Keketuaan ASEAN merupakan posisi strategis bagi Indonesia sehingga dapat dijadikan sebagai momentum penguatan ketahanan ekonomi nasional, termasuk di pasar uang.
Fluktuasi kurs dolar terhadap nilai tukar mata uang sejumlah negara, telah mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan secara bilateral atau dikenal dengan istilah local currency.
Tidak itu saja, Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang berwenang menggawangi soal mata uang pun berencana memperluas kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan secara bilateral atau local currency settlement ke seluruh negara ASEAN.
Rencana itu menjadi relevan karena Indonesia juga memegang Keketuaan ASEAN 2023, atau ASEAN Chairmanship 2023.
Inisiasi dibenarkan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo. Menurutnya, Keketuaan ASEAN merupakan posisi strategis bagi Indonesia yang dapat dijadikan momentum untuk menguatkan ketahanan ekonomi nasional, termasuk di pasar uang.
“LCS (local currency settlement) kita dorong di kawasan, dengan integrasi penggunaan mata uang lokal,” katanya, dalam agenda ASEAN dan Signifikansinya bagi Perekonomian Indonesia, Senin (13/3/2023).
Sebagai informasi, Keketuaan ASEAN 2023, Indonesia mengusung tema besar “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth" yang bermakna bahwa Indonesia ingin menjadikan ASEAN tetap penting dan relevan bagi masyarakat ASEAN dan dunia.
Untuk mewujudkannya, Indonesia telah menentukan tiga pilar priority economic deliverables (hasil ekonomi yang ingin dicapai) di KTT ASEAN Summit 2023, yaitu pertama, recover-rebuilding, ASEAN bertujuan untuk mengeksplorasi bauran kebijakan yang terkalibrasi, direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik untuk memastikan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi, serta memitigasi risiko seperti inflasi dan volatilitas aliran modal.
Kedua, digital economy. Untuk memperkuat inklusi keuangan dan literasi digital, negara anggota ASEAN perlu meningkatkan kapasitas masing-masing dalam memformulasikan strategi edukasi finansial secara nasional dan meningkatkan interkonektivitas sistem pembayaran regional.
Ketiga, sustainability. Sebagai kawasan yang paling terdampak oleh bencana alam dan risiko terkait iklim, ASEAN perlu merapatkan barisan guna mempersiapkan dan mengarah ke tujuan yang sama dalam kaitan transisi menuju ekonomi hijau.
Sejumlah agenda itu di antaranya melalui penyusunan ASEAN Taxonomy on Sustainable Finance dan Study on the Role of Central Banks in Managing Climate and Environment-Related Risk. Berkaitan dengan kerja sama bilateral penggunaan mata uang lokal, Indonesia kini sudah bekerja sama dengan empat negara untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dengan Indonesia. Keempatnya adalah Tiongkok, Jepang, Thailand, dan Malaysia.
Dody menambahkan, selain menggandeng negara lain di kawasan regional, dalam waktu dekat BI juga akan menempuh kesepakatan LCS dengan beberapa negara di luar ASEAN, di antaranya India dan Korea Selatan.
LCS menjadi instrumen tambahan yang dioptimalisasi oleh otoritas moneter dalam rangka menjaga stabilitas rupiah seiring dengan terus menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) dan derasnya aliran keluar modal asing (capital outflow).
Upaya keras Bank Indonesia untuk mendorong penggunaan mata uang lokal bisa dipahami. Pasalnya, pelemahan mata uang Garuda berimbas cukup besar, tak hanya di pasar keuangan juga pada ekonomi secara makro.
Dolar AS yang terus menguat mendorong kenaikan biaya produksi akibat importasi bahan baku dan penolong yang makin mahal. Tingginya ongkos produksi akan bermuara pada terkereknya harga jual barang di tingkat konsumen sehingga memicu lesatan inflasi yang saat ini tengah diperangi oleh seluruh pemangku kebijakan.
“Cara pembayaran bilateral dengan uang lokal ini akan turut membantu menguatkan rupiah. Meskipun memang masih ada tantangan dalam implementasinya,” ujar Dody.
Sementara itu, dalam implementasinya tidak seluruh pelaku usaha atau eksportir bersedia untuk menerapkan LCS dalam setiap transaksi perdagangan. Musababnya, pebisnis terlebih dahulu memperhatikan kondisi pasar uang. Artinya, sepanjang transaksi dengan dolar AS masih menguntungkan, maka mata uang lokal tidak akan digunakan. Begitu pun sebaliknya. Bank sentral pun menyadari betul kondisi tersebut.
Dody memandang, dalam kaitan bisnis pelaku usaha memang sudah selayaknya untuk mempertimbangkan untung rugi dalam setiap transaksi perdagangan. Di sisi lain, LCS bukanlah satu-satunya instrumen yang diandalkan oleh BI untuk menjaga stabilitas rupiah. Skema lain salah satunya adalah dengan Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE).
Selain itu, BI juga telah melakukan operation twist untuk menjaga stabilitas pasar keuangan sehingga nilai tukar rupiah terjaga. Operation twist adalah skema penjualan Surat Berharga Negara (SBN) bertenor pendek oleh BI yang kemudian membeli SBN tenor panjang.
Penjualan Surat Berharga Negara bertenor pendek dilakukan dengan tujuan merangsang masuknya aliran modal asing atau capital inflow di pasar keuangan.
Adapun, pembelian Surat Berharga Negara tenor panjang mampu menjaga yield lebih terkendali. “LCS hanya dalam aktivitas transaksi. Memang ini tidak sempurna, tetapi yang terpenting kami sudah menyediakan untuk antisipasi,” ujarnya.
Sebagai informasi, data Bank Indonesia menyebutkan total nilai transaksi LCS sepanjang tahun lalu tercatat mencapai USD3,8 miliar, naik sebesar 52 persen dibandingkan dengan realisasi pada warsa sebelumnya yang senilai USD2,5 miliar.
Seiring dengan dibukanya kembali ekonomi negara-negara yang menjalin kemitraan tersebut terutama Tiongkok, dan meningkatnya permintaan, Bank Indonesia optimistis transaksi LCS akan terus meningkat.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mendukung penuh inisiatif Bank Indonesia untuk memperluas LCS dengan negara lain. Pemerintah pun tengah menyiapkan instrumen pendukung agar kebijakan itu terimplementasi dengan maksimal. Salah satunya adalah mendukung dunia usaha yang menggunakan LCS untuk bisa mendapatkan kemudahan di bidang kepabeanan.
Suahasil menambahkan, pelaku usaha yang memanfaatkan LCS akan mendapatkan privilese dalam kaitan pengawasan kepabeanan berbasis risiko.
“Kami menganggap dunia usaha yang menggunakan LCS memiliki risiko kepabeanan lebih kecil. Tentu ini akan kita gabungkan dengan berbagai macam risiko-risiko lainnya,” ujarnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari