Sepur Klutuk, sebuah kosa kata bahasa Jawa yang kini sudah jarang terdengar. Artinya ialah merujuk sebuah kereta tua. ‘Sepur’ berasal dari serapan bahasa Belanda, ‘spoor’, dan ‘kluthuk’ berasal dari bahasa Jawa yang artinya kuno. Kalaupun kini masih terlacak jejak penggunaan istilah itu, kosa kata ini sengaja masih dipakai untuk menamai kereta api pariwisata di Solo.
Nama lengkapnya ialah Sepur Kluthuk Jaladara. Sebuah nama kereta api wisata. Bermaksud membangun proyek romantis sepanjang enam kilometer, kereta api tua Jalandara beroperasi dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota. Sayangnya jika dulu kereta api kluthuk ini praktis beroperasi setiap hari Sabtu atau Minggu, kini kita harus menyewanya.
Jalandara menggunakan lokomotif uap C 12. Buatan pabrik Saechsische Maschinenfabrik, Jerman, diimpor masuk ke Indonesia kisaran 1893-1902. Memiliki panjang 8,575 meter, berat 33,6 ton, daya mesin 350 tenaga kuda, kereta tua itu sanggup melaju dengan kecepatan maksimal 50 km/jam. Jalandara dioperasikan menarik dua buah gerbong kayu jati asli buatan 1920, memiliki kapasitas angkut 72 penumpang.
Naik Sepur Klutuk Jalandara tentu serasa tamasya ke masa lalu. Sekalipun jalan kereta api di Kota Vorstenlanden bukanlah jalur yang pertama-tama dibangun, jalur ini termasuk jalan kereta api tertua di Indonesia.
Proyek Infrastruktur
Bicara sejarah, perkembangan sistem transportasi di Indonesia, tentu termasuk sejarah kereta api, berarti bicara sumbangsih sejarah kolonial Belanda.
Bagaimana tidak. Mari dibayangkan bersama sekiranya kembali hidup di kisaran 1746. Saat itu, Gubernur Jendral Van Imhoff dari Batavia (baca: Kota Tua, Jakarta) bermaksud mengunjungi Susuhunan Pakubuwana II di Solo. Mengendarai kereta yang dihelat enam ekor kuda, saat itu ternyata dibutuhkan perjalanan menempuh waktu lima hari penuh.
Masih di sekitar periode itu, ketika Van Imhoff berpergian ke Surabaya melalui jalur laut pun masih memakan waktu nisbi lama. Tercatat, berangkat dari Batavia pada 25 Maret 1746, plus mampir lebih dulu selama dua hari di Rembang, barulah tiba di tujuan pada 11 April.
Tak kecuali, bayangkan kembali hidup di awal abad ke-19. Konon, alkisah Charles Francois Tombe, seorang utusan Marsekal Deandels, ditugaskan membuat peta Selat Bali. Sialnya, kapalnya kandas sehingga terpaksa mendarat di wilayah Banyuwangi.
Konsekuensinya si-Perwira Perancis itu harus berjalan kaki. Dari Banyuwangi ke Surabaya. Melalui jalan setapak, menebas belukar, membelah hutan, dengan resiko dan menghadapi kesulitan yang tak terhingga. Sayangnya tidak ditemukan catatan perihal rentang waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan tersebut.
Mengingat kondisi yang demikian itulah, dapat dipahami apa arti pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh Marsekal Deandels, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang memerintah antara 1808-1811. Grote Postweg, begitulah proyek jalan raya trans-Jawa ini dikenal.
Sepanjang dari ujung barat di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di Selat Sunda, hingga Panarukan di ujung timur Pulau Jawa, dibangunlah infrastruktur jalan raya. Menurut catatan Denys Lombard, proyek infrastruktur sapanjang Anyer-Panarukan diselesaikan hanya dua tahun.
Walhasil, saat itu, perjalanan dari Batavia ke Surabaya dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Sedangkan, perjalanan dari ujung barat ke ujung timur di Pulau Jawa (Anyer – Panarukan) sendiri membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari.
Dampak “jalan raya” itu ternyata jauh melampui angan-angan perkiraan Deadels sendiri. Jalan itu bukan hanya mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi masyarakat, melainkan lebih jauh juga menciptakan sebuah kawasan ekonomi tunggal di Pulau Jawa.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1542189222_Peta_Jaringan_Transportasi_Jawa_1.jpg" style="height:293px; margin-left:60px; margin-right:60px; width:500px" />
Meneruskan tahap pertama proses membabat hutan tanah Jawa yang masih perawan ini, pada 1840 juga sudah mengemuka ide tentang rencana membangun jaringan rel kereta api. Namun, realisasinya terpaut jarak waktu cukup lama. Selain dibutuhkan perencanaan berikut pemetaan jaringan jalan kereta api dan penentuan lokasi di mana rel itu hendak dibangun, Pemerintah Hindia Belanda pun menyiapkan dasar regulasi untuk menarik minat keterlibatan pihak swasta.
Menurut catatan Denys Lombard, jaringan transportasi di Pulau Jawa, khususnya pada jalan kereta api, dibangun Pemerintah Hindia Belanda selama tiga dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20.
Adalah Nederlands Indische Spoorweg Maatschaj (NISM), sebuah perusahaan swasta Belanda, yang memulai pembangunan jalan kereta api pertama di Indonesia. Lokasi peletakan batu pertama pembangunan berada di Desa Kemijen, Semarang. Mulai dibangun pada 17 Juni 1864, dan tercatat jalur jalan kereta api dari Semarang ke Kedung Jati itu diresmikan pada 1871. Saat itu, NISM berkantor pusat di Gedung Lawang Sewu, sebuah lokasi yang kini merupakan salah satu bangunan bersejarah di Kota Semarang.
Tak berselang lama. Jalur jalan kereta api Batavia-Buitenzorg (baca: Bogor) dibuka pada 1873. Menyusul kemudian pada 1878, jalur kereta api Surabaya-Pasuruhan juga selesai dikerjakan. Sejak itulah, minat pihak swasta pun segera tampak mengemuka luas.
Dengan selesainya proyek Batavia-Buitenzorg, pada 1884 dibukalah “jalur Preanger”, yaitu jalur kereta api ke Priangan dengan jalur awal menuju Cianjur, kemudian menyambung ke Bandung dan wilayah-wilayah lainnya. Bersamaan dengan selesainya proyek Batavia-Buitenzorg itu pula, jalur kereta api yang menghubungkan Surabaya, Solo dan Semarang selesai dikerjakan.
Menghubungkan Batavia dan Surabaya jelas adalah tantangan tersendiri. Sepuluh tahun kemudian, pada 1894, barulah selesai jalur pertama “trans-Jawa” yang menghubungkan dua kota Batavia-Surabaya, melalui jalur Maos, Yogyakarta, dan Solo. Pada 1912, barulah jalur kedua melalui Cirebon dan Semarang mulai dieksploitasi untuk dibangun.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1542189232_Peta_Jaringan_Transportasi_Jawa_2.jpg" style="height:325px; margin-left:60px; margin-right:60px; width:500px" />
Walhasil, dari berbagai sumber, perjalananan dari Batavia ke Surabaya dapat ditempuh hanya dalam 2 hari perjalanan, tepatnya kisaran 28-32,5 jam.
Lamanya perjalanan kereta api Surabaya ke Batavia kala itu dibandingkan saat ini dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya kereta api tidak diperbolehkan berjalan di malam hari karena alasan keamanan. Misalnya, jalurnya yang tidak berpagar, ancaman bahaya tanah longsor, sampai hujan tropis.
Faktor lainnya,karena Pemerintah Hindia Belanda pada masa awal tumbuhnya industri kereta api ini belum mempercayai kaum pribumi menjadi staf dan pengatur lalu-lintas untuk mengoperasikan kereta api di malam hari.