Ditetapkan pada tahun 2001 dengan luas 9 hektar, sebuah kawasan konservasi yang terletak tepat di jantung kota Tarakan, Kalimantan Utara, menjadi rumah yang nyaman bagi pertumbuhan ribuan pohon mangrove sekaligus fauna endemik khas tanah Borneo, yakni bekantan. Jenis primata yang ukurannya mampu mencapai panjang 53-76 centimeter dan berat mencapai 7-22,5 kilogram ini kerap disebut sebagai monyet Belanda lantaran memiliki ukuran hidung yang besar, panjang, dan menggantung. Sering pula disebut pika, bahara bentangan, raseng, dan kahau, bekantan adalah hewan yang gemar memakan pucuk-pucuk daun muda pohon bakau, selain memakan pula jenis buah, bunga, kulit pohon, serangga, dan kepiting.
Di lokasi bernama Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan yang sejak tahun 2006 wilayahnya diperluas menjadi 22 hektar, jumlah populasi bekantan tak lebih dari 30 ekor. Jumlah ini terbagi menjadi dua kelompok besar, di mana setiap kelompok mempunyai tetua atau pemimpin bekantan. Menurut petugas KKMB, terdapat dua pemimpin kelompok bekantan di kawasan konservasi ini, yaitu bernama John dan Michael.
Tugas pemimpin kelompok tampak ketika jam makan pagi mereka tiba, di mana petugas KKMB akan mengirim menu sarapan berupa buah pisang muda ke meja makan mereka di tengah hutan bakau yang terbuat dari kayu. Pemimpin kelompok akan makan belakangan, mempersilakan para anggota kelompoknya makan lebih dulu. Sedangkan ia akan menjaga situasi sekitar kalau-kalau terjadi gangguan atau serangan.
Mendiami kawasan konservasi menjadi sebuah indikasi bahwa bekantan merupakan jenis fauna yang berada dalam status perlindungan dan pelestarian. Jika menilik data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), status bekantan berubah dari posisi vulnerable (Rentan) pada tahun 1986-1996, ke posisi endangered (Terancam Punah) di tahun 2000 hingga sekarang. Sedangkan menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), primata bernama ilmiah Nasalis larvatus ini masuk ke dalam daftar Apendix I yang artinya bekantan dilarang untuk diperdagangkan, baik secara nasional maupun internasional, dengan cara apapun.
Namun, miris nasib bekantan. Rahman Jiebeda, 48, yang menjadi guide kami saat mengunjungi KKMB, bercerita bahwa bekantan masih menjadi sasaran empuk para pemburu. Meski berstatus endangered dan tak boleh diperdagangkan, pemburu masih saja mengincar daging bekantan yang konon menjadi umpan yang efektif untuk berburu labi-labi, sejenis kura-kura berpunggung lunak. Rahman mengatakan, bekantan yang hidup di hutan rawa, rawa gambut, muara pinggir sungai, dan hutan mangrove di wilayah pulau Kalimantan, setidaknya harus menyerah pada tangan-tangan pemburu setiap pekannya dengan jumlah antara 5-10 ekor. Bahkan, hewan-hewan lain seperti makaka dan babi pun turut menjadi incaran.
Tidak hanya di tangan pemburu, bekantan juga harus berjuang hidup melawan aktivitas alih fungsi lahan hutan yang makin marak terjadi. Di tengah penebangan pohon demi memenuhi kebutuhan ekonomi daerah dan nasional, bekantan rela terusir dari habitat aslinya dan memaksanya menjamah pemukiman warga.
Kisah Rahman tersebut terlihat dari data populasi bekantan yang kian tahun kian menurun. Dalam diskusi bertajuk “Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan” tanggal 5 Desember 2017 di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Sofian Iskandar, seorang peneliti bekantan, mengatakan bahwa populasi bekantan menurun drastis sebanyak 90 persen dalam 20 tahun terakhir. Habitatnya di kawasan hutan mangrove juga turut mengalami penurunan sebanyak 3,1 persen setiap tahun.
Sedangkan menurut Supriatna dkk (2004), populasi bekantan pada tahun 1994 berada di angka 114.000 individu dan tersisa sekitar 15.000 individu pada tahun 2004. Laju kehilangan habitat bekantan sebesar 3,49 persen per tahun, tidak hanya di luar kawasan konservasi, namun juga di dalam area konservasi.
Salah satu penurunan habitat bekantan yang paling kentara terlihat di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Makin meluasnya aktivitas kawasan industri di wilayah Pelabuhan Somber yang letaknya berdampingan dengan hutan mangrove Somber, mengakibatkan pencemaran dan penurunan wilayah habitat bekantan. Dampaknya, bekantan terpecah belah dari kelompok besar menjadi kelompok yang lebih kecil, yang membuat mereka melakukan proses kawin kerabat. Kawin kerabat ini biasanya akan menghasilkan keturunan dengan kualitas yang menurun. Tak hanya itu, kegiatan industri yang bising juga memengaruhi tingkat stres bekantan yang berdampak buruk pada proses reproduksi.
Menyadari ancaman kepunahan terhadap satwa apendiks dengan rambut berwarna coklat kemerahan ini, mendorong banyak aktivis dan pemerhati lingkungan melakukan aksi nyata untuk menyelamatkan populasi bekantan.
Upaya tersebut dilakukan dalam beberapa strategi, seperti penanaman pohon bakau di kawasan hutan riparian (batas antara wilayah sungai/laut dengan daratan/pemukiman), yang merupakan habitat asli bekantan, dan melakukan aksi sosialiasi untuk meningkatkan perhatian publik terhadap kelestarian bekantan. Dengan kesadaran yang tinggi, diharapkan masyarakat dapat membantu melaporkan aktivitas perburuan bekantan yang mereka ketahui ke pihak kepolisian, atau mengembalikan bekantan ke instansi terkait jika satwa tersebut tampak berkeliaran di pemukiman warga.
Selain itu, konservasi bekantan juga dilakukan melalui model konservasi insitu dan exsitu. Konservasi insitu merupakan upaya konservasi pada habitat asli dan masih terdapat populasi bekantan, seperti pada wilayah taman nasional, cagar alam, hutan lindung, sanctuary, dan suaka margasatwa. Sedangkan konservasi exsitu menitikberatkan perlindungan bekantan di luar habitat aslinya dan tidak ada populasi bekantan di dalamnya, seperti di lokasi penangkaran, kebun binatang, dan taman safari. Yang perlu diperhatikan, konservasi exsitu harus sangat memperhatikan informasi tentang kehidupan alami bekantan, pengetahuan ekologi dan perilakunya, serta pengetahuan tentang komposisi dan kandungan gizi makanannya, agar bekantan tidak stres dan aman dari serangan penyakit pneumonia dan enteritis (Bismark, 2010). (K-ID)