Taman Hutan Raya Bukit Soeharto merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi alam. Lokasi ini terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Nama Bukit Soeharto ramai diperbincangkan orang setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi kawasan ini, sehubungan dengan isu rencana pemindahan ibu kota. Kawasan di sekitar Taman Hutan Raya atau biasa disingkat “Tahura” Bukit Soeharto menjadi salah satu kandidat dari tujuan relokasi tersebut.
Secara geografis posisinya memang terbilang cukup strategis. Kawasan Bukit Soeharto bias dikata berada di tengah-tengah antara Kota Balikpapan dan Kota Samarinda. Sementara itu, kedua kota ini diproyeksikan telah tersambung oleh jalan tol pada akhir tahun 2019 ini.
Dari rest area di pinggiran Tahura Bukit Soeharto, yang berada di jalan yang menghubungkan Balikpapan-Samarinda, ke Kota Balikpapan, jaraknya ialah berkisar 53,8 kilometer. Naik kendaraan membutuhkan waktu tempuh kurang-lebih 1 jam. Sedangkan jika ke Kota Samarinda, jaraknya juga tidak jauh berbeda yaitu kisaran 59,2 kilometer dengan waktu tempuh yang relatif sama.
Dengan posisi itu, sekiranya daerah ini hendak dijadikan kota pemerintahan Indonesia maka keberadaannya telah didukung oleh dua bandara internasional. Selain Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan di Balikpapan, juga terdapat Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto di Samarinda.
Selain itu, jarak ke pelabuhan juga nisbi tidak jauh. Sebutlah Pelabuhan Semayang di Kota Balikpapan, misalnya, jaraknya hanya berkisar 60 kilometer. Atau sekiranya dibangun pelabuhan sendiri, misalnya di Pantai Pamedas yang berlokasi di sebelah timur dari Kawasan Bukit Soerharto, tentu bakal berjarak lebih dekat lagi. Hanya sekitar 35,7 kilometer.
Penamaan Hutan dan Status Kawasan
Berdasarkan Peta Kawasan Konservasi di Indonesia yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kawasan Bukit Soeharto merupakan salah satu dari 28 Taman Hutan Raya yang ada di Indonesia.
Bicara karakteristik Tahura Bukit Soeharto, merujuk klasifikasi Schmidt dan Ferguson ialah termasuk dalam klasifikasi iklim tipe A. Memiliki curah hujan berkisar antara 2.000 mm sampai 2.500 mm/tahun dengan kondisi suhu berkisar antara 20°C - 30°C dan kelembaban rata-rata 67-95%.
Sedangkan bicara potret vegetasi ialah termasuk tipe vegetasi hutan sekunder muda. Lokasi ini menjadi sebaran beberapa jenis fauna, seperti: Meranti (Shorea spp.), Keruing (Dipterocarpus sp.), Mahang (Macaranga sp.), Mengkungan (Macaranga gigantea), Ara (Ficus sp.), Medang, Kapur (Dryobalanops spp.), Kayu tahan (Anisoptera costata), Nyatoh (Palaquium spp.), Keranji (Dialium spp.), Perupuk (Lophopetalum solenospermum) dan lain-lain.
Selain itu, saat ini cenderung didominasi oleh pohon-pohon hasil reboisasi, antara lain: Akasia (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria), Johar (Cassia siamea), Sungkai (Peronema canescen), Mahoni (Swietenia mahagoni).
Dari berbagai penelitian tercatat beberapa jenis fauna di kawasan ini, seperti: Orang Utan (Pongo pygmaeus), Beruang madu (Helarctos malayanus), Banteng (Bos javanicus), Macan dahan (Neofelis nebulosa), Burung enggang (Barenicarnuscomatus), Kera (Macaca fascicularis), Rusa sambar (Cervus unicolor), Biawak (Varanus salvator), dan lainnya.
Mengingat itu semua, tak salah jika Tahura Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi di Kalimantan Timur. Awalnya hutan di sepanjang 36 kilometer di jalur jalan Balikpapan-Samarinda ini diusulkan oleh Gubernur Kalimantan Timur sebagai zona produksi dan zona pelestarian lingkungan hidup pada 1976.
Namun dalam perkembangannya, kawasan tersebut mengalami beberapa kali perubahan status dan fungsi. Tahun 1982, Menteri Pertanian melalui SK No. 818/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10 November 1982 menetapkannya sebagai Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas 27.000 Ha.
Tahun 1987, Menteri Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan No. 245/Kpts-II/1987 tanggal 18 Agustus 1987, merubah status kawasan Hutan Lindung Bukit Soeharto seluas kira-kira 23.800 Ha menjadi Hutan Wisata berikut perluasan kawasan hutan sekitarnya seluas kurang lebih 41.050 Ha. Walhasil, luas Hutan Wisata Bukit Soeharto kurang lebih menjadi 64.850 Ha.
Pada 1991, keputusan di atas kemudian dikuatkan kembali pada 20 Mei 1991 melalui SK Menhut No 270/Kpts-II/1991 dikeluarkan ketetapan sebagai kawasan hutan dengan fungsi Hutan Wisata.
Tahun 2004, muncul usulan perubahan fungsi Kawasan Hutan Wisata Alam Bukit Soeharto menjadi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Hal ini ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan No. SK.419/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas 61.850 Ha.
Dan terakhir, melalui keputusan Menteri Kehutanan SK.577/Menhut-II/2009 maka luasan Tahura Bukit Soeharto pun diperluas dan ditetapkan menjadi 67.766 (enam puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh enam) Ha.
Konon, sejarah penamaan bukit itu menjadi Bukit Soeharto tidak terlepas dari kisah perjalanan presiden kedua yang pernah melakukan perjalanan darat Balikpapan-Samarinda yang berjarak 120-an kilometer dan melintasi bukit tersebut. Barangkali saja kualitas infrastruktur jalan yang menghubungkan kedua kota tersebut ketika itu masih sangat buruk. Akibatnya momen perjalanan itu tentu dirasakan cukup heroik.
Sudah sejak relatif awal di masa kekuasaannya, Presiden Soeharto naga-naganya ingin menempatkan kawasan hutan itu sebagai ‘etalase’ yang memotret keberhasilan Indonesia dalam pengelolaan hutan tropis. Letaknya yang mudah dijangkau barangkali menjadi latar belakang dipilihnya lokasi Bukit Soeharto sebagai etalase keberhasilan program konservasi.
Kawasan konservasi ini sempat menjadi kebanggaan pemerintah dan pernah dikunjungi sejumlah tamu penting negara untuk melihat keberhasilan Indonesia menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu Menteri Kehutanan di era Presiden Soeharto, yakni Djamaludin Suryohadikusumo (1993 – 1998), selalu membawa tamu negara yang ingin melihat pengelolaan hutan di Indonesia ke Bukit Soeharto. Sebutlah Ratu Beatrix dari Belanda bersama suaminya, tercatat pernah mengunjungi kawasan ini.
Saat itu melekatnya nama “Soeharto” pada bukit yang memiliki ekosistem hutan tropis rendah ini barangkali menyebabkan Kawasan Bukit Soeharto ini ditakuti oleh para pelaku usaha yang mendapatkan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Proyek reboisasi sebagai kewajiban nisbi direalisasi dengan baik di Bukit Soeharto. Nama Soeharto ketika itu sedikit atau banyak menjadi kata kunci terhadap keberhasilan program konservasi di bukit tersebut.
Pasca-Orde Baru
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan, “Tahura” adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Merujuk UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, status hutan konservasi diberikan pada hutan dengan ciri khas tertentu dan punya fungsi pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Tahura Bukit Soeharto berdasarkan SK Menteri Kehutanan SK.577/Menhut-II/2009. telah ditetapkan sebagai hutan konservasi dengan status kawasan pelestarian alam. Dalam klasifikasi kawasan hutan, merujuk UU Kehutanan status hutan konservasi ialah berada pada posisi tertinggi, di mana status hutan lindung dan hutan produksi berada di bawahnya.
Selain itu, bicara fungsi Tahura Bukit Soeharto sebagai fungsi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), maka hutan ini telah ditetapkan menjadi 3 (tiga) KHDTK yaitu:
Pertama, KHDTK Wanariset Samboja. Ditetapkan pada 1979 melalui SK Menteri Pertanian No. 723/Kpts/Um/II/1979 dengan luas hutan 504 ha. Selanjutnya, dalam konteks fungsi ini cakupan areal diperluas melalui SK Menteri Kehutanan No. 290/Kpts-II/91 Wanariset Samboja hingga menjadi 3.504 Ha.
Kedua, KHDTK Pendidikan dan Latihan Kehutanan (BDK) seluas 4.310 Ha. Keputusan ini ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No: 8815/Kpts-II/2002 tanggal 24 September 2002.
Ketiga, KHDTK Penelitian dan Pendidikan bagi Universitas Mulawarman Pusat Penelitian Hutan Tropis Lembab (PPHT) seluas 20.271 Ha, yang ditetapkan berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan No:160/Kpts-II/2004 tanggal 4 Juni 2004.
Celakanya, potret konservasi hutan pasca Orde Baru khususnya di Kawasan Bukit Soeharto bisa dikata justru tidak lebih baik. Dalam perkembangannya kawasan ini telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sebagai akibat dari maraknya kebakaran, perambahan dan pembalakan liar, serta pemanfaatan hutan di luar ketentuan secara ilegal.
Akibatnya, menurut catatan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (2006) memperlihatkan, sebagian besar Kawasan Bukit Soeharto ini telah didominasi oleh padang alang-alang dan semak belukar sebesar 56,39 persen, hutan tinggal tersisa 15,99 persen, sedangkan penggunaan lahan lainnya seperti pemukiman, kebun, lahan terbuka dan lain-lain sebesar 27,6 persen (Ardiansyah; 2010).
Presiden Joko Widodo tentu menyadari persoalan fenomena deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Ini setidaknya tercermin dari statemen presiden ketujuh di awal kekuasaannya di tahun 2015. Presiden Joko Widodo saat itu mengakui, Indonesia merupakan penyumbang emisi karbon terbesar keenam di dunia.
Sejauh mana keseriusan pemerintahan Jokowi—demikian ia sering disebut—setidaknya tercermin dari beberapa capaian selama empat tahun ini, antara lain:
Rehabilitasi hutan dan lahan telah mencapai seluas 599.813 Ha, sementara penurunan laju deforestasi tercatat berkisar 0,5 juta Ha/tahun. Bicara penanganan kasus kebakaran pun terlihat signifikan, yakni terjadi penurunan luas kebakaran hutan dan lahan dari 2,61 juta hektar di tahun 2015 menjadi 0,02 juta hektar di Agustus 2018.
Berbagai capaian ini mendorong terjadinya peningkatan nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di 2018 mencapai nilai 66,5. Indeks ini meliputi penilaian atas kualitas udara, air, dan tutupan hutan. Pada 2014, nilai IKLH tersebut berada di posisi 63,42.
Tak hanya itu. Perubahan tata kelola kehutanan yang dirumuskan Presiden Jokowi sebagai langkah koreksi terhadap arah kebijakan selama ini juga mendapat apresiasi FAO.
Artinya, meragukan komitmen Jokowi terhadap isu koneservasi lingkungan hidup jelas tidaklah memiliki dasar kuat. Sehingga bicara pemindahan kota pemerintahan ke sekitar Kawasan Bukit Soeharto sekiranya dipindah ke sana tentu bukanlah tanpa pertimbangan fungsi kawasan sebagai hutan konservasi. Presiden Joko Widodo tentu menyadari fungsi Tahura Bukit Soeharto sebagai kawasan konservasi.
Artinya adanya status hutan konversi pada Kawasan Bukit Soeharto bukan tak mungkin justru menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah (pusat) untuk hadir mengelola kawasan tersebut secara langsung, sekiranya daerah itu benar-benar jadi dipilih sebagai ibukota.
Pembangunan gedung-gedung pemerintah tentu tidak bakalan dibuat di Kawasan Bukit Soeharto itu sendiri. Jelas tidak akan dibangun di dalam areal 67.766 (enam puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh enam) Ha sebagai daerah konservasi. Gedung-gedung pemerintah akan tetap dibangun di sekitar atau di luar kawasan tersebut.
Bisa dibayangkan sekiranya nanti ibukota Indonesia benar-benar dipindah ke sekitar Kawasan Bukit Soeharto, maka ibukota baru itu bakal dibangun dengan lanskap hutan menghiasi pinggiran kotanya. Dengan latarbelakang hutan konservasi yang tetap terjaga baik, maka pembangunan istana baru di ibukota baru ini bakalan mengingatkan kita pada Istana Bogor dan ide Thomas Raffles membangun sebuah kebun yang kini dikenal sebagai Kebun Raya Bogor. Hanya saja kebun raya istana baru kali ini ialah Tahura Bukit Soeharto. (W-1)