Tarif PNBP untuk batu bara ditetapkan secara progresif dan mencapai 28 persen pada harga di atas USD100 per ton saat ini. Untuk konsumsi lokal tarifnya 14%. Target 2022 akan terlampaui.
Batu bara cuan di tengah pandemi yang berkepanjangan. Sejak April 2021, harganya terus menanjak dan memberikan tambahan penerimaan untuk negara. Harga acuan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM menunjukkan harga USD89.9 per ton pada Mei 2021 dan terus merangsek sampai USD215 per ton di November 2021.
Sempat merosot pada Desember 2021 tapi kemudian melonjak lagi di atas USD200 pada Januari, dan bertengger di level USD288 pada awal April 2022. Di Bursa Newcastle Coal per 18 April 2022, harganya menyentuh level USD309 per ton. Situasi ini memberikan momentum yang sesuai bagi pemerintah untuk memberlakukan ketentuan baru tentang pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketentuan baru itu diterbitkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara. Peraturan baru ini berlaku 11 April 2022.
PP ini diterbitkan guna melengkapi UU nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Utamanya yang menyangkut kontrak pertambangan yang berakhir dan dapat diperpanjang menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
‘’PP ini menjadi tonggak penting sebagai landasan hukum konvergensi kontrak, yang nantinya akan berakhir menjadi rezim perizinan, dalam upaya meningkatkan penerimaan negara,’’ ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu, dalam keterangannya yang dirilis Sabtu, 16 April 2022.
Bagian pertama PP menjelaskan tentang pelaksanaan pembayaran pajak penghasilan untuk pelaku usaha pertambangan batu bara. Yang dimaksud pelaku usaha di sini ialah para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUP Khusus (IUPK), sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, serta pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara). Febrio Kacaribu mengatakan, PP ini memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan jelas, sehingga memudahkan para pelaku menunaikan kewajiban pajaknya.
Pada bagian keduanya, PP tersebut mengatur besaran soal tarif pungutan resmi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang diberlakukan secara progresif, mengikuti kisaran Harga Batu Bara Acuan (HBA). Pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batu bara pun rendah sehingga tidak membebani pemegang IUPK. Pada saat harga naik, negara juga mendapatkan PNBP tinggi. Untuk pemanfaatan produksi batu bara bagi industri di dalam negeri, pemerintah menetapkan tarif tunggal sebesar 14 persen.
‘’Implementasi peraturan ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan upaya menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan guna mendukung konsolidasi fiskal ke depan,” ucap Febrio.
Tarif Progresif
Dalam PP itu disebutkan bahwa jika HBA kurang dari USD70 per ton, tarif yang dikenakan sebesar 14%. Perhitungannya ialah 14% dari obyek PNBP, yakni harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi lagi dengan tarif pemanfaatan barang milik negara eks-PKP2B dari hasil produksi per ton. Jika HBA nilainya antara USD70 per ton hingga USD80 per ton, tarif yang dikenakan ialah 17% , dengan cara penghitungan yang PNBP sama.
Adapun, jika HBA sama dengan atau lebih besar dari USD80 per ton hingga di bawah USD90 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 23%. Selanjutnya, jika HBA antara USD90 per ton hingga USD100 per ton, tarif yang dikenakan sebesar 25%. Jika HBA sama dengan atau lebih besar dari USD100 per ton maka tarif dikenakan sebesar 28%.
Ketentuan baru dalam PP nomor 15 tahun 2022 itu diperkirakan akan mengurangi laba bersih dari para pelaku usaha pertambangan. Sejumlah analis di pasar modal memperkirakan, penurunan laba itu secara rata-rata dari 30 persen menjadi 20 persen. Tapi, dengan lonjakan harga batu bara yang tinggi, penerimaan penjualan juga akan melonjak sehingga keuntungan secara nominal tetap akan lebih besar.
Yang pasti, setoran PNBP ke pemerintah diharapkan akan lebih besar di tengah lonjakan harga ini. Merujuk data dari Kementerian ESDM, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba pada lima tahun terakhir rerata selalu berada di atas Rp40 triliun, kecuali di 2020.
Pada 2017, misalnya, PNBP minerba bisa mencapai Rp40,6 triliun, yang terdiri dari penjualan hasil tambang (PHT) Rp16,86 triliun, pendapatan royalti sebesar Rp23,25 triliun, serta pendapatan iuran tetap sebesar Rp0,51 triliun. Selanjutnya, PNBP minerba itu mencapai Rp50 triliun di 2018, terdiri dari pencadangan wilayah dan cetak peta sebesar Rp0,38 triliun, PHT Rp19,31 triliun, royalti sebesar Rp29,77 triliun, dan pendapatan iuran tetap sebesar Rp0,54 triliun. Kontribusi batu bara adalah yang terbesar dalam PNBP sektor minerba.
Nilai PNBP minerba 2019 tercatat Rp44,9 triliun, dengan sumbangan terbesar dari sisi royalti Rp25,8 triliun dan PHT Rp18,58 triliun. Adapun, realisasi PNBP tahun 2020 drop ke level Rp34,64 triliun, akibat penurunan hasil pungutan royalti dan PHT. Namun, pada 2021 melesat mencapai Rp75,5 triliun dengan pendapatan royalti Rp43,74 triliun dan PHT sebesar Rp30,6 triliun.
Untuk 2022, pemerintah menargetkan PNBP minerba Rp42,4 triliun. Dengan harga-harga mineral yang hampir semuanya melonjak