Indonesia.go.id - Napak Tilas Kawasan Kauman Semarang

Napak Tilas Kawasan Kauman Semarang

  • Administrator
  • Sabtu, 29 Juni 2019 | 02:48 WIB
SEJARAH KAWASAN
  Bangunan Paberik Hygeia di Area Pasar Ikan Jurnatan. Foto: IndonesiaGOID/Intan Deviana

Sejarah munculnya De Werttenbergse Kazerne yang dihuni oleh bermacam tentara dari berbagai daerah dan negara sebagai tentara bayaran yang direkrut oleh penguasa Belanda, berawal dari pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada 1740.

Tersohor sebagai Kota Lumpia, Semarang tak hanya menarik disambangi karena kekayaan wisata kulinernya. Lebih dari itu, Kota Semarang yang identik dengan bangunan lawas Lawang Sewu dan klenteng megah Sam Poo Kong rupanya banyak menyimpan kisah sejarah di masa lampau yang bisa ditelusuri dari jejak peninggalannya yang masih tersisa di sudut-sudut kota.

Adalah rute Kauman, rute tur jalan kaki menapak tilas kehidupan di Kampung Kauman, Semarang, yang saya ikuti bersama Bersukaria Walking Tour. Bersukaria sendiri merupakan sebuah tour organizer berbasis di Ibu Kota Jawa Tengah yang fokus mengajak dan memberi kesempatan pada masyarakat umum untuk berjalan kaki menelusuri jejak peradaban dan kisah masa lampau kota Semarang. Pada rute Kampung Kauman kali ini, saya diajak berkeliling dan blusukan mulai dari Jl KH Agus Salim di Kecamatan Semarang Tengah hingga tiba di destinasi akhir, Masjid Agung Kauman.

Tangsi Militer Belanda

Storyteller, sebutan bagi pemandu wisata Bersukaria, menetapkan Semarang Plaza sebagai titik berkumpul kami sore itu. Pemilihan lokasi meeting point tersebut rupanya bukan tanpa sebab. Selain letaknya mudah ditemukan karena berada tepat di salah satu sisi Jl KH Agus Salim, gedung Semarang Plaza ini ternyata dulu merupakan lokasi tangsi militer zaman Belanda pada 1743 bernama De Werttenbergse Kazerne.

Sejarah munculnya De Werttenbergse Kazerne yang dihuni oleh bermacam tentara dari berbagai daerah dan negara sebagai tentara bayaran yang direkrut oleh penguasa Belanda, berawal dari pemberontakan orang-orang Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada 1740. Dalam tragedi tersebut, banyak orang Tionghoa melarikan diri sepanjang jalur utara pulau Jawa menuju ke arah timur, sembari tetap melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda.

Setibanya di Semarang, pemberontakan masih berlanjut hingga 1743 dengan menggandeng orang-orang Tionghoa yang bermukim di Semarang pada masa itu. Namun naas, pada akhirnya tentara Belanda berhasil menghentikan perlawanan tersebut dan menggiring keturunan Tionghoa pindah dari daerah Simongan ke daerah sekitar Kali Semarang supaya lebih mudah diawasi. Untuk mengamankan orang-orang Tionghoa inilah penguasa Belanda kemudian mendirikan tangsi militer De Werttenbergse Kazerne.

Sayangnya, sejak 2001, gedung tangsi militer Belanda tersebut dibongkar dan dipugar menjadi gedung Semarang Plaza yang kini berfungsi sebagai kawasan pertokoan dan perkantoran. Satu hal yang menarik, dari lantai empat gedung Semarang Plaza tersebut, kami bisa melihat sebagian atap bangunan bersejarah di kawasan Kota Lama, yaitu gereja Blenduk.

Paberik Hygeia

Dari bekas tangsi militer Belanda, kami kemudian berjalan ke seberang gedung Semarang Plaza menuju kawasan Pasar Ikan Hias Jurnatan. Sedang dalam masa renovasi, pasar ikan hias ini terlihat sepi penjual. Namun, fokus kedatangan kami bukanlah untuk melihat kondisi pasar yang sedang direnovasi, melainkan untuk melihat langsung sisa bangunan tua yang dulu pernah berjaya sebagai pabrik air minum kemasan.

Paberik Hygeia, demikian tulisan yang terpampang jelas di dinding berwarna kusam tersebut. Dibangun oleh seorang apoteker asal Belanda pada 1901, Hendrik Freerk Tillema, Hygeia merupakan merek air minum kemasan yang pertama kali dirintis di Semarang. Pendirian pabrik ini adalah akuisisi perusahaan farmasi dan pabrik minuman limun bernama Klaasesz and Co, tempat di mana Tillema sebelumnya pernah bekerja.

Di masanya, proses pengisian air ke dalam botol di atas ban berjalan atau konveyor menjadi sistem paling modern saat itu. Konveyor mengantarkan botol-botol dari satu mesin ke mesin lainnya. Kecanggihan mesin di Paberik Hygeia juga terlihat dari proses memurnikan botol-botol. Deretan mesin bilas dengan fungsi berbeda-beda digunakan untuk memastikan botol yang akan diisi air berada dalam kondisi benar-benar steril.

Selain air mineral, Hygeia yang berasal dari nama Hygieia, seorang putri dari Asklepios, dewa kesehatan pada era Yunani kuno, juga memproduksi minuman bersoda. Ide tersebut Tillema peroleh dari artikel yang ia baca pada jurnal Framast Het Pharmaceutisch Weekblad tentang jutaan botol soda yang diimpor ke pulau Jawa per tahun. Dari artikel itu, ia berpikir bahwa ia bisa memperoleh keuntungan yang signifikan jika mampu menjual seratus ribu botol minuman soda.

Keinginan tersebut kemudian Tillema realisasikan. Melalui strategi pemasaran yang gencar dilakukan, mulai dari memasang foto-foto produk Hygeia dalam billboard, mencetak kartu pos, hingga balon udara Hygeia yang melayang-layang di langit Semarang, produk air minuman kemasan berlogo kucing hitam tersebut sukses menjual 500.000 botol air mineral dan soda setiap tahunnya.

Kini, bangunan yang konon menjadi bangunan dengan konstruksi beton pertama kali di Semarang tersebut kabarnya digunakan sebagai gudang minyak goreng, meski tak bisa dipastikan sejak kapan difungsikan. Yang paling disayangkan, bekas pabrik itu rupanya belum terdaftar sebagai bangunan cagar budaya kota Semarang.

Pasar Johar

Beranjak dari jejak sejarah bangunan Paberik Hygiea, kami lantas menelusuri gang-gang sempit, Kali Semarang, hingga perkampungan warga untuk tiba di kawasan pasar Johar. Penamaan ‘johar’ rupanya diambil dari nama pohon johar yang kala itu memagari kawasan pasar yang menempati bagian timur alun-alun. Keberadaan pohon johar tersebut kini tak lagi bisa dijumpai di sekitar area pasar setelah dilakukan perluasan pasar Johar dan adanya pembangunan pasar sentral modern oleh pemerintah kota Semarang pada tahun 1931.

Menggabungkan fungsi lima pasar yang telah ada, yaitu pasar Johar, pasar Pademaran, pasar Beteng, pasar Jurnatan, dan pasar Pekojan, rancangan renovasi bangunan pasar Johar pun berhasil dibuat oleh seorang arsitek dari Hindia Belanda bernama Herman Thomas Karsten di tahun 1933. Rancangan tersebut mengambil bentuk dasar pasar Jatingaleh dengan ukuran lebih besar, yang merupakan karya Thomas Karsten sebelumnya di tahun 1930-an.

Pasar Johar dibangun dengan dua lantai, namun lantai dua hanya dibuat di bagian tepinya. Sedangkan bagian tengah berupa void. Pilar-pilar tinggi berbentuk cendawan atau jamur menjadi ciri khas konstruksi Pasar Johar. Atap yang terbentuk merupakan atap datar dan terbuat dari plat beton dengan pertinggian untuk lubang ventilasi udara. Konstruksi ini memungkinkan sirkulasi udara berjalan dengan baik, penerangan pasar yang cukup, dan mengurangi hawa panas di dalam pasar.

Rancangan Thomas Karsten tersebut kabarnya sempat menjadikan Pasar Johar sebagai pasar termegah dan terindah di kawasan Asia Tenggara pada masanya. Meski kondisi pasarnya kini masih dalam tahap perbaikan setelah kebakaran hebat pada 9 Mei 2015 silam, bentuk bangunan asli dan pilar-pilar cendawan masih bisa disaksikan dengan sangat jelas.

Dari kawasan Pasar Johar, masih ada empat destinasi lagi yang bakal kami kunjungi pada rute walking tour kali ini. Kami akan coba menelusuri kawasan kampung Kauman yang terkenal dengan banyaknya pondok pesantren, cagar budaya Hotel Dibya Puri yang statusnya sangat memprihatinkan, alun-alun Semarang yang kini tak ada lagi bekasnya, dan Masjid Agung Kauman yang menjadi tonggak terakhir pelestarian kawasan bekas alun-alun Semarang. (K-ID)