Indonesia.go.id - Nilai Luhur di Negeri Wolio

Nilai Luhur di Negeri Wolio

  • Administrator
  • Sabtu, 20 Februari 2021 | 16:15 WIB
BUDAYA
  Masyarakat Buton ketika menggelar Festival Budaya Buton. Foto: ANTARA FOTO/Jojon.
Empat aturan atau falsafah bernegara dan bermasyarakat yang selalu dipegang masyarakat Buton. Falsafah ini disarikan dari kitab Murtabat Tujuh, kitab yang juga menjadi pegangan beberapa kesultanan-kesultanan Islam nusantara di masa silam.

Buton adalah kabupaten yang terletak di sebelah tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini berbentuk kepulauan, itulah kenapa lebih dikenal dengan Kepulauan Buton. Di masa silam pulau ini lebih dikenal sebagai sebuah kerajaan.

Sebagai sebuah kerajaan, Buton pertama kali dipimpin oleh seorang wanita bernama Wakaaka. Setelah mangkat Wakaaka kemudian digantikan putrinya, Bula Wambona. Berturut-turut kemudian Buton dipimpin oleh Raja Batara Guru, Raja Tuarade dan Raja Mulae. Setelah Mulae mangkat, tumpuk pimpinan negeri ini dipercayakan ke menantu Raja Mulae bernama Murhum. Di masa kepemimpinan Raja Murhumlah Buton meraih kejayaan sebagai sebuah kerajaan selama 20 tahun.   

Masuknya Islam kemudian makin membesarkan kerajaan ini yang kemudian Buton oleh Raja Murhum diubah menjadi Kesultanan, dan menjadi salah satu kesultanan Islam besar di nusantara, juga di masa kepemimpinan Sultan Murhum. Hingga kini struktur kesultanan dan adatnya masih bertahan. Miana Wolio, begitu sebutan bagi masyarakat yang bahasa utamanya pun menggunakan nama yang sama, bahasa Wolio.

Sebelum menjadi sebuah kerajaan dan kemudian kesultanan, pada tahun 1365 M, negeri ini telah dicatat oleh Mpu Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama dengan sebutan Butuni. Dalam naskah kuno itu, Butuni disebutkan adalah sebuah desa tempat tinggal para Resi lengkap dengan taman yang indah, lingga, dan saluran air. Resi adalah seorang suci atau penyair dengan kesaktian mumpuni. Karena kesaktian para Resi-nya inilah konon yang menjadikan kerajaan ini walaupun kecil namun begitu ditakuti zaman dahulu.

Kerajaan Buton juga disebutkan oleh Patih Gajah Mada dalam sumpah Palapa-nya. Ini juga yang menjadikan kerajaan Buton dan kerajaan Majapahit memiliki hubungan yang kuat. Dalam surat-menyuratnya dengan kerajaan Majapahit, Kerajaan Buton menyebut dirinya Butuni. Sementara dalam arsip Belanda, negeri ini juga telah tercatat dengan nama Butong atau Bouthong.

Ketika Islam masuk, ada juga yang mengaitkan nama Buton dengan bahasa Arab yaitu bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Filosofi ini kaitannya bisa disaksikan pada sebuah lubang yang terletak di dalam masjid Agung Keraton Buton. Mesjid tua yang masih aktif digunakan masyarakat Wolio dan berdiri kokoh di lingkungan Keraton Buton. Di dalam masjid yang jadi salah satu ikon negeri ini, terdapat lubang yang oleh masyarakat di sebut pusat bumi. Konon ujung lain dari lubang tersebut berada di negeri Arab.

 

Negeri yang besar tanpa perang

Berawal dari empat orang, Sipanjonga, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo yang pertama kali menginjakkan kakinya ke pulau ini. Keempat orang ini dikenal sebagai Mia Patamiana. Mia datang dari Melayu ke Buton pada abad ke 13 M. Mereka datang dengan dua kelompok.

Kelompok pertama Sipanjongan dan Sijawangkati menginjakkan kakinya di pulau ini tepatnya di daerah Kalampa. Mereka langsung mengibarkan bendera Kerajaan Melayu, yang oleh masyarakat Buton dahulu disebut bendera Longa-longa. Bendera ini pulalah yang menjadi bendera Buton ketika pertama kali berdiri sebagai kerajaan.

Kelompok kedua Simalui dan Sitamanajo bersama pengikutnya. Dikisahkan dalam buku sejarah Buton mendarat pertama kali di Teluk Bumbu, daerah Wakarumba, Barangkatopa. Kelompok ini mempunyai pola hidup yang berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipajongan dan Sijawangkati.

Bukannya berperang, tapi kedua kelompok ini malah hidup saling menghormati dan menghargai. Bahkan Sipajonga kemudian menikahi saudara Simalui bernama Sibaana dan memiliki seorang putra bernama Betoambari.

Setelah masyarakat berkembang, Terdapat empat desa besar yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa, dan Baluwu. Para pemimpin dari empat desa ini disebut sebagai Bonto. Para Bonto membentuk organisasi dan menyebut dirinya sebagai Patalimbona.

Kerajaan-kerajaan kecil seperti Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga bahkan dirangkul tanpa kekerasan. Betoambari bahkan menikahi putri raja Kamaru bernama Wasigirina dan melahirkan putra bernama Sangariarana. Betoambari kemudian memimpin daerah Peropa dan anaknya Sangariarana menjadi penguasa Baluwu.

Tahun 1332 M empat Limbo dan kerajaan-kerajaan kecil membentuk satu kerajaan besar, Kerajaan Buton dan mengangkat raja pertama seorang wanita bernama Wa Kaa Kaa. Setelah Wa Kaa Kaa, lima raja kemudian bergantian memimpin yaitu Bulawambona yang juga seorang perempuan, Bataraguru, Tuarade, Rajamulae dan terakhir Murhum. Di era Raja Murhumlah Kerajaan Buton berubah menjadi sistem kesultanan dengan Murhum menjadi sultan pertamanya.

Pusat kesultanan adalah Keraton dengan Masjid Agung yang terletak di tengahnya. Saat ini masjid masih berdiri kokoh. Masjid ini dibangun awal abad 18. Di depan masjid sejak tahun 1712 berdiri tiang bendera dari kayu jati yang hingga saat ini terlihat jelas sehingga menjadi penanda adanya kesultanan jika kita memasuki wilayah buton dari perairan atau laut. Di tiang ini juga pernah dikibarkan bendera kerajaan Belanda dan Jepang sebelum akhirnya dikibarkan sang Merah Putih.

 

Empat falsafah hidup

Sebagai Sultan pertama, Murhum yang digelari Kaimuddin Khalifatul Hamis membawa Buton menjadi kerajaan Islam yang sangat disegani. Selain sederhana, Murhum juga yang meletakan dasar-dasar demokrasi dalam masyarakat Buton. Kesederhanaan ini tertanam hingga turun temurun dan dijaga dengan baik oleh masyarakatnya hingga kini.

Demokrasi juga menjadi landasan pemerintahan dari zaman kerajaan hingga kesultanan. Dalam sistem pemerintahan, kerajaan Buton memilih sultannya tidak berdasarkan garis keturunan, melainkan melalui rapat anggota dewan legislatif kerajaan. Beberapa Sultan bahkan pernah dicopot karena dinilai melakukan pelanggaran. Inilah yang menjadikan nama sang Sultan begitu harum sehingga diabadikan menjadi nama pelabuhan laut, bandar udara dan nama jalan. 

Ada empat aturan atau falsafah bernegara dan kehidupani sosial yang selalu dipegang masyarakat Buton. Falsafah ini disarikan dari kitab Murtabat Tujuh, kitab yang juga menjadi pegangan sebagian kesultanan-kesultanan Islam nusantara, oleh Sultan ke-4, Dayanu Ikhsanuddin. Sultan ini memimpin Buton pada tahun 1597 hingga 1631 Masehi. Tak heran, karena di masa pemerintahan Sultan Dayanulah menjadi periode awal penulisan naskah-naskah Buton.

Falsafah tersebut pertama adalah nayinda yinda mo harata somana mo karo yang maknanya adalah jangan menganggap harta sebagai tujuan hidup. Harta itu melebur pada diri, karena harta yang palin penting itu adalah diri sendiri (karo). Siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal hakikat kehidupan sesungguhnya.

Kedua nayinda yinda mo karo somana mo lipu bermakna peleburan diri untuk kepentingan negeri (lipu). Jika baik diri makan akan baik pula negeri. Taka da perang karena semua saling menghargai dan menghormati untuk kepentingan negeri.

Ketiga nayinda yinda mo lipu somana mo syara, yang artinya ketika negeri sejahtera dan rakyat saling menghargai menghormati, maka aturan akan selalu dipedomani.

Terakhir adalah nayinda yinda mo syara somana mo agama artinya aturan itu tak akan berarti ketika agama tak menjadi pedoman hidup.

“Falsafah ini sebagai pembentuk akhlak. Dan agama adalah sumber dari semuanya. Agama adalah pegangan hidup,” kata Budayawan Buton, MT. Muharram dalam sebuah diskusi adat dan budaya nusantara.

Dibanyak literatur, kata yang muncul untuk menggambarkan empat falsafah ini adalah bolimo menggantikan kata nayinda yinda. Hal ini menjadi salah satu fokus budayawan negeri Wolio saat ini, meluruskan makna dan nilai kata sesuai dengan Kitab Undang-undang Kesultanan Buton atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Syarana Wolio,

Muharam menegaskan sumber autentik falsafah miana Wolio itu adalah kitab Syarana Wolio, yang merupakan tulisan asli sejak diundangkan di masa pemerintahan Sultan Murhum dan kemudian diamandemen di masa Sultan Idrus Kaimuddin.

“Bukan hanya bernegara, tapi aturan ini menjadi pegangan hidup sehari-hari miana Wolio,” kata MT. Muharram.

Berdasarkan inilah masyarakat Buton hingga ini berprinsip lebih mengedepankan saling menghormati antar sesama, tak perduli berasal dari suku, agama atau ras yang berbeda. Nilai-nilai ini masih dipegang teguh di sebagian besar kondisi.

Ketika ada perhelatan, seluruh masyarakat akan dengan sukarela saling membantu. Yang muda menghormati yang tua, namun yang tua juga menghargai yang muda. Ketika ada konflik, tak butuh waktu lama untuk bermusyawarah untuk mencari mufakat bersama.

 

 

Penulis: Moh. Taofiq Rauf
Redaktur: Elvira Inda Sari