Kementerian Kesehatan sedang melakukan penelitian kekebalan komunal dan memeriksa gejala kekebalan alamiah di masyarakat. Kekebalan komunal bisa menahan serbuan gelombang baru.
Dinamika pandemi tak menunjukkan pola yang pasti. Terjangan gelombang keempat Covid-19 di Eropa, kawasan yang telah mencapai cakupan vaksinasi tinggi, membuat sebagian epidemiolog berubah pandangan. Menurut mereka, guna mencapai herd immunity (kekebalan kawanan) yang aman, cakupan vaksinasi harus mencapai 111–120 persen, dengan suntikan booster ketiga bagi kelompok rentan. Perlu waktu, sementara Covid-19 bisa meledak sewaktu-waktu.
’’Kalau ditanya herd immunity, dengan sedih saya harus meneruskan pesan para epidemiolog itu, bahwa ini sudah dianggap tidak relevan lagi, yang penting ialah imunitas komunal,’’ ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dalam acara Kompas100 CEO Forum, Kamis (18/11/21), di Jakarta.
Perhitungan lama, vaksinasi cukup sebatas pada kelompok dewasa yang aktif, remaja, dan lansia yang rentan, yang meliputi 60--70 persen populasi dunia, dianggap tak memadai lagi. Mengandalkan herd immunity, melalui vaksinasi, belum cukup. Kekebalan yang dapat menangkal Covid-19, kata Menkes, ialah kekebalan komunal, yakni kekebalan pada kelompok yang terbentuk lewat vaksin ditambah kelompok yang mendapatkan kekebalan alamiah. Kelompok kedua ini ialah para penyintas, dan mereka yang terciprat virus dosis kecil tapi tidak bergejala. Mereka beruntung tubuhnya telah memproduksi antibodi untuk melawan infeksi.
Menguntip penjelasan epidemiolog, Menkes Budi Sadikin mengatakan bahwa potensi penularan virus dari keluarga flu ini sangat kuat. Ia menyebut reproduktif rate potensial (R-o) Covid-19 dari generasi awal (virus Wuhan) adalah 2–2,5. Artinya, dalam satu siklus inkubasi, satu pasien bisa menularkan rata-rata kepada 2–2,5 orang lain. Untuk flu Spanyol, yang menimbulkan pandemi hebat di tahun 1918, Ro-nya hanya 1,8.
Namun, varian Delta (B.1.1617.2) Covid-19, kata Menkes Budi Gunadi, reproduvtive ratenya bisa mencapai 5-8. Imunitas dari vaksinasi sulit mengejar penyebarannya. Apalagi, menurutnya, efikasi (tingkat kemanjuran) vaksin terhadap infeksi Covid-19, yang awalnya mencapai 90 persen, bisa anjlok menjadi 60 persen di depan varian Delta. Mengandalkan herd immunity semata tidak akan bisa mengejar kecepatan penyebaran varian Delta.
Menkes mengatakan, imunitas komunal ialah kombinasi imunitas buatan dari vaksin Covid-19 dan imunitas dari Tuhan karena timbulnya antibodi bagi orang yang telah terkena Covid-19, baik yang bergejala atau tidak, dan telah sembuh. Untuk mengetahui kondisi imunitas komunal di Indonesia, menurut Menteri Budi Gunadi, Kementerian Kesehatan kini sedang melakukan penelitian.
Kegiatan penelitian dilakukan dalam bentuk sero survei (tes darah) di 1.000 desa dari 34 provinsi di Indonesia. Sampel darah dari 1.000 desa itu diperiksa dan diukur antibodinya. Bila di sebagian besar sampel menunjukkan jumlah antibodi yang cukup untuk melawan Covid-19, bisa disimpulkan bahwa imunitas komunal sudah terbentuk di Indonesia, dan fase pandemi mulai berubah menjadi endemi. Pengambilan sampel darah ini diharapkan dapat selesai pada Desember 2021.
Ancaman Varian Delta Plus
Yang kini menjadi kekhawatiran banyak pihak adalah kondisi kekebalan yang terbangun, baik lewat vaksinasi atau kekebalan alamiah, bisa ambyar akibat varian baru. Varian Delta yang menyebabkan amukan gelombang kedua Covid-19, pada Juni-Juli-Agustus lalu di Indonesia, adalah strain yang sama dengan yang kini melancarkan serangan gelombang keempat di Eropa dan Amerika.
Yang kemudian diwaspadai, varian Delta yang kini mengambil porsi 99,7 persen dari kasus Covid-19 di dunia, itu melahirkan mutan baru AY.4.2 yang kini disebut varian Delta Plus. Varian ini muncul di Inggris, dan sudah menyebar ke-42 negara, termasuk ke negeri jiran Malaysia dan Singapura. Ada kekhawatiran, varian Delta Plus ini bisa memantik serangan gelombang ketiga di Indonesia.
Sejauh ini, menurut Menkes Budi Gunadi, survailans di Indonesia belum menemukan varian Delta AY.4.2. Dari pemeriksaan 1.500–1.800 genome squencing per bulan diketahui bahwa yang masih dominan di Indonesia ialah varian Delta. Sub-varian yang ditemukan ialah AY.4, AY.2.3, dan AY.2.4. ‘’AY.4.2 belum ada,’’ ujar Menkes.
Menteri Budi Gunadi menggarisbawahi bahwa ketiga subvarian itu amat mirip dengan varian Delta AY.4.2. ‘’Kita berharap bahwa kekebalan yang sudah terbentuk di Indonesia, baik melalui vaksinasi atau kekebalan alamiahnya, bisa berguna untuk melawan AY.4.2, bila dia muncul,’’ katanya.
Yang pasti, Pemerintah Indonesia terus berusaha menghadirkan kekebalan komunal di masyarakat, terutama melalui vaksinasi. Sampai Jumat 19 November 2021, angka vaksinasi pertama di Indonesia mencapai 133,4 juta (64 persen) dari target 208 juta warga, dan vaksinasi lengkap mencapai 88 juta (42 persen). Capaian ini sudah di atas target WHO yang menetapkan standar vaksinasi lengkap 40% dari sasaran hingga akhir 2021.
Gelombang Keempat
Namun, kemanjuran vaksinasi itu terus menjadi sorotan menyusul merangseknya serangan Covid-19 gelombang keempat di Eropa dan Amerika selama lima pekan terakhir. Pada sepekan terakhir Benua Eropa dan Amerika sama-sama mencatatkan lonjakan kasus 8 persen dibanding pekan sebelumnya. Di Eropa, Jerman mencatat angka tertinggi dengan kasus rata-rata harian mencapai 45 ribu dan angka kematian 195 orang per hari. Amerika Serikat mencatatkan rata-rata 98 ribu kasus baru dan angka kematian 1.158 jiwa per hari.
Toh, jasa perlindungan vaksin tidak terbantahkan. Dalam laporan mingguannya, edisi 16 November 2021, WHO mengutip hasil penelitian di Skotlandia atas 98 ribu pasien yang terpapar varian Delta, yang menyebutkan bahwa efikasi vaksin AstaZeneca dan Pfizer Biontech, yang menghindarkan para pasien mengalami gejala parah yang menyebabkan kematian, masing-masing mencapai 91 dan 90 persen.
Di Amerika, menurut WHO, efikasi vaksin Pfizer Biontech, terhadap tingkat keparahan mencapai 90 persen pada pasien yang telah divaksin lengkap, dan efikasi 79 persen pada yang hanya menerima suntikan dosis pertama. Vaksin terbukti mengurangi risiko keparahan dan kematian.
Namun, tim peneliti Finlandia mewanti-wanti bahwa efikasi vaksin cepat menyusut. Seperti dikutip di laporan WHO, edisi 16 November 2021, para peneliti Finlandia itu mencatat efikasi AstraZeneca, pasca-90 hari suntikan kedua adalah 88 persen, dan merosot menjadi 56 persen 6 bulan kemudian. Vaksinasi perlu booster.
Namun, situasi tak perlu dibikin rumit. Mengutip anjuran WHO, Juru Bicara Satgas Covid-19 dokter Reisa Broto Asmoro, dalam briefingnya Kamis (18/11/21), mengatakan bahwa dinamika Covid-19 memang tak mudah diprediksi. Langkah aman untuk melindungi diri dan orang lain adalah kembali ke jurus 3-M, yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak.
“Situasi saat ini sudah jauh lebih baik. Kita tentu tidak ingin kembali ke situasi buruk beberapa bulan lalu, ketika kita banyak mendengar berita duka cita. Kita jaga keadaan ini dengan tetap menjalankan protokol kesehatan,” katanya. Prokes adalah cara sederhana untuk menahan munculnya gelombang serangan baru Covid-19.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari