Perburuan terhadap satwa liar, langka, dan dilindungi masih terus terjadi dengan berbagai polahnya. Seperti merusak habitat si satwa dengan mengubah tempat habitatnya.
Ya, tempat habitat itu kini banyak yang telah menjadi lahan perkebunan sawit, areal pertambangan, dan permukiman. Sehingga, akhirnya memicu konflik satwa dengan manusia. Padahal semua itu sudah dilindungi di Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Meski sedang memasuki fase pandemi virus SARS COV-2 di Tanah Air, sejumlah lembaga konservasi dan petugas dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) di daerah tidak berkurang staminanya untuk mengevakuasi serta menyelamatkan satwa-satwa liar, langka, dan dilindungi dari berbagai kejadian, termasuk dijadikan hewan koleksi bagi sebagian masyarakat.
Seperti yang terjadi di Sumatra Utara belum lama ini. Pada 11 April 2020, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok berhasil mengevakuasi seekor macan akar (Prionailurus bengalensis) secara sukarela dari warga.
Setelah berdialog dan melakukan sosialisasi mengenai perlindungan satwa liar, langka, dan dilindungi kepada warga, macan akar dibawa ke kandang habituasi untuk pemeriksaan kesehatan. Diperlukan waktu observasi selama 14 hari untuk mengetahui kondisi kesehatan satwa di masa pandemi corona seperti sekarang ini. Beruntung, selama masa pemantauan macan akar dalam kondisi sehat serta masih cukup liar.
Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Palber Turnip, jika selama masa observasi 14 hari tidak ditemukan gejala membawa virus dan dinyatakan cukup sehat, macan akar itu akan segera dilepasliarkan kembali ke habitatnya.
Tak hanya itu saja. Pada 5 April 2020, misalnya, petugas BBKSDA Sumut, bersama relawan Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU), Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) juga berhasil menyelamatkan seekor orangutan sumatera (Pongo abelii).
Primata terancam punah (endagered) berdasarkan World Conservation Union tahun 2004 ini semula terjebak di perkebunan warga di Dusun Perdomuan Nauli, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat. Orangutan berjenis kelamin betina ini tak bisa kembali ke habitat asli di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Saat ditemukan, orangutan seberat 48 kilogram ini dalam kondisi sehat dan tidak mengalami malfungsi alat geraknya. Berhubung orangutan memiliki DNA 97 persen seperti manusia dan untuk mencegah terinfeksi virus corona, maka pihak BBKSDA Sumut memeriksa kondisi kesehatan orangutan yang diperkirakan berusia 18 tahun tersebut.
Mereka mendatangkan dua dokter hewan, masing-masing dari Pusat Penyelamatan Satwa Sibolangit dan YSCL-OIC untuk melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan kesehatan dinyatakan bahwa orangutan tersebut dalam kondisi sehat dan stabil serta harus segera dilepasliarkan kembali ke habitatnya di hutan TNGL Besitang, Langkat.
TNGL merupakan rumah terbesar bagi orangutan sumatera. Sensus World Conservation Union tahun 2004 menyebutkan, sebanyak 7.500 ekor primata berbulu cokelat kemerahan ini hidup di ekosistem hutan hujan tropis seluas 1,09 juta hektare yang membentang dari wilayah Leuser di Aceh hingga Langkat di Sumut.
Sedangkan lembaga nirlaba perlindungan satwa internasional, World Wildlife Fund (WWF) dalam sebuah surveinya pada 2010 menemukan di hutan TNGL masih terdapat 14.600 populasi orangutan.
Populasi orangutan sumatera menyusut drastis dibandingkan era 1990-an awal ketika masih terdapat sekitar 200.000 ekor orangutan berdasarkan data World Wildlife Fund (WWF).
Maraknya pembukaan lahan perkebunan sawit, perburuan masif orangutan, pembalakan liar dan pembukaan permukiman menjadi penyebab menyusutnya satwa endemik asli Indonesia ini.
Saat ini status orangutan sumatera masuk pada Daftar Merah (Red List) kategori Kritis (Critically Endagered) dari lembaga konservasi internasional PBB, International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Menurut Humas BBKSDA Sumut Andoko Hidayat, bersamaan dengan penyelamatan orangutan di Besitang tadi, pihaknya juga menerima penyerahan secara sukarela dua monyet ekor panjang dari warga Kota Medan. Kedua primata dilindungi itu kemudian dilepasliarkan ke Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan.
Bukan itu saja. Bertepatan dengan mulai merebaknya pandemi corona di pertengahan Maret 2020, petugas BBKSDA Sumut bersama Indonesia Sumatran Conservation Program (ISCP) menerima tiga kukang sumatera hasil penyerahan sukarela warga Deli Serdang dan Karo.
Ketiga satwa dilindungi itu kemudian dititipkan BBKSDA Sumut ke pusat rehabilitasi kukang sumatera ISCP, Sibolangit. Mereka akan menjalani rehabilitasi dan habituasi sebelum nanti dilepasliarkan.
Ada juga elang brontok yang diserahkan tokoh pemuda di Karo kepada Kepala Seksi Wilayah I Sidikalang, BBKSDA Sumut, Tuahman Raya Tarigan. Elang brontok ini kemudian dititipkan ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Sibolangit untuk menjalani rehabilitasi dan habituasi sebelum dilepasliarkan.
Di Sumatra Barat, dua warga Palembayan, Kabupaten Agam pada 1 April 2020 telah menyerahkan satwa dilindungi yaitu seekor burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) kepada BKSDA Wilayah I Agam di Lubukbasung.
Risiko Penyakit
Masih adanya warga yang memelihara satwa liar, langka, dan dilindungi selain berdampak kepada kelestariannya, juga berisiko terkena penyakit zoonosis. Peneliti Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra mengatakan, sekitar 61 persen infeksi berasal dari penyakit zoonosis, berarti bersumber dari hewan atau satwa liar.
Terinfeksinya manusia terhadap suatu penyakit, salah satu penyebabnya dipicu oleh interaksi dengan satwa, termasuk perburuan liar dan memelihara satwa, dan mengonsumsi daging satwa. Faktor lain dipicu oleh efek pemanasan global yang menyebabkan patogen-patogen bermutasi.
“Bisa jadi ketika toksin atau zat mutan lain bermutasi, dan ketika kita berinteraksi dengan hewan patogen, bisa terinfeksi pada manusia. Itu harus diwaspadai sedini mungkin," kata Sugiyono dalam sebuah diskusi online mengenai kelestarian satwa.
Sumber penyakit zoonosis bermacam-macam, terutama dilakukan oleh hewan-hewan bertulang belakang. Walaupun ada pula yang menyalurkan atau mentransmisikan melalui hewan kecil atau dapat disebut sebagai vektor. Ini bisa berasal dari kutu, serangga, ataupun tikus. Umumnya vektor menginfeksi manusia karena adanya kontak langsung dengan hewan pembawa virus.
Mode transmisi dengan kontak langsung, misalnya, bisa terjadi pada anjing sebagai pembawa virus rabies kepada manusia. Ada pula kontak tidak langsung seperti virus ebola yang menginfeksi dari kelelawar diturunkan kepada monyet dan kemudian ke manusia.
Ini yang kemudian menyebabkan terjangkitnya manusia oleh beberapa penyakit yang kemudian menyerang sistem kekebalan tubuh dan fungsi organ. Ada TBC, HIV, SARS, MERS, dan terakhir adalah virus corona yang telah menyebabkan kematian hingga ratusan ribu jiwa di seluruh dunia.
Menurut Sugiyono, penularan zoonosis terjadi karena adanya interaksi satwa dengan manusia. Beberapa satwa yang memiliki banyak patogen di antaranya adalah kelelawar, monyet, tikus, dan hewan peternakan.
Selain itu penularan juga disebabkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan terhadap alam sehingga mendorong perpindahan patogen dari hewan ke manusia.
Contoh aktivitas tersebut adalah perubahan pemanfaatan lahan, penebangan hutan, penambangan, pertanian, industri, dan kebiasaan konsumsi satwa liar. Kondisi ini menyebabkan terjadinya transmisi patogen dari hewan ke manusia. “Patogen itu adalah organisme yang dapat menyebabkan penyakit,” kata Sugiyono.
Sebagian besar patogen sensitif terhadap iklim dan dipengaruhi kelembaban. Serta pengaruh ada tidaknya faktor-faktor lain, yang bisa menjadi driver munculnya penyakit infeksi baru.
Di samping itu ada juga penyakit yang bersumber dari parasit, seperti cacing-cacingan, dan protozoa. Contohnya, malaria dan jamur.
Menjaga Ekosistem
Pernyataan Sugiyono ini dibenarkan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno. Ia mengatakan, pandemi virus corona salah satunya karena ketidakseimbangan ekosistem hubungan biotik dan abiotik.
Ia menilai penyebaran corona hingga menjadi pandemi bisa diakibatkan karena terputusnya siklus makanan yang menyebabkan meledaknya suatu komponen hidup tanpa pemangsa dalam kurun waktu yang sama. Bisa juga dilihat bahwa mutasi virus corona berasosiasi dengan beberapa jenis satwa liar.
Pengelolaan konservasi dengan memasukkan sisi kesehatan merupakan bagian dari aspek perlindungan dan pengawetan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable) untuk manusia sendiri.
Sebagai contoh adalah kelelawar yang dikenal sebagai reservoir dari banyak virus. Tindakan menghancurkan habitat dari kelelawar berakibat kepada menyebarnya penyakit sebab memberikan peluang lonjakan kepada spesies lain. Dan pada akhirnya menimbulkan penyakit baru bersifat zoonosis dan menular pada manusia seperti corona.
Direktur Program Inisiasi Alam Indonesia (IAR) Karmele L Sanchez mengingatkan pula mengenai bahaya memelihara satwa liar dilindungi. Selain melanggar hukum, juga berisiko meningkatkan penularan penyakit dari satwa ke manusia atau sebaliknya. "Jika tak ingin makin terjangkit oleh penyakit-penyakit tadi, jangan rusak alam dan ekosistem yang terdapat di dalamnya termasuk satwa liar," kata Sanchez.
Jangan pula diburu untuk dijadikan satwa peliharaan ataupun untuk disantap. Agar kelestariannya tetap bisa terjaga dan tidak terjangkit oleh virus bawaan dari satwa tersebut.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini