Jejak panjang yang diukir sebuah perusahaan bioteknologi asal Massachusetts, Amerika Serikat (AS), Moderna Inc, sejak 16 Maret silam atau 66 hari sejak genetik virus dirilis, telah memantik harapan baik bagi sedikitnya 7 miliar penduduk dunia.
Perusahaan pertama yang melakukan uji coba vaksin Covid-19 pada manusia itu akhirnya mempublikasikan hasil uji klinis fase 1-nya sekitar medio Mei 2020.
Disebutkan dalam jurnal New England Journal of Medicine, terdapat bukti vaksin Covid-19 besutan Moderna yang diujicobakan dalam kurun 23 Maret--14 April itu mampu menghasilkan antibodi.
Oleh peneliti Moderna, vaksin itu dinamai dengan mRNA-1273, karena menggunakan suatu molekul messenger RNA yang mengkode protein virus corona bernama spike (dikenal juga protein S), dikombinasikan dengan sistem penghantaran obat menggunakan nanopartikel dari suatu jenis lemak tertentu.
Protein S sendiri merupakan suatu protein yang mengelilingi permukaan virus berbentuk seperti tonjolan. Protein itulah yang membuat penampakan virus SARS COV-2 bak mahkota.
Secara ilmiah, protein itu diketahui berperan membawa masuk virus ke dalam sel inang. Lantaran perannya dalam mekanisme infeksi virus, protein itu kemudian dipakai oleh para peneliti sebagai antigen untuk memancing respons imun inang guna menghasilkan antibodi penetralnya.
Dalam uji coba fase 1 itu dilibatkan 45 sukarelawan itu dalam rentang usia 18--55 tahun. Kemudian mereka dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok diberi kandidat vaksin dengan dosis yang berbeda, yakni 25 mikrogram, 100 mikrogram, dan 250 mikrogram. Uji kandidat vaksin itu sendiri dilakukan dua fase, dengan waktu yang masing-masing terpaut 28 hari.
Pada fase itu, setelah diinjeksi dengan kandidat vaksin, semua sukarelawan teramati mampu menghasilkan antibodi. Teridentifikasi pula, semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin tinggi pula jumlah antibodi yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengukuran dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)—sebuah teknik biologi molekuler--rata-rata titer (jumlah) antibodi yang didapati pada kelompok dengan dosis 25 mikrogram sebanyak 40.227.
Sedangkan pada dua kelompok lainnya, yakni kelompok 100 mikrogram dan 250 mikrogram, dihasilkan titer antibodi lebih tinggi, masing-masing sebanyak 109,209 dan 213,526.
Merujuk hasil parsial fase 1, Moderna pun mengatakan, tidak akan memakai dosis tertinggi karena pada dosis yang rendah sudah memberikan efek. Pada 27 April Moderna mengajukan aplikasi IND ke FDA pada 27 April untuk uji klinis fase 2 dan tertanggal 6 Mei aplikasi itu diterima.
Saat itu, perusahaan tersebut sekaligus mengumumkan perjanjian kolaborasi 10 tahun dengan perusahaan bioteknologi raksasa di Swiss yaitu Lonza untuk memproduksi vaksin mRNA 1273. Diharapkan, langkah itu mampu membantu Moderna mencapai tujuan akhirnya, yaitu menghasilkan satu miliar vaksin per tahun. Pada 12 Mei 2020, mRNA-1273 menerima penunjukan fast track dari FDA.
Uji klinis fase 2 Moderna dimulai pada 29 Mei dengan dua tingkat dosis yaitu 50 ug dan 100 ug. Dalam uji klinis itu, dilibatkan sekitar 600 sukarelawan sehat, setengah dari mereka berusia antara 18--55 tahun dan setengah lainnya berusia di atas 55 tahun. Para sukarelawan akan ditugaskan secara acak untuk menerima plasebo atau salah satu dari dua dosis mRNA-1273.
Berbekal persetujuan FDA, Moderna pun menguji efek biologis obat pada pasien dan juga mengajukan amendemen untuk penambahan tingkat dosis 50 ug pada studi fase 2 (yang sebelumnya tidak dilakukan pengujian pada uji klik fase I).
Proses pengujian injeksi mRNA-1273 fase kedua tuntas pada pekan lalu, yakni pada Rabu (8/7/2020). Saat itu tampak antibodi yang dihasilkan menunjukkan jumlah yang lebih tinggi pada masing-masing kelompok, dibandingkan pada uji fase 1.
Pengamatan pada dua kelompok yang masing-masing diinjeksi dengan dosis 100 mikrogram dan 250 mikrogram menunjukkan bahwa jumlah titer antibodi masing-masing sebanyak 782.719 dan 1.192.154. Dan setelah vaksinasi kedua, Moderna juga melakukan evaluasi keamanan, reaktivitas, dan imunogenisitas.
Efek Samping
Sebagaimana dimuat dalam jurnal itu, selain efektif memunculkan antibodi, Moderna juga melaporkan soal efek samping dari vaksin. Disebutkan di sana, efek samping yang ditimbulkan tidak masuk dalam kategori gangguan serius.
Secara prinsip, vaksinasi merupakan aktivitas memasukkan 'benda asing' ke tubuh manusia demi memicu respons kekebalan tubuh (imun). Alhasil, orang yang divaksinasi kerap mengalami beberapa gejala umum, di antaranya demam.
Pada kasus uji klinis fase 1, Moderna menyebutkan, sebagian besar peserta uji coba mengalami kelelahan, kedinginan, sakit kepala, nyeri otot dan sakit di bagian yang diinjeksi. Dampak yang lebih signifikan muncul lebih banyak pada percobaan fase 2.
Hanya saja, Moderna menegaskan, semua gejala yang dialami sukarelawan itu bukanlah gejala serius. Selain juga, disebutkan, bukan merupakan ancaman yang berisiko.
Bertolak dari situasi itulah, hasil uji awal tersebut dikatakan dapat membawa kabar baik bagi umat manusia di seluruh dunia. Kendati, Moderna masih akan terus melakukan pengujian selama satu tahun untuk mencari efek samping vaksin.
Pandemi Covid-19 tercatat telah menyergap warga di 215 negara dunia, hingga Jumat (17/7/2020). Sebanyak hampir 13,8 juta orang terinfeksi dan lebih dari 588 ribu jiwa meregang nyawa.
Serangan pandemi memang juga belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Itulah sebabnya, temuan di bidang medis itu bagaikan oase di padang pasir.
“Kami berkomitmen untuk membantu mengatasi keadaan darurat kesehatan masyarakat yang sedang berlangsung ini dan terus fokus pada penelitian fase ketiga kami, yang masih berada di jalur yang akan dimulai pada Juli, kurang dari tujuh bulan sejak virus corona baru terdeteksi,” ujar Chief Medical Officer Moderna Tal Zaks dalam sebuah pernyataan, Kamis (9/7/2020), di The Jerusalem Post.
Moderna sendiri telah memfinalisasi protokol untuk uji coba fase ketiga, mengikuti umpan balik yang diterima dari Badan Pangan dan Obat-Obatan AS (FDA).
Pada Juni lalu, Moderna mengatakan, mereka memilih dosis 100 mikrogram untuk studi tahap akhir untuk meminimalkan reaksi yang merugikan. Dengan dosis tersebut, Moderna rencananya akan memproduksi 500 juta dosis vaksin corona per tahun, bahkan kemungkinan bisa menyediakan hingga 1 miliar dosis per tahun yang dimulai pada 2021.
Moderna juga akan bergabung dengan tiga perusahaan lainnya yang sudah melakukan uji coba fase ketiga vaksin virus corona potensial. Ketiga perusahaan lain itu adalah AstraZeneca, Sinopharm, dan SinoVac. Di samping empat perusahaan di atas, catatan yang ada menunjukkan ada 19 uji coba vaksin yang kini berada dalam evaluasi klinis dan ratusan lain sedang dikembangkan dan diuji di seluruh dunia.
