Indonesia.go.id - Membangun Industri Sawit Berkelanjutan

Membangun Industri Sawit Berkelanjutan

  • Administrator
  • Selasa, 10 Desember 2019 | 03:30 WIB
INDUSTRI SAWIT
  Pekerja mengangkut kelapa sawit kedalam truk di Perkebunan sawit di Mesuji raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Minggu (9/6/2019). Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Setelah berproses sejak 2014, di penghujung tahun ini akhirnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).

Inpres RAN-KSB diteken presiden pada 22 November 2019 ini diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.

Selain itu, beleid ini juga bermaksud meningkatkan diplomasi untuk mencapai perkebunan sawit berkelanjutan, dan mempercepat perkebunan sawit Indonesia berkelanjutan. Aturan ini juga sengaja dibuat sebagai upaya menangkal kampanye negatif kepada sawit.

Profil Industri

Ya, bagaimanapun industri sawit adalah salah satu industri unggulan nasional Indonesia. Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah industri kunci bagi perekonomian Indonesia. Selain minyak kelapa sawit merupakan primadona ekspor dan penghasil devisa yang penting, industri ini juga memberikan kesempatan kerja bagi jutaan orang.

Merujuk Outlook Kelapa Sawit 2018 keluaran Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementerian Pertanian (2018), disebutkan berdasarkan data FAO, Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia menguasai pangsa sebesar 48,33 persen pangsa minyak sawit dunia. Posisi ini juga sekaligus menjadikan Indonesia ialah negara eksportir terbesar.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1575453118_Grafis_Produksi_Minyak_Sawit.jpg" />

Masih seturut sumber di atas, pada 2009 Indonesia masih memproduksi 19,32 juta ton minyak sawit mentah dan 3,86 juta ton inti sawit. Angka ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2018 menjadi 41,67 juta ton minyak sawit mentah dan 3,86 juta ton inti sawit.

Tak kecuali, ekspor dalam wujud minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga terus mengalami tren peningkatan seiring peningkatan produksi kelapa sawit. Jika pada 2009 ekspor CPO barulah mencapai 16,83 juta ton, angka ini terus meningkat menjadi 27,35 juta ton pada 2017.

Lebih jauh, dengan asumsi “cateris paribus”—bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri sawit baik internal maupun eksternal berada pada kondisi konstan atau tetap—kembali merujuk Outlook Kelapa Sawit 2018 maka diproyeksikan produksi kelapa sawit akan mencapai 48,44 juta ton pada 2022. Dengan kapasitas produksi sebesar itu, net ekspor diproyeksikan akan meningkat menjadi 29,59 juta ton. Sisanya yaitu sebesar 18,85 juta ton digunakan untuk konsumsi domestik.

Menurut BPS (2018) dalam Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018, bagaimanapun sektor pertanian secara umum di Indonesia masih berkontribusi di atas 10 persen terhadap PDB. Ambil contoh, pada 2017 sektor pertanian menyubang sebesar 13,4 persen dan pada 2018 sebesar 12,81 persen terhadap PDB. Dalam kontribusinya terhadap PDB, sektor pertanian menempati urutan ketiga setelah sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.

Sedangkan bicara sektor pertanian, maka salah satu subsektor yang penting ialah hasil perkebunan. Sejauh ini subsektor perkebunan ini menempati urutan pertama dalam kelompok usaha di sektor pertanian. Pada 2018 tercatat kontribusinya ialah sebesar 3,30 persen terhadap total PDB dan 25,75 persen terhadap sektor pertanian.

Dalam konteks inilah, bicara industri kelapa sawit jelas merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan yang mempunyai peranan penting. Merujuk laman Indonesia-Investments, Industri sawit ini diestimasi rata-rata turut menyumbang di kisaran antara 1,5 - 2,5 persen terhadap PDB. Meski demikian pada 2018, merujuk data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2019), nilai ekspor sawit bahkan tembus mencapai hingga US$ 17,89 miliar dengan kontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB.

Pada 2017, luas areal tercatat sebesar 14,03 juta hektar. Sentra produksi kelapa sawit di Indonesia adalah di Provinsi Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Jambi.

Sementara bicara serapan tenaga kerja, Kementerian PPN/Bappenas pernah memberi estimasi, bahwa industri ini mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja. Dengan perincian yaitu sebesar 4,2 juta merupakan tenaga kerja langsung dan 12 juta merupakan tenaga kerja tidak langsung.

Merujuk Naskah Kebijakan (Policy Paper) terbitan Kementerian PPN/Bappenas (2010) berjudul Kebijakan dan Strategi Dalam Meningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia secara Berkelanjutan dan Berkeadilan, mengutip hasil penelitian Asian Development Bank (ADB 2002) angka koefisien gini di sektor sawit berada di kisaran 0,36. Angka ini masih termasuk kategori pendapatan yang nisbi merata. Pasalnya rasio ini masih di bawah koefisien 0,40 sebagai ambang batas dimulainya indikasi ketimpangan pendapatan.

Suka atau tidak-suka, ini juga berarti menunjukkan perkebunan sawit berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Kampanye Negatif

Sayangnya, tak kecil hambatan global rasa- sengaja didesain untuk menghadang primadona ekspor ini. Kampanye hitam terkait industri sawit menjelujur dalam ragam isu dan mitos. Dari isu lingkungan berupa ancaman pemanasan global karena deforestasi hutan, ancaman kelestarian keanekaragaman hayati, hingga dikatakan sebagai produk minyak goreng yang tidak sehat dan berdampak munculnya beragam penyakit degeneratif seperti diabetes dan lain sebagainya.

Tak tanggung-tanggung, atas nama isu lingkungan dan kesehatan labelisasi 'Palm Oil Free' atau ‘No Palm Oil’ sengaja disematkan pada produk industri hasil perkebunan kelapa sawit dan berbagai produk turunannya.

Kampanye anti sawit telah bergulir sejak 1980-an ketika Indonesia sedang mulai mengembangkan perkebunan kelapa sawit, dan semakin intensif sejak 2006 ketika Indonesia mulai menjadi produsen terbesar di dunia. Saat itu juga minyak sawit tercatat mulai menggeser dominasi minyak kedelai atau lainnya di pasar minyak nabati dunia.

Pada November 2007, NGO internasional Green Peace mengeluarkan publikasi yang provokatif, How the Industry Palm Oil is Cooking the Climate. Kampanye anti sawit ini berlanjut dengan menekan industri biskuit sebagai pengguna akhir produk minyak sawit. Misalnya pada Februari 2008, BBC mengusung tema kampanye Dying for Biscuit. Pada April 2018, perusahaan multinasional Unilever juga ditekan secara langsung. Kali ini mengusung tema Dove is Detroying Rainforest for Palm Oil. Tak kecuali, pada 2010 tekanan langsung juga disasarkan pada perusahaan multinasional lainnya seperti Nestle atau Kit Kat. Belakangan pada Juli 2015 juga ditujukan pada pelabagi perusahaan mie instan, dan lain sebagainya.

Puncaknya kampanye anti sawit mengemuka kuat saat Menteri Ekologi Perancis, Segolene Royal, pada 17 Juni 2015 mengajak masyarakat tidak mengkonsumsi coklat Nutella. Alasannya karena produk ini mengandung minyak sawit yang disebutnya sebagai penyebab deforestasi dan pemanasan global. “Tidak mengkonsumsi coklat Nutella berarti menyelamatkan dunia (save the planet)”, demikian selorohnya.

Puncak lainnya ialah disahkannya Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforest (2016/2222(INI)) oleh Parlemen Uni Eropa di Starssbourg pada bulan April 2017.

Substansi Inpres RAN-KSB

Sudah tentu dalam rangka mengantisipasi kampanye negatif inilah, salah satu alasan keluarnya Inpres RAN-KSB. Inpres RAN-KSB melibatkan 14 Kementerian/Lembaga serta jajaran Gubernur hingga Bupati/Walikota. Bicara peran Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagangan ialah melakukan tugas diplomasi dan promosi, serta melakukan advokasi supaya Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Bekelajutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) dapat diterima oleh masyarakat internasional.

Seperti diketahui, Indonesia telah merumuskan Indonesian Sustainable Palm Oil atau disingkat ISPO. Kebijakan ini jelas bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional.

Menarik digarisbawahi di sini, ISPO mengemban komitmen penuh Indonesia terkait upaya untuk mengurangi dampak gas rumah kaca dan pemanasan global, serta memberikan perhatian pernuh terhadap pelbagai isu lingkungan. Ini semua kemudian dijadikan sebagai prinsip-prinsip utama yang dirumuskan dalam tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.

Tentu bukan hanya dimaksudkan untuk menjawab kampanye negatif itu. Dalam inpres ini, pelaksanaan RAN-KSB ini memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Melalui inpres ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian segera menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan dan membentuk tim untuk pelaksanaan RAN KSB. Juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit.

Menteri Pertanian diminta untuk melakukan penguatan data dasar perkebunan sawit. Juga diminta meningkatkan sosialisasi tentang regulasi dan kebijakan terkait usaha perkebunan sawit. Tak terkeculi, pun harus dapat meningkatkan kepatuhan hukum para pelaku usaha, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, serta melakukan percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil), dan lain-lain.

Tak kalah pentingnya ialah tugas Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Merujuk Inpres RAN-KSB kementerian ini mengemban tugas meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan kelapa sawit. Selain itu juga melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi potensi penurunan emisi gas rumah kaca di areal perkebunan.

Sementara, sebagai antisipasi terjadinya tren penurunan permintaan dunia dan sekaligus sebagai upaya Indonesia mengurangi ketergantungan pada produk energi fosil, Inpres RAN-KSB memberikan mandat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Apakah tugasnya? Sudah tentu berupa pemanfaatan produk kelapa sawit sebagai energi terbarukan dalam rangka ketahanan energi nasional. (W-1)