Napak tulis merupakan program kegiatan pengenalan aksara kuno. Kegiatannya, mengunjungi situs/museum yang ada prasasti bertulis aksara masa lampau.
Teknologi terbukti telah banyak membantu memudahkan manusia di berbagai bidang pekerjaan. Salah satunya adalah pemanfaatan fotogrametri dalam pembacaan aksara-aksara kuno dari sebuah prasasti yang dilakukan oleh epigraf. Fotogrametri merupakan teknologi untuk mendapatkan informasi terkait suatu objek melalui proses pengamatan, perekaman, dan interpretasi gambar fotografi. Sedangkan epigraf adalah ahli epigrafi yaitu cabang ilmu arkeologi yang mempelajari peninggalan benda-benda tertulis guna membantu proses membaca prasasti.
Prasasti dengan guratan aksara kuno dan sulit dibaca lantaran ditelan usia merupakan satu di antara beberapa hambatan yang acap ditemui oleh seorang epigraf ketika sedang meneliti suatu prasasti. Itu sebabnya mengapa fotogrametri dapat membantu melakukan pembacaan aksara-aksara yang masih belum jelas. Hal tersebut diungkapkan oleh epigraf dari Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo seperti dilansir Antara. "Saat ini handphone bisa digunakan untuk fotogrametri agar prasasti lebih mudah terbaca. Saya kira teknologi semacam ini akan terus berkembang di kemudian hari," ucap Tjahjono.
Direktur Pelindungan Kebudayaan pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Judi Wahjudin mengajak masyarakat agar ikut mengenal aksara kuno sebagai salah satu upaya pemajuan kebudayaan. “Ditjen Kebudayaan terus mendorong teman-teman komunitas, salah satunya di bawah Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) untuk sama-sama mengusung diseminasi atau sosialisasi aksara kuno sebagai salah satu upaya pemajuan kebudayaan,” kata Judi.
I Wayan Sumerata, salah satu peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa pencantuman angka tahun pada prasasti adalah rangkaian penting dalam epigrafi. Sumerata menyebutkan bahwa pencantuman angka tahun pada prasasti agar para peneliti prasasti bisa mengetahui seperti apa perkembangan sejarah dan kebudayaan masyarakat kala itu.
Prasasti yang memiliki angka tahun dapat memberikan informasi tentang kronologi dari suatu peristiwa penting pada era itu. Misalnya peristiwa pendirian bangunan suci, masalah sosial, dan pergantian kekuasaan. Artinya, pada waktu bersamaan peneliti juga bisa melacak terkait perkembangan budaya, sosial, dan agama pada suatu wilayah. "Pencantuman angka tahun pada prasasti adalah sebagai kunci guna memahami konteks historis serta memelihara warisan budaya yang kaya dan beragam," ujar Sumerata.
Tidak hanya itu, pencantuman angka tahun pada prasasti juga dapat mengungkapkan informasi konkret mengenai sistem penanggalan dan kehidupan masyarakat pada masa itu. Oleh sebab itu, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek menggelar pameran literasi Aksara Cinta sebagai ajang sosialisasi aksara kuno bagi upaya pemajuan kebudayaan termasuk menggandeng komunitas. Selama ini dalam upaya pemajuan kebudayaan dibarengi kegiatan pelestarian warisan budaya melalui pendokumentasian dan penerbitan.
Kemendikbudristek selama ini telah memfasilitasi para penggerak kebudayaan dengan dana Indonesiana, tetapi selama ini masih belum banyak komunitas yang mengusulkan program-program pelestarian atau pemajuan kebudayaan, utamanya di bidang epigrafi. Judi menyebut, masyarakat sudah waktunya dibukakan pemahamannya terkait keberadaan aksara kuno dan menjadikannya rujukan utama terhadap penentuan sebuah sejarah.
Sementara itu, Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) yang dipilih sebagai mitra sosialisasi aksara kuno bertugas mengenalkan epigrafi kepada masyarakat. Salah satu program kegiatannya adalah napak tulis yaitu kegiatan mengunjungi satu situs maupun museum yang terdapat prasasti dan mempelajarinya dan cara ini lebih efektif karena mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam mengenal bentuk dan tulisan pada sebuah prasasti.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/TR