Utamakan Kemandirian
Hingga Jumat (17/7/2020), tercatat di Tanah Air angka keterjangkitan Covid-19 telah mencapai angka 81.668 penderita. Dengan angka kematian mencapai 3.873 korban jiwa dan kesembuhan 40.345.
Itulah sebabnya, kendati menilai penyebaran virus corona di Indonesia masih terkendali, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti jajaran di bawahnya untuk bekerja ekstrakeras. Menumpas Covid-19, menurut Presiden, bukanlah hal yang mudah.
Presiden menyampaikan, prioritas dunia saat ini adalah pada upaya menekan angka kematian dan meningkatkan angka kesembuhan. "Target dunia itu sekarang bagaimana menekan angka kematian. Yang kedua, bagaimana tingkat kesembuhannya setinggi-tingginya. Dua ini yang sekarang dikejar oleh negara-negara di dunia," ujar Jokowi saat rapat bersama para gubernur di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat, Rabu, 15 Juli 2020, dikutip dari Setkab.go.id.
Terkait itu pulalah, sejumlah langkah penanggulangan bencana kesehatan yang berimbas pada persoalan ekonomi ini terus dilakukan di dalam negeri. Bobot upaya yang dilakukan, diingatkan Presiden, harus seimbang antara penanganan kesehatan dan ekonomi.
Khusus di bidang kesehatan, penerapan protokol kesehatan tetap mendapat perhatian serius. Memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan terus digemakan. Seiring itu, langkah terobosan di bidang medis juga terus digelar. Termasuk, dalam hal riset obat-obatan dan vaksin.
Terobosan di bidang obat-obatan dan vaksin di tanah air layak dipandang penting. Terlebih sebagaimana pernah disampaikan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro, tiga jenis atau strain virus Covid-19 yang menyebar di dalam negeri belum masuk dalam database influenza dan coronavirus di Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Sehingga, sangat mungkin, Indonesia memerlukan vaksin Covid-19 yang berbeda dengan vaksin yang dikembangkan negara lain
“Mereka (GISAID) hanya ada tiga klasifikasi, S, G, dan V. Kemudian (jenis virus) lain masih dianggap others (belum dikenali) dan yang di Indonesia masuk others,” papar Bambang di Jakarta, Jumat, 5 Juni 2020.
Saat ini, menurut Bambang, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman telah memimpin riset di sektor vaksin untuk transmisi lokal. Konsorsium riset dan inovasi Covid-19 itu, sambung dia, memperoleh pendanaan dari Kemenristek/BRIN.
Bambang sendiri menargetkan bibit vaksin atau vaccine seed khusus untuk strain virus corona di Indonesia tersedia akhir 2020. Rencananya, vaksin digunakan untuk imunisasi massal. “Bibit vaksinnya mungkin bisa ditemukan tahun ini, tapi imunisasi massal itu baru bisa mungkin tahun depan (2021). Vaksinnya sendiri harus diproduksi," ujar dia.
Hanya saja, Bambang mengakui, memproduksi vaksin tidaklah mudah. Apalagi, sambung dia, untuk skala besar, setidaknya sepertiga jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta.
"Berarti vaksin yang dibutuhkan antara 130 juta sampai 170 juta. Itu belum menghitung booster-nya. Kalau kita divaksin, itu sekali vaksin belum tentu imun kita muncul sehingga harus ada booster-nya sampai imun muncul,” jelas Bambang.
Jadi agaknya, publik tanah air memang harus sangat bijak menanggapi kabar adanya hasil uji klinis fase 1 dan 2 bakal vaksin besutan negeri jiran. Tetap waspada, sabar, dan senantiasa ikuti panduan kesehatan, haruslah senantiasa menjadi keutamaan perilaku di masa pandemi Covid-19. Setidaknya hingga proses pengembangan vaksin buatan anak negeri tuntas dan diproduksi massal.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari