Indonesia.go.id - Sarapan Para Kuli (Bagian 2)

Sarapan Para Kuli (Bagian 2)

  • Administrator
  • Selasa, 13 November 2018 | 08:46 WIB
MAKANAN RAKYAT
  Sumber foto: Pesona Indonesia

Kebutuhan untuk menyediakan makanan cepat saji dan murah bagi kuli pekerja adalah urat nadinya.

Akhir abad 17 hingga awal abad 18, adalah masa perdagangan komoditas gula tebu yang sangat menggiurkan. Wilayah negara Cina bagian selatan, pada saat itu, adalah wilayah penghasil gula dengan pengusaha-pengusaha gula dengan kekuatan kapital yang luar biasa.

VOC tentu saja ingin ikut mendapatkan keuntungan itu. Mereka pun bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha dari Cina Selatan dan menempatkan mereka di bagian dalam benteng kota Batavia.

Pada periode itu pulalah mulai terbentuk kelas pengusaha Cina 'juragan' penghuni benteng dengan kaum Cina peranakan dan kaum perantauan lain yang menjadi kuli atau kelas pekerja yang tinggalnya berada di luar benteng.

Para juragan tentu membutuhkan pekerja. Interaksi juragan dengan para pekerja membuka akses sosial yang lebar dan pada akhirnya mengancam politik rasialis VOC. Para periode ini pula muncul tradisi awal warung-warung di Batavia. Kebutuhan untuk menyediakan makanan cepat saji dan murah bagi kuli pekerja adalah urat nadinya.

Sejarah mencatat, krisis yang terjadi di dalam perdagangan gula tebu membuat VOC merancang ekstensifikasi produksi ke wilayah jajahan lain di luar Hindia Belanda. Hal itu membuat resah kelas pekerja di Ommenlanden Batavia, yang sebagian besar adalah kelas pekerja Cina peranakan yang berketerampilan dalam produksi gula tebu.

Harga yang merosot di pasar dunia, membuat proses produksi terhenti. Konsekuensinya adalah pemecatan kuli pekerja dan konflik sosial pun meletus dengan pemberontakan.

VOC menyikapi pemberontakan itu dengan politik pecah-belah dan pembantaian rasial. Diawali dengan membantai keturunan cina yang berada di dalam benteng, orang tua, wanita, anak-anak, sampai dengan pasien rumah sakit.

VOC kemudian membuat sayembara bagi siapa saja yang bisa membawa kepala “Cina” dengan imbalan tertentu. Hasilnya lebih dari 10.000 penduduk Batavia yang sebagian besar merupakan kuli pekerja industri tebu peranakan Cina menjadi korban.

Kuasa modal industri gula tebu yang tadinya merupakan kerja sama VOC dengan beberapa pengusaha Cina berubah menjadi monopoli.

Peristiwa ini menorehkan noda yang kelam dalam jejak kolonialisme VOC di Hindia Belanda. Peristiwa ini pula yang memicu dua tahun perang Jawa yang melibatkan Pakubuwono II dari Kartasura, yang menampung para penyintas geger pecinan di Jawa Tengah.

Peristiwa ini pula yang menjadi koreksi besar-besaran pemerintah Belanda terhadap praktek VOC di Hindia Belanda.

Berkah Kopi, Pascatragedi Tebu

Setelah tragedi Geger Pecinan di Batavia, produksi gula tebu ternyata tidak lagi menjadi komoditas ekspor yang menggiurkan. Muncul produk baru hasil penyemaian tanaman kopi yang bibitnya banyak didatangkan dari Malabar, yakni kopi.

Pada periode kopi itulah wajah perkebunan di wilayah Priangan, Kedu, hingga wilayah timur pulau Jawa menjadi saksi periode cultuurstelsel atau tanam paksa yang mengubah banyak hal sendi kehidupan Hindia Belanda.

Alasan pertama yang  membuat Herman Willem Daendels membangun jalan raya terpanjang di dunia (pada saat itu) adalah komoditas kopi. Saat Daendels datang di Batavia pada 1808 , tanaman kopi yang telah dibudidayakan sebelumnya di daerah Buitenzorg hingga Priangan memasuki masa panen.

