Pemerintahan Jokowi-JK menempatkan itu reforma agraria ini sebagai salah satu program prioritas nasional dan menuangkannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pelaksanaannya diatur lebih jauh dalam Perpres nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017. Dari perpres itu, kemudian lahan 9 juta hektar lahan negara ditetapkan jadi target redistribusi dan legalisasi aset di bawah payung reforma agraria. Sumbernya dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan (perkebunan).
Di bawah payung RA itu sendiri sebetulnya ada dua program, redistribusi tanah dan legalisasi tanah, dengan porsi masing-masing 4,5 juta hektar. Untuk keperluan redistribusi ini, pemerintah akan memanfaatkan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang telah habis masa berlakunya, tanah telantar, dan tanah negara lain yang seluruhnya seluas 400.000 hektar, ditambah pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar.
Realisasi redistribusi tanah ini hingga 2017 tercatat sebanyak 262.189 bidang. Jika satu bidang rata-rata dua hektar, realisasi 2017 itu mencapai sekitar 525 ribu hektar. Sedangkan target 2018 sekitar 350.000 bidang, dan 2019 sekitar 980.000 bidang sehingga keseluruhanya 1,5 juta bidang yang terhampar seluas 4,5 juta ha.
Adapun legalisasi itu mencakup, antara lain, 600.000 ha tanah transmigrasi yang belum bersertifikat dan 3,9 juta bidang tanah lainnya yang secara de facto telah diusahakan rakyat selama bertahun-tahun. Sebagian dari tanah sasaran legalisasi ini telah mendapat sertifikat 2017, sebagai bagian dari 5 juta sertifikat yang diterbitkan lewat program sertifikasi oleh Kementerian ATR/BPN.
Program Reforma Agraria itu sendiri sudah dimulai di era Pemerintahan SBY-JK di bawah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan 2007. Tanah reforma agraria yang diredistribusikan direncanakan mencapai 9,25 juta hektar, terdiri dari 1,1 juta hektar tanah yang menurut UU sudah bisa diperuntukkan bagi landreform, dan 8,15 lainnya berupa tanah-tanah berstatus kawasan hutan produkti konversi.
Namun, redistribusi tanah di era Presiden SBY hasilnya tidak banyak terpublikasikan. Dalam skema reforma agraria itu, tanah redistribusi akan dimiliki rakyat dan hak itu dikukuhkan dengan sertifikat. Program Reforma Agraria itu dianggap mendesak karena ada ketimpangan yang tajam dalam penguasaan tanah pertanian di Indonesia, hal yang belum berubah bahkan sejak era kolonial dulu.
Di awal pemerintahan Presiden Jokowi, kondisinya cukup parah. Hanya segelintir korporasi yang mewakili 0,02% warga menguasai lebih dari 70% asset produktif nasional yang sebagian besar berupa tanah.
Reforma Agraria bukan pekerjaan gampang. Program ini harus menembus belantara hukum dan peraturan, ditambah lagi kesimpangsiuran peta lahan. Namun, program ini harus terus berjalan untuk memberikan aset produktif bagi masyarakat miskin. Payung Reforma Agraria juga bisa memberikan jalan keluar untuk kawasan-kawasan yang selama bertahun-tahun menghadapi problem.
Jika target Reforma Agraria Jokowi-JK ini tercapai, itu merupakan pembuka jalan bagi reforma agraria lebih lanjut yang tidak hanya meredistribusikan tanah, namun lebih jauh bisa menyelesaikan sengketa tanah di berbagai daerah. Target akhirnya, tentu mengubah struktur agrarian yang timpang ini agar lebih berkeadilan. (P-1)