Bicara sejarah Asian Para Games sendiri bermula dari dibubarkannya FESPIC Games (Far East and South Pacific Games) dan FESPIC Committee pada 2006. FESPIC Games ialah ajang multi-even olahraga untuk disabilitas di Asia dan Pasifik Selatan. Sejauh ini FESPIC Games telah berlangsung 9 episode. Pertamakali diadakan di Oita Jepang di 1975. Sedang Kuala Lumpur Malyasia menjadi tuan rumah terakhir pada 2006.
Asian Paralympic Committee kemudian mengambil alih tanggung jawab yang dulu dimiliki FESPIC Committee dan memposisikan diri menjadi wadah organisasi olahraga paralimpik di tingkat Asia. Ya, sejak akhir September 2006 itulah, juga telah disepakati bahwa ajang multisport empat tahunan bagi kaum disabilitas dihelat "satu paket" dengan penyelenggaraan Asian Games.
“Asian Para Games” demikianlah diberi nama. Dihelat pertamakalinya di Guangzhou China pasca Asian Games XVI 2010. Sedang Asian Para Games II di Incheon Korea Selatan 2014, dihelat pasca Asian Games XVII 2014 juga. Pada Asian Para Games I, Indonesia menempati ranking keempatbelas dengan 1 emas, 5 perak, dan 5 perunggu. Sedang pada Asian Para Games II, Indonesia menempati ranking kesembilan dengan 9 emas, 11 perak dan 18 perunggu.
Tak kecuali, Indonesia. Setelah jadi fasilitator penyelenggaraan Asian Games XVIII, maka gelaran ajang olahraga multi even bagi kaum disabilitas di tingkat Asian juga diselenggarakan di Indonesia. Menyimak logo Asian Para Games III, konsep utama yang menjadi pesan Indonesia bagi dunia ialah 'harmoni' dan 'keseimbangan.' Dibentuk oleh keragaman bangsa-bangsa di seluruh Asia, yang bersama-sama bersinar bagi dunia sebagai 'The Energy of Asia'. Logo itu bukan saja mengilustrasikan pesan harmonis dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan alamnya namun juga dengan lingkungan kehidupannya. Singkat kata, pesan utamanya ialah perayaan tentang kemanusiaan manusia itu sendiri yang dibingkai oleh paradigma kesetaraan.
Kebijakan Humanis
Patut diingat di sini. Bersamaan dengan diakhirinya FESPIC Games pada 2006 lalu, pada tahun yang sama telah lahir “Convention on the Right of Persons with Disabilities” (CRPD). CRPD adalah konvensi mengenai hak penyandang disabilitas. Diadopsi oleh PBB pada 13 Desember 2006, dan mendapatkan status legal secara penuh pada 30 Maret 2007. Konvensi internasional ini membawa wacana tentang perubahan model pendekatan terhadap kaum disabilitas. Dari ‘charity based’ menuju ‘human right based,’ yang memandang semua manusia memiliki hak-hak yang sama dan harus diperlakukan tanpa diskriminasi sedikitpun. Aspirasi luhur tentang pemuliaan harkat dan martabat kemanusiaan manusia itu sendiri kini bukan saja semakin nyaring terdengar di negara-negara maju tapi juga bergema keras di negeri zamrud katulistiwa.
Tak mau ketinggalan. Indonesia segera turut berderap maju mengikuti ayunan langkah peradaban dunia yang semakin humanis. Pada 10 November 2011, Pemerintah mengesahkan Convention on the Right of Persons with Disabilities menjadi undang-undang. Konvensi itu diratifikasi menjadi Undang-undang No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Melangkah lebih maju, pada 15 April 2016 Pemerintah kembali mengesahkan Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sebelum kedua regulasi itu, sebenarnya Pemerintah juga sudah mengesahkan Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; juga Undang-undang No.28 Tahun 2002 tentang Pembangunan Gedung; atau juga Undang-undang No.25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik; dan lain sebagainya. Namun materi muatan regulasi di atas masih cenderung lebih bersifat belas kasihan (charity based)—di mana dasar pemenuhan hak penyandang disabilitas masih dinilai sebagai masalah sosial yang strategi pemenuhan hak-haknya semata-mata baru bersifat jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial—dan bukan ‘human right based.’
Kembali ke topik olahraga paralimpik. Sebelum perhelatan Asian Para Games III ini, saat olahraga paralimpik masih dalam format FESPIC Games, Indonesia sebenarnya pernah menjadi negara tuan rumah. Saat itu FESPIC Games IV dilangsungkan di Surakarta pada 31 Agustus – 7 September 1986, melibatkan 834 atlet dari 19 negara.
Menarik dicatat di sini. Surakarta sudah sejak lama telah dikenal sebagai “kota ramah disabilitas.” Ya, Disability Friendly Cities (DFC) awalnya diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian realiasi konvensi CRPD. Konsep kota ramah disabilitas ini dimaksudkan untuk melindungi hak dan martabat penyandang disabilitas terkait aksesibilitas mereka terhadap seluruh pelayanan publik baik fisik maupun non-fisik. Dalam konteks inilah Pemda tentu saja memegang peranan kunci.
Seperti diketahui bersama. Pada 2014 Kota Surakarta menerima Piagam Kebijakan Inovatif dari Zero Project International selaku penyelenggara pemberian nominasi pada kota-kota yang fasilitas publiknya dianggap bersifat aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Bidang yang dinilai ialah aksesibilitas transportasi, informasi dan komunikasi. Sedang bicara bagaimana proses sejarah capaian penghargaan terhadap kota Vorstenlanden itu, maka tentu jawabannya ialah fondasi kebijakan yang telah ditorehkan oleh pemerintah sebelumnya.
Adalah Joko Widodo sebelum menjadi Presiden Ketujuh Indonesia, saat masih Walikota di Surakarta. Tercatat dia berkontribusi besar atas terciptanya Kota Surakarta sebagai kota ramah disabilitas. Pada 2008, Pemda Kota Surakarta telah menerbitkan Perda Kota Surakarta No.2 Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Difabel. Merujuk ketentuan itu Pemda berkewajiban mewujudkan kesetaraan disabilitas, antara lain melalui: perlindungan dari segala bentuk eksploitasi dan penerapan regulasi yang diskriminatif; penyusunan kebijakan yang melibatkan partisipasi kaum disabilitas dalam pemenuhan pelayanan publik; dan keterbukaan informasi dan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam pembangunan daerah.
Perda itu kemudian ditindaklanjuti. Lahirlah Perwali Kota Surakarta No. 9 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Surakarta No.2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. Ini artinya kebijakan ‘affirmative action’ bagi kaum disabilitas di Surakarta telah dimulai jauh hari, bahkan jauh sebelum Pemerintah Pusat mengesahkan konvensi CRPD menjadi UU pada 2011. Walhasil, wajar saja kota ini menjadi role model kota ramah disabilitas, sekaligus kota pertama yang mendapat apresiasi dari lembaga Zero Project International.
Kini secara nasional boleh dikata payung hukum bagi realisasi hak-hak disabilitas telah tersedia. Selain itu, juga dalam kerangka Nawacita khususnya poin ke satu dan ke sembilan. Mantan Walikota Kota Surakarta kembali menegaskan tentang kehadiran negara untuk melindungi dan memberi rasa aman pada seluruh warga negara, tentu termasuk di sini ialah penyandang disabilitas juga. Sedang pada poin kesembilan, apa yang dimaksud dengan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial sudah dengan sendirinya langsung mengarah pada upaya memperjuangkan hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari kebhinekaan.
Sekiranya mencermati rekam jejak Presiden Joko Widodo, tak berlebihan sekiranya program Asian Para Games edisi ketiga di Indonesia dapat dianggap sebagai momen perayaan kemanusiaan manusia itu sendiri yang dibingkai oleh paradigma kesetaraan. Asian Para Games III ialah momen dari ekspresi kebhinekaan umat manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Jika ditanyakan perihal potret realisasi konvensi CRPD di daerah dan sejauh mana kota ramah disabilitas (DFC) dapat tumbuh mekar di daerah-daerah lain, maka sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah tentu saja kata kunci utamanya menjadi tanggung jawab Pemda. Juga tentu saja, tak terkecuali sejauh mana peran partisipasi aktif dari kemitraan multi sektor yang meliputi masyarakat sipil, NGOs dan stakeholder terkait lainnya.
Ya, semoga saja momen Asian Para Games III ini dapat jadi momen pendobrak kesadaran bangsa Indonesia dan juga masyarakat dunia. Ya, kesadaran akan seluruh upaya pemanusiaan kemanusiaan yang dibingkai paradigma kesetaraan, demi harmonisasi dan keseimbangan dari wajah kebhinekaan umat manusia itu sendiri (WGS).