Kebutuhan untuk mengangkut hasil panen kopi dan beras membuat Daendels memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan yang telah ada. Kerja-kerja yang diperlukan adalah memperbaiki pondasi, memperkeras dan melebarkan badan jalan.

Inisiatif Deandels itu membuat jalan dari Anyer ke Batavia yang sebelumnya harus ditempuh dalam empat hari perjalan menjadi hanya satu hari perjalanan.

Salah satu yang membuat banyak warga pribumi mau menjadi kuli pekerja pembuatan jalan adalah upah yang disediakan oleh rejim Daendels. Literasi sejarah Indonesia di masa revolusi kemerdekaan banyak berisi dengan muatan-muatan mengobarkan semangat nasionalisme. Seringkali warna propaganda antipenjajahan yang lebih terbaca, ketimbang faktas sebenarnya.

Djoko Marihandono meneliti naskah-naskah pada periode Daendels. Dia menemukan, anggaran yang dikeluarkan untuk pengerjaan jalan itu berjumlah 30.000 ringgit perak. Jumlah itu sama dengan gaji kepala Dewan Hindia Belanda selama satu tahun.

Jaman pekerjaan jalan Deandels inilah jasa-jasa para bujang atau kuli upahan yang pada masa gula tebu banyak didatangkan dari luar Batavia (Cirebon dan Tegal) menjadi sangat penting.

Setelah Anyer-Batavia, jalan dari Batavia ke Bogor (Buitenzorg) adalah pembangunan berikutnya. Pembangunan tahap kedua ini relatif mudah karena medannya cenderung tidak berbukit-bukit.

Tahap ketiga adalah tahap yang paling sulit. Jalur dari Bogor melewati perkebunan kopi Priangan menuju pelabuhan di Cirebon melewati pegunungan dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Jalur Bogor, Ciawi, Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, hingga Karangsambung berjarak lebih dari 250 KM.

Pembayaran upah pembangunan jalan Deandels diberikan berdasarkan tingkat kesukaran medan. Sebagai contoh, dari Cisarua ke Cianjur upahnya adalah 10 ringgit perak per orang. Dari Cianjur ke Rajamandala 4 ringgit, dari Bandung ke Parakanmuncang hanya 1 ringgit per orang, dari Parakanmuncang ke Sumedang sebesar 5 ringgit per orang, dari Sumedang ke Karangsambung 4 Ringgit.

Pada periode inilah terjadi kesalahan perhitungan. Jalur Parakanmuncang ke Sumedang terhalang oleh bukit-bukit batu, di wilayah yang sekarang disebut sebagai Cadas Pangeran. Kebutuhan untuk memecah batu-batu cadas disertai keterdesakan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, membuat kebutuhan tenaga kerja menjadi lebih besar dari perkiraan.

Wabah malaria yang pada waktu itu menghebat turut membuat pekerja-pekerja upahan banyak yang meninggal di wilayah ini. Hal inilah yang membuat Deandels perlu memberi perhatian khusus terhadap pembangunan wilayah ini yang ditandai dengan dibuatnya prasasti Cadas Pangeran.

Pada periode pembuatan jalan Daendels inilah, kisah pemenuhan kebutuhan makanan cepat saji bagi para kuli bujang tercatat dalam sejarah. Bagi orang Cirebon dan sekitarnya menu nasi dengan lauk sambal dan tempe orek atau ikan asin disebut dengan nama Nasi Jamblang. Orang Tegal dan sekitarnya menyebut sajian ini sebagai Nasi Ponggol. 

Menu-menu cepat saji dengan porsi nasi yang besar bagi kebutuhan para kuli panggul inilah yang hingga hari ini menjadi menu yang banyak tersaji dalam gastronomi orang “kecil” di ibu kota. Sejarah pemenuhan kebutuhan makan bagi para pekerja yang menjual tenaga di ibu kota adalah penanda dalam sejarah makanan rakyat berikutnya. 

Berita Populer