Indonesia.go.id - Owa Jawa, Si Primata Setia yang Terancam Punah

Owa Jawa, Si Primata Setia yang Terancam Punah

  • Administrator
  • Kamis, 31 Oktober 2019 | 03:13 WIB
KONSERVASI
  Owa Jawa. Foto: Dok. KJPL

Membaca dua kata ‘Owa Jawa’, kita akan bertanya; apa itu? Dalam persepsi kita,  ‘Owa Jawa’ adalah rumah, karena lafal kata ‘owa’ di awal kedua kata itu. Meskipun ada kata keterangan bahwa ‘Owa Jawa” adalah jenis ‘primata’ itupun masih belum menjawab penasaran kita. Apa itu ‘owa’ dan seperti apa bentuk primata ini.

Bagi generasi modern yang tinggal di kesibukan dan modernitas kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dan Pulau Jawa pada khususnya, keberadaan Owa Jawa tentu saja akan ditanggapi dengan raut muka tanda tanya. Seperti apa bentuknya mungkin akan menjadi pertanyaan pertama yang terucap saat kita bertanya kepada rekan bicara di hadapan kita. Namun, bagi banyak orang yang tahu dan mengerti, Owa Jawa adalah salah satu hewan langka.

Owa Jawa atau Hylobates moloch adalah sejenis primata anggota suku Hylobatidae dengan angka populasi antara seribu hingga dua ribu ekor saja. Owa Jawa adalah jenis kera atau primata dari spesies ‘owa’ yang paling langka di dunia dan tersebar terbatas hanya di Jawa bagian barat. 

Salah satu ciri pengenalan dari Owa Jawa adalah tubuh primata yang tidak berekor dan berlengan relatif panjang dibandingkan dengan panjang tubuhnya sendiri. Tangan yang panjang dan berotot kuat ini tentunya digunakan sebagai tumpuan untuk mengayun dan berpindah dari dahan pohon tinggi yang satu ke pohon tinggi berikutnya.

Tubuh Owa Jawa berwarna keabu-abuan dengan sisi atas kepala lebih gelap dan wajah berwarna kehitaman. Inilah beberapa ciri khas dari Owa Jawa yang perlu diketahui karena tidak semua orang pernah melihat primata yang langka ini.

Kebiasaan Owa Jawa

Owa Jawa hidup berkelompok dalam jumlah kecil seperti halnya keluarga inti yang terdiri dari pasangan jantan dan betina beserta dengan satu atau dua anaknya yang masih kecil. Perlu diketahui bahwa ciri utama dari Owa Jawa dewasa adalah kesetiaan dari pasangan jantan dan betinanya. Pasangan Owa Jawa adalah pasangan monogami dimana si jantan akan setia dengan pasangan betinanya. 

Owa betina akan melahirkan setiap tiga tahun sekali dengan masa mengandung selama tujuh bulan. Bayi Owa Jawa akan disusui oleh si betina selama sekitar delapan belas bulan lamanya dan akan tinggal dalam lingkungan keluarga kecil ini hingga dewasa sampai sekitar umur delapan tahun, baru kemudian akan memisahkan diri untuk mencari pasangannya sendiri. Bayangkan jika terjadi perburuan liar terhadap kelompok Owa Jawa dan memisahkan salah satu dari hewan ini dari lingkungannya.

Kera ini termasuk hewan diurnal dan arboreal yang artinya hidup di atas dahan-dahan tinggi pepohonan dan pemakan buah-buahan, daun, dan bunga-bungaan di sekitarnya. Kelompok demi kelompok dari Owa Jawa bergerak menyusuri kanopi hutan dengan berayun dan memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan ayunan tangan yang lincah dan energik.

Kelompok Owa Jawa adalah hewan teritorial yang akan mempertahankan daerahnya dari kelompok lain. Di pagi hari dan juga siang hari, Owa betina akan mengeluarkan suaranya untuk mengumandangkan daerah teritorinya. Dari suara kencang yang bersahut-sahutan ini, kita dapat mengetahui jumlah kelompok Owa yang ada dan selanjutnya berapa jumlah individunya juga.  

Salah satu keunikan dari primata endemik asal Indonesia ini adalah kesetiaannya pada pasangan hidup. Owa Jawa merupakan satwa yang sangat selektif dalam memilih pasangan hidup dan termasuk satwa yang monogamik, dia akan memiliki pasangan yang dipilihnya untuk seumur hidupnya.

Begitu setianya maka apabila pasangannya mati, maka owa yang ditinggal mati itu tidak akan mencari pasangan lain dan akan hidup menyendiri sampai akhir hayatnya. Sifat ini juga sangat mempengaruhi kehidupan keluarga pasangan owa dalam satu ikatan keluarga yang sangat erat. 

Kasus-kasus perburuan ilegal dimana induk owa dibunuh untuk diambil bayinya menyebabkan sang bayi pun tidak akan hidup lama tanpa keberadaan induknya. Mereka akan menjadi sangat stres kehilangan induk dan akhirnya mati pula. Sementara keluarga yang ditinggalkan karena salah satunya terbunuh juga akan menjadi stres, sakit-sakitan, lalu akan mati pada akhirnya.

Jangka kelahiran yang lama, dan sifat monogami dari hewan ini, serta sifat teritorial dari kelompok keluarga Owa Jawa, menjadikan konservasi primata ini sangat sukar untuk dijalankan. Dan, tak heran dengan adanya perburuan liar, hewan ini menjadi salah satu yang sangat dilindungi karena jumlahnya yang semakin sedikit.

Perlindungan dengan Konservasi

Sebagai salah satu hewan asli dari Pulau Jawa dan terancam punah maka Owa Jawa harus dilindungi dengan konservasi. Habitat asli Owa Jawa terbesar berada di Taman Nasional Ujung Kulon, daerah Gunung Halimun, Gunung Salak, serta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.  

Untuk menjaga populasi Owa Jawa di daerah-daerah ini, polisi hutan melakukan patroli di taman-taman nasional serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan karena di tempat inilah habitat Owa Jawa berada. Kerusakan hutan dengan membuka lahan akan merubah ekosistem di daerah sekitar dan juga mengganggu habitat hidup Owa Jawa serta satwa-satwa lain.

Untuk itu hal-hal tersebut di atas harus dihindari dengan payung hukum yang berlaku. Owa Jawa menjadi satwa yang dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. P92 tahun 2018 tentang perubahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. P20 taun 2018 tentang Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar. Untuk itu Ora Jawa masuk ke dalam daftar merah IUCN dengan status vulnerable atau terancam punah.  

Salah satu perlindungan terhadap Owa Jawa adalah dengan memonitor populasinya serta menanami jenis-jenis tanaman asli sebagai sumber pakan dari Owa Jawa itu sendiri. Siapa yang tidak ingin primata yang setia ini tetap mengisi hutan-hutan di Taman Nasional Jawa Barat?

Bagaimanapun juga Owa Jawa harus dilindungi dan dikembangbiakkan lebih lagi karena mereka adalah hewan asli dari Pulau Jawa. Kita tentu tidak ingin melihat mereka punah karena ketidakpekaan kita terhadap perlindungan satwa setia ini. (K-SB)