Indonesia.go.id - Laboratorium Alam di Tanah Ciremai

Laboratorium Alam di Tanah Ciremai

  • Administrator
  • Kamis, 6 Agustus 2020 | 03:11 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto: Antara Foto/ Dedez Anggara

Kawasan hutan konservasi memiliki nilai sumber daya biologi yang sangat penting dalam menunjang kegiatan budidaya masyarakat sekitar.

Wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) seluas 15.000 hektare merupakan kawasan konservasi yang membentang di kaki lereng Gunung Ciremai.

Secara administratif kawasan ini masuk  Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. TNGC merupakan salah satu kawasan konservasi alam terbesar di pulau Jawa bahkan Indonesia.

Kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati baik flora seperti maupun margasatwa mulai dari trenggiling, elang Jawa, kucing hutan, hingga macan tutul.

Selain populer sebagai jalur pendakian, TNGC dikenal juga memiliki beberapa lokasi wisata alam (ecotourism). Baik yang dikelola oleh TNGC, Perum Perhutani, maupun masyarakat setempat seperti Situ Sanghiang dan kawasan Batu Luhur.

Kekayaan alam Ciremai ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi. Ciremai menjadi laboratorium alam yang menantang bagi siapa pun untuk menggali faedah keanekaragaman hayati di sini.

Sejak tahun 2017, tim Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) telah melakukan penelitian panjang yang merupakan program pengembangan genetik bioprospeksi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK.

Bersama-sama dengan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) mereka telah mengembangkan tiga bioprospeksi mikroba yang bermanfaat bagi masyarakat untuk ketahanan pangan dan ekonomi, yaitu:

 

1. Bakteri Lysinibacilus fusiformis yang merupakan bakteri pemicu pertumbuhan akar atau yang dikenal sebagai Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR).

2. Bakteri Pseudomonas syiringae, bakteri ini dapat melindungi tanaman dari frost sehingga tanaman tahan terhadap embun yang membeku (es) pada tanaman yang mengalami frost seperti di pegunungan Dieng, Bromo dan daerah dataran tinggi lainnya.

3. Cendawan Lecanicilium sp merupakan cendawan patogen serangga hama, khususnya kelompok wereng dan kutu-kutuan.

 

Bioprospeksi mikroba ini berguna sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian ramah lingkungan tanpa pupuk kimia dan pestisida.

Pengembangan biopropeksi ini sejalan dengan Road Map Pembangunan Hutan 2045 yang oleh Bappenas pada 2040 ditargetkan Indonesia “Menguasai Pangsa Pasar Bioprospeksi Dunia”. Penemuan ini telah teruji baik di laboratorium maupun demplot percobaan karena dinilai berhasil meningkatkan tingkat produksi tanaman pangan serta mengurangi biaya produksi.

Ketika Direktur Konservasi Keanekaragam Hayati Direktorat Jenderal KSDAE Indra Exploitasia meninjau Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, dia berharap di masa yang akan datang biopropeksi dapat menjadi model dalam pemanfaatan berkelanjutan dari kawasan konservasi.

Menurutnya, ini sejalan dengan kebijakan KLHK untuk menyeimbangkan antara kelestarian kawasan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. "Ke depan hasil penemuan ini bisa bermanfaat bagi masyarakat daerah penyangga hutan konservasi sekaligus bisa meningkatan ketahanan pangan dan ekonomi menjadi lebih baik," ujar Indra Exploitasia, seperti dikutip dari situs KLHK, Jumat (24/7/2020).

Hasil kolaborasi TNGC dan IPB tersebut menandakan kawasan hutan konservasi memiliki nilai sumber daya biologi yang sangat penting dalam menunjang kegiatan budidaya masyarakat sekitar.

Setidaknya dari temuan ini publik bisa melihat bahwa isu seputar kawasan konservasi bukan sekadar soal habitat satwa liar, reservasi air, perubahan iklim, dan wisata alam.

Kegiatan eksplorasi, dan pemanfaatan mikroba berguna asal taman nasional, bisa menjadi model kontribusi taman nasional, sebagai solusi memecahkan masalah pertanian pegunungan dan perubahan iklim.

Penelitian yang yang dipimpin oleh Suryo Wiyono dari Laboratorium Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB itu melibatkan 37 sampel yang dikumpulkan dari tanah, akar-akaran, dan daun dari berbagai tanaman di kawasan TNGC untuk mendapatkan mikroba berguna.

 "Berdasarkan hasil isolasi, uji hemolysis, dan uji hipersensitif, menghasilkan tiga kelompok mikroba yang berguna bagi tanaman. Pertama, cendawan patogen serangga hama, khususnya kelompok wereng dan kutu-kutuan, yaitu cendawan Hirsutella sp dan Lecanicillium sp.," jelas Suryo Wiyono.

Hasil eksplorasi tim TNGC dan IPB menemukan isolat bakteri pemacu pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR) yaitu C71 yang mampu meningkatkan panjang akar bibit tomat 42,35 %, dan meningkatan daya kecambah sebesar 178 %.

PGPR tersebut juga mampu membuat tomat lebih tahan penyakit bercak daun. Selanjutnya, kegiatan ini juga menghasilkan bakteri yang paling efektif dalam menekan dampak beku es bagi tanaman, yaitu PGMJ 1 (asal Kemlandingan Gunung), dan A1 (asal Anggrek Vanda sp.), keduanya dengan tingkat keefektifan 66,67%.

Fakta di lapangan juga menunjukan bahwa mikroba bermanfaat dari dalam kawasan TNGC terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan menyehatkan tanaman. Termasuk pada tanaman pemulihan ekosistem, terbukti mempercepat pertumbuhan tinggi tanaman hutan hanya dalam kurun waktu 5 bulan.

Pada saat ini, sebagian besar petani dari 54 desa penyangga langsung menggunakan bahan kimia buatan sebagai penyubur tanaman maupun sebagai pembasmi hama.

Praktek yang sudah dilakukan bertahun-tahun tersebut dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem alam, baik yang ada di dalam kawasan TNGC maupun di luar kawasan. Hal inilah yang menjadi latar belakang kerja sama penelitian antara Balai TNGC dan Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB sejak 2017.

Sebagai tindak lanjut dari penelitian tersebut, Balai TNGC dan Fakultas Pertanian IPB dengan melibatkan para pihak terkait akan menyusun peta jalan yang memuat tahapan karakterisasi molekuler, pengujian, dan implementasi lapangan dalam skala yang lebih luas.

Hasil bioprospeksi mikroba berguna di TNGC tersebut merupakan bukti nyata bahwa kawasan konservasi adalah bank genetik yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan mengembangkan pertanian sehat tanpa pupuk kimia dan pestisida.

Adapun, Kepala Balai TNGC, Kuswandono menyatakan, pihaknya akan terus berinovasi dalam mengelola kawasan konservasi. Bioprospeksi mikroba ini baru sebagian kecil dari pengelolaan keaneragaman hayati yang ada di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Penelitian-penelitian lainnya bakal diteruskan untuk mengungkap "misteri" keanekaragaman hayati di TNGC agar dapat diambil manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat lokal pada khususnya dan rakyat Indonesia serta dunia pada umumnya.

 

 

 

Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini