki era Orde Baru ide pemindahan ibukota sempat muncul. Presiden Suharto juga menggagas pemindahan ibukota dari DKI Jakarta ke Jonggol Jawa Barat melalui Keppres No 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.
Keputusan ini mendukung rencana pengembangan Jonggol sebagai kota mandiri seluas 30 ribu hektar. Rencana pemindahan ibukota ke Jonggol tidak berlanjut seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998.
Masih merujuk artikel yang sama, dikatakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wacana pemindahan ibukota juga tercatat muncul kembali. Ide ini disampaikan oleh presiden keenam pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya di awal Desember 2009. Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menekankan beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara sudah semakin berat.
Pada awal September 2010, Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim kecil. Tim ini ditugaskan mengkaji ide pemindahan ibukota negara. Ada tiga rekomendasi sebagai skenario, yaitu, pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibukota negara dan dilakukan pembenahan atas semua permasalahan. Kedua, memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di Pulau Jawa. Ketiga, memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar Pulau Jawa.
Namun sayangnya di era Presiden SBY ini, rencana pemindahan ibukota masih sebatas rencana dan belum ditindaklanjuti lebih jauh. Kini di akhir pemerintahan Presiden Jokowi, ide pemindahan ibukota kembali menyeruak kuat.
Menariknya, kini hampir bisa dipastikan, lokasi tujuan relokasi ialah di luar Pulau Jawa. Salah satu argumen yang mengemuka ialah upaya menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi antarwilayah di Indonesia.
Artinya, bicara salah satu tujuan relokasi ibukota ke luar Pulau Jawa ialah mendongkrak perekonomian wilayah dan sekaligus melakukan pemerataan ekonomi antarwilayah. Dalam hitungan Bappenas, setidaknya kurang lebih dibutuhkan dana sebesar 466 triliun.
Ya, pemindahan ibukota jelas bakal membawa dampak ekonomi bagi lokasi tujuan. Bukan saja perhatian mata dunia dan dunia ekonomi akan tertuju kepadanya, kebijakan ini juga bisa dipastikan bakal jadi pengungkit ekonomi kawasan, memunculkan kantong-kantong baru tujuan investasi, dan pusat pertumbuhan ekonomi baru berskala nasional.
Di sisi lain daerah tujuan relokasi juga harus siap dengan munculnya dampak eksternalitas, baik dalam arti positif maupun negatif. Minimal, setidaknya masyarakat lokal penghuni kota itu harus benar-benar telah dipersiapkan untuk tumbuh dalam format kehidupan sebagai kota urban dan sekaligus metropolitan.
Dalam kerangka inilah, ini berarti bukan saja masyarakat lokal harus tak gagap saat menerima kehadiran populasi masyarakat lain yang beragam dalam jumlah sangat besar, melainkan secara potensi kultural juga sanggup tumbuh menjadi sebuah budaya yang bercorak terbuka, pluralis, dan kosmopolitan.
Mari bersama-sama ditunggu. Apakah rencana relokasi ibukota akan benar-benar bisa diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo, dan di manakah pilihan kota tujuan akan berlabuh? Mari juga bersama-sama ditunggu, apakah kebijakan pemindahan ibukota bisa disematkan di bahu presiden ketujuh sebagai legacy di periode kepemimpinannya yang kedua? (W-1)