Indonesia.go.id - Langkah Konkret Indonesia Perangi Perubahan Iklim

Langkah Konkret Indonesia Perangi Perubahan Iklim

  • Administrator
  • Selasa, 26 Oktober 2021 | 10:20 WIB
EMISI KARBON
  Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melakukan penanaman mangrove di kawasan wisata Raja Kecik, Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (28/9/2021). ANTARA FOTO
Komitmen Indonesia menekan emisi karbon dilakukan dengan berbagai cara, yakni menekan karhutla, moratorium kebun sawit, rehabilitasi hutan, lahan gambut dan mangrove, hingga mobil listrik.

Musim datang dan pergi seraya meninggalkan fenomena cuaca yang makin menggelisahkan. Banjir  besar dan longsor telah melanda berbagai tempat di belahan bumi utara. Negara-negara yang dulu dianggap bisa mengelola lingkungan alam dan tata ruangnya dengan cermat, seperti Kanada, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Belgia, Belanda, Prancis, bahkan Norwegia, kini tak bisa lagi mengelak dari terjangan banjir.

Belum lagi serangan gelombang udara panas serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di Kanada lebih dari 500 ribu ha hutan terbakar. Di Rusia 1,5 juta ha dan di Amerika Serikat (AS) 3,5 juta ha hutan ludes di makan api pada 2021. AS pun kini dikenal sebagai negara rawan banjir, karhutla, dan badai siklon tropis (hurricane).

Cuaca bukan lagi fenomena negara per negara, melainkan dampak dari iklim global yang kini telah terdisrupsi oleh perubahan iklim (climate change). Emisi karbon serta gas rumah kaca lainnya perlu direm supaya climate change tak makin menjadi-jadi. Masyarakat dunia pun bergerak memerangi perubahan iklim, dengan ikrar bersama yang diungkapkan lewat  Perjanjian Paris 2015. Pelaksanaan perjanjian ini dikolaborasikan oleh Badan Dunia United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bernaung di bawah PBB.

Dalam skema UNFCCC, perang melawan perubahan iklim itu adalah menekan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya. Gas-gas rumah kaca itu yang memerangkap energi radiasi matahari di atmosfer, dan mengakibatkan suhu udara meningkat. Laporan terbaru menunjukkan, konsentrasi CO2 di udara sudah mencapai 417 ppm per Februari 2021, yang berarti telah terjadi kenaikan 50 persen sejak dua abad terakhir.

Level konsentrasi kritis yakni 450–500 ppm sudah di depan mata. Tanpa menunggu level kritis itu pun dampak perubahan iklim sudah terasa. Udara semakin panas dan menyebabkan lebih banyak uap air di atmosfer. Cuaca ekstrem muncul dalam berbagai bentuk, yaitu tergerusnya gunung es di lingkar kutub, hujan badai, gelombang udara panas, angin dingin, kekeringan ekstrem dan fenomena serba ekstrem lainnya.

Laju peningkatan konsentrasi gas rumah kaca perlu direm, dan kalau bisa diturunkan, agar dampak buruknya tidak makin menjadi-jadi. Gerakan melawan perubahan iklim itu tak bisa dilakukan hanya oleh negara tertentu, melainkan harus menjadi gerakan global. Tentu, dengan kontribusi yang berbeda dari masing-masing negara.

Bauran Energi dan Hutan Mangrove

Indonesia termasuk yang dinilai bersungguh-sungguh mengambil bagian dalam gerakan penanggulangan perubahan iklim. Penggunaan sumber energi terbarukan terus digenjot dalam pembangkitan listrik untuk mengurangi emisi karbon. Meskipun berat, target bauran energi listrik 23 persen pada 2025 dan 28 persen pada 2030, terus dikejar.

Laporan capaian bauran energi itu menjadi salah satu sorotan “Laporan Tahunan 2021” , yang dirilis Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementerian Kominfo di bawah judul “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Di situ disebutkan, bauran energi itu dilakukan antara lain dengan dioperasikannya Pembangkit Tenaga Listrik Hybrid (PLTH), yang mengkombinasikan sumber energi surya, diesel, dan minihidro, pembangkit listrik tenaga bayu, panas bumi, bioenergi, dan tenaga air.

Hingga saat ini, tingkat energi bauran itu masih sekitar 11 persen dari total jumlah tenaga listrik yang dihasilkan di tanah air. Diperlukan tambahan 2.000 MW pembangkit listrik rendah karbon untuk mengejar target 23 persen bauran energi tahun 2025. Indonesia juga bertekad menjadi negara netral karbon (net zoro) pada 2060.

Skema lain yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menekan emisi karbon adalah dengan terus mengurangi kejadian kebakaran lahan dan hutan (karhutla). Dalam laporan 2021 disebutkan, emisi karbon dari karhutla itu bisa terus ditekan seiring dengan semakin terkendalinya kasus kebakaran hutan di Indonesia.

Pada 2018, karhutla Indonesia menyebabkan emisi 162,6 juta ton gas rumah kaca setara CO2 ke atmosfir bumi, dan angka itu melonjak ke level 624,1 juta pada 2019. Namun, di sepanjang 2020 emisinya turun ke 40,2 juta ton, dan pada 2021 hingga Agustus, emisi yang terjadi 29,6 juta ton.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencatat, karhutla pada enam tahun belakangan ini berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Cakupan kasus karhutla masing-masing ialah 438 ribu ha pada 2016, turun ke 165 ribu ha (2017), naik ke 529 ribu ha di 2018, melonjak sampai 1,649 juta ha di 2019,  turun ke 296 ribu ha di 2020, dan menjadi 160 ribu ha sampai Juli 2021.

Tindakan lain yang dilakukan pemerintah adalah kebijakan deforestasi dan rehabilitasi hutan. Langkah yang diambil pemerintah adalah melakukan moratorium kebun sawit. Tidak ada lagi izin baru untuk pembukaan kebun sawit di atas kawasan hutan. Moratorium ini dilakukan sejak 2016, namun baru dikukuhkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8/2018 yang berlaku tiga tahun, dan berakhir September lalu, dan besar kemungkinan akan dilanjutkan

Penghentian pemberian izin pada hutan primer, sekunder, dan lahan gambut, itu dimaksudkan agar pada 2045 Indonesia masih memiliki 41,1 juta ha hutan primer, termasuk 15 juta ha yang ada di atas lahan gambut. Maka, moratorium sawit itu dibarengi dengan kebijakan reforestasi kawasan hutan (di atas tanah mineral) seluas 500.000--550.000 ha per tahun, dan restorasi kawasan gambut seluas 300.000 ha per tahun.

Target tambahannya ialah pencegahan kasus kebakaran atas lahan gambut  seluas 1,7 juta ha yang sebagian kini telah dikepung kebun sawit. Rehabilitasi hutan, hutan gambut, dan mangrove adalah langkah praktis untuk menyimpan karbon di dalam biomassa hutan.

Cukup? Belum. Dalam empat tahun terakhir, pemerintah juga sibuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Targetnya, sampai 2024, sebanyak 630 ribu ha kawasan mangrove akan menghijau dan rimbun kembali. Indonesia adalah pemilik hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan cakupan sampai 3,49 juta ha. Di luar sektor kehutanan, Indonesia juga merespons isu perubahan iklim itu dengan mendorong industri mobil dan sepeda motor listrik serta baterai untuk otomotif.

Apresiasi John Kerry

Langkah konkret Indonesia yang melakukan perang terhadap perubahan iklim, melalui pembenahan pada sektor kehutanan, mendapatkan apresiasi dari John Kerry, Wakil Presiden AS di era Presiden Barack Obama (2008-2016). John Kerry menjadi special envoy on Climate Change di Pemerintahan Presiden Joe Biden. Ia memuji kinerja Presiden Jokowi dan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam penanggulangan perubahan iklim.

‘’Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri Siti Nurbaya, Indonesia mencatat kemajuan dalam menekan deforestasi,’’ ujar John Kerry, dalam rekaman video yang diunggah di Youtube untuk menyambut konferensi tingkat tinggi tahunan perubahan iklim, yang biasa disebut Conference of the Parties (COP), yang akan digelar awal November 2021 di Glasgow, Skotlandia.

Ia juga menyampaikan penghargaannya atas program restorasi mangrove yang digalakkan Indonesia dalam 4 tahun terakhir. Selain berdampak positif bagi pengurangan emisi karbon, rehabilitasi areal kawasan hutan dan mangrove, menurut John Kerry, juga bermanfaat dalam menjaga keragaman hayati. ‘’Karena Indonesia memiliki biodiversitas yang tinggi,’’ ujarnya.

Lebih jauh, John Kerry pun melihat Indonesia sebagai negara besar yang sedang tumbuh, anggota G-20, yang memiliki komitmen tinggi memerangi perubahan iklim. Atas reputasi itu, Presiden Joe Biden mengundang Presiden Jokowi dan 10 kepala pemerintahan di negara G-20 lainnya, dalam konferensi virtual Major of Economics Forum (MEF) on Energy and Climate 2021, yang digelar pada 17 September 2021. MEF adalah ajang pertemuan (sebagian) negara G-20 untuk menyatukan pendapat menghadapi isu-isu krusial yang akan muncul dalam konferensi perubahan iklim tahunan.

Pada MEF September lalu, Indonesia ikut bergabung dengan AS dan sejumlah negara Uni Eropa, menyetujui komitmen mengurangi emisi gas metana sampai 30 persen pada 2030. ‘’Komitmen itu akan dibawa ke Konferensi Perubahan Iklim ke-26 di Glasgo,’’ kata John Kerry.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari