Indonesia.go.id - Generasi Digital di Atas Tahta Dinasti Mataram

Generasi Digital di Atas Tahta Dinasti Mataram

  • Administrator
  • Sabtu, 5 Maret 2022 | 07:50 WIB
MANGKUNEGARAN
  Abdi dalem Keraton Mangkunegaran. Menanti raja baru. ANTARA FOTO/ Andika Beta
Mangkunegara ialah satu dari empat kerajaan yang tersisa dari Dinasti Mataram. Dua ada di Solo, yakni Kasuhunan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, dan dua lainnya di Yogyakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman.

Puro Mangkunegaran Surakarta telah bersiap-siap menyambut kehadiran pangageng (pejabat) yang baru. Dia adalah Gusti Pangeran Haryo (GPH) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Musyawarah adat di keluarga inti Mangkunegaran telah menetapkan GPH Bhre, pemuda 24 tahun yang lulusan Fakultas Hukum UI itu menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro X. Ia akan menggantikan ayahandanya, Mangkunagoro IX, yang wafat Agustus 2021.

Ihwal penetapan GPH Bhre sebagai Mangunegoro X itu telah berembus ke publik sejak akhir tahun 2021. Namun, pengumuman secara resmi baru disampaikan oleh pejabat urusan internal alias Wedono Satrio Puro Mangkunegaran. Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Lilik Priarso Tirtodiningrat, Selasa (1/3/2022), kepada wartawan, di Solo. Pada kesempatan itu, Lilik Priarso juga menyatakan bahwa upacara jumenengan ndalem, pengukuhan secara resmi, akan dilakukan 12 Maret 2022.

Dalam tradisi kerajaan Jawa, penetapan raja baru biasanya dilakukan dalam jangka waktu 100 hari setelah sang raja wafat. Namun dalam kasus suksesi di Mangkunegaran, proses musyarawahnya dilakukan dengan tidak terburu-buru. Musyawarah hanya melibatkan keluarga dalem Puro, yakni istri utama raja (prameswari), putra-putri Mangkunagoro IX dan putra-putri Mangkunagoro VIII, yang disebut sederek ndalem. Pembicaraan dilakukan beberapa kali.

KRMH Lilik Priarso Tirtodiningrat memastikan, tak ada pihal lain yang termasuk Himpunan Keluarga Mangkunegaran (HKMN), kelompok keturunan dari Mangkunagoro I yang pada masa  orde baru punya pengaruh kuat terhadap kehidupan puro.  ‘’Musyawarah ini hanya melibatkan pihak keluarga inti dan sederek ndalem Mangkunagoro IX,’’ ujarnya.

Hasil penetapan suksesi di Praja Mangkunegaran itu menjadi perhatian sebagian masyarakat Jawa. Sejumlah pemberitaannya memviral di media sosial. Meski tak lagi memiliki peran serta pengaruh politik dan ekonomi, Puro Mangkunegara tetap menjadi kiblat budaya tradisional Jawa. Dalam isu ini Mangkunegaran dianggap penting. Keluarga puro tetap menjadi ikon budaya, bahkan  selebriti, di sebagian kalangan masyarakat Jawa. Tak heran, bila isu suksesi ini terus ter-update dari waktu ke waktu.

Keluarga inti dari almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunagoro IX itu sendiri ada lima orang. Rinciannya Sang Prameswari Gusti Kanjeng Gusti Putri (GKP) Prisca Marina Yogi Supardi dan dua putranya, yakni Gusti Raden Ayu (GRA) Ancillasura Marina Sujiwo dan GPH Bhre Cakrahutama, serta dua anak lainnya yang lahir dari Sukmawati Soekarnoputri, yakni GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro, 46 tahun, serta GRA Agung Putri Suniwati, 42 tahun, yang dikenal dengan nama Menur.

Dalam usia muda, 23 tahun, Mangkunagoro IX pernah menikah dengan Sukmawati, di tahun 1974. Saat itu, Mangkunagoro IV masih dikenal sebagai GPH Sujiwo Kusumo. Pasangan ini berpisah tahun 1983, dengan dikaruniai dua anak, yakni Paundra dan Menur.

GPH Sujiwo kemudian menikah lagi 1988 dengan Prisca Marina, putri seorang jenderal Angkatan Darat ketika itu. Setahun setelah menikah, GPH Sujiwo dinobatkan menjadi Mangkunegoro IX, dan berapa lama Prisca Marina ditetapkan sebagai permaisuri dengan gelar Gusti Kanjeng Putri.

Sujiwo Kusumo sendiri adalah anak bungsu dari pasangan Mangkunagoro VIII dan permaisurinya  GKP Soenituti. Ia diangkat menjadi putra mahkota, menggantikan kakak sulungnya, GPH Radityo yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas pada 1977. Ia memiliki dua kakak perempuan, yakni GRA Retnosatoeti Yamin dan GRA Rosati Hoediono, yang keduanya masih sehat.

Mangkunagoro VIII juga memiliki satu istri yang lain, yakni Bandara Raden Ayu (BRAy) Setyowati, dan memiliki empat anak yang lain, satu di antaranya meninggal. Namun, dalam hal urusan suksesi ini anak-anak dari istri selir tak disertakan. Jadi, sosok senior (sepuh) yang menentukan ialah Sang Permaisuri GKR Prisca Marina, GRA Restosatoeti, dan GRA Rosati.

Tahap pertama ialah pengakuan hal siapa yang boleh menjadi Mangkunagoro X. Kriteria pertama ialah cucu laki-laki Mangkunegoro VIII dari garis Permaisuri GKR Soenituti. Dari kriteria ini ada tiga nama, yakni GPH Paundra Karna, GPH Bhre Cakrahutono, serta Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Roy Rahajasa Yamin. Nama terakhir ini adalah anak semata wayang dari GRA Retnosatoeti dengan almarhum Rahadian Yamin, putra Pahlawan Nasional Muhammad Yamin.

Namun, mengacu pada paugeran, yakni peraturan yang bersandar pada tradisi yang berlaku, calon raja adalah anak laki-laki dari raja yang meninggal. Di sini, nama Roy Rajasa gugur. Dari dua tersisa dihadapkan oleh paugeran lainnya, yakni calon raja diutamakan lahir dari permaisuri. Di sini nama GPH Bhre Cakrahutomo lebih memenuhi syarat adat dan tradisi.

Tapi, urusan seleksinya tak sampai di situ. Ada pula evaluasi tentang kapasitas pribadinya. Bila tak diyakini punya kapasitas yang cukup, atau mencatat reputasi yang buruk, dia bisa saja gugur lantas digantikan oleh pewaris yang lain.

Namun, dalam kasus  Mangkunegaran, GPG Bhre Cakrahutomo, yang dikenal  sebagai mahasiswa hukum yang cukup pintar itu, tak ada masalah dalam hal kapasitas, prestasi, dan reputasi. Maka, ia dianggap memiliki segala legitimasi untuk menggantikan ayahandanya menjadi Mangkunegoro X.

Tidak terdengar ada reaksi penolakan dari KRMH Roy Rajasa Yamin. Namun, GPH Paundrakarna tak bisa menyembunyikan kegusaranya. Toh, ketidakpuasan itu cuma bisa dituangkan di instagramnya. Tidak ada aksi penentangan yang serius.

Kini, GPH Bhre Cakrahutomo, pemuda dari generasi Z yang  tumbuh di era digital itu, harus bersiap diri menerima beban menjaga dan memajukan budaya Jawa yang terhampar di pelataran puronya yang miskin sumber daya ekonomi itu.

Suksesi Mataram

Mangkunegara ialah satu dari empat kerajaan yang tersisa dari Dinasti Mataram. Dua ada di Solo, yakni Kasuhunan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, dan dua lainnya di Yogyakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Pakualaman. Keempatnya dahulu adalah daerah swapraja yang otonom. Yang berbeda hanya strata protokolernya.

Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dianggap sebuah kerajaan penuh, dipimpin raja, yang berdiam di istana disebut keraton. Untuk Mangkunegaran dan Pakualaman penguasanya ialah raja muda bergelar Adipati yang berdiam di istana yang lebih kecil yang disebut Puro. Namun, simbol  dan tradisi-tradisi lainnya mirip satu dengan yang lain.

Dalam perjalanannya, keempat kerajaan ini menyikapi kemerdekaan Indonesia dengan cara yang berbeda. Walhasil, Sultan Yogyakarta dan Pakualam masih memiliki kekuasan politik dengan secara ex-officio menjadi gubenur dan wakil gubernur. Toh, keempatnya punya fungsi budaya yang sama.

Roda suksesi pun terus putar. Keraton Surakarta telah menyiapkan suksesinya. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana XIII, telah mengangkat seorang putra mahkota. Pewaris tahta Kerajaan Mataram Islam itu bernama Gusti Raden Mas (GRM) Suryo Aryo Mustiko, masih  berusia  21 tahun, anak muda generasi digital, yang kini menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Purbaya.

Pengangkatan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota itu berbarengan dengan pebobatan ibunya, Asih Winarni, menjadi permaisuri dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu. Asih Winarni selama ini adalah salah satu istri Pakubuwono (PB) XIII. Pengukuhan permaisuri dan putra mahkota dilakukan secara berbarengan dalam acara Tingalan Dalem Jumenengan atau peringatan naik tahta PB XIII yang ke-18, Minggu (27/2/2020),  di Sasana Sewaka, Keraton Solo.

Di Kadipaten Pakualaman suksesi terjadi pada 2016. Tanpa gejolak, Kanjeng  Pangeran Harya Prabu Suryadilaga dikukuhkan menjadi Pakualam X di awal Januari 2016, setelah ayahandanya (Pakualam IX) wafat. Empat bulan kemudian, karyawan Dinas Tenaga Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu pun diangkat menjadi Wakil Gubernur sesuai dengan UU tentang Keistimewaan Yogyakarta.

Yang masih kontroversial ialah suksesi di Kasultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono X, (HB X) yang kini berusia 76 tahun, telah mengangkat putrinya sebagai putra mahkota di tahun 2015. Ia tak memiliki anak laki-laki. Maka, anak perempuan tertuanya yakni GRA Nurmalita Sari diangkat menjadi pewaris tahta dan bergelar GKR Mangkubumi. Bila menjadi penguasa di keraton Yogyakarta, ia juga akan secara otomatis menjadi Gubernur DIY.

Namun, sebagian dari kalangan keluarga besar Kesultanan Yogyakarta masih menganggap bahwa sultan perempuan ialah hal yang tabu dan tak ada presedennya. Namun, tidak ada pasal larangan gubernur perempuan di dalam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Kelak,  waktu yang  akan menjawab bagaimana roda suksesi di Kesultanan Yogyakarta itu akan berjalan.

 

Penulis: Putut Trihusodo.
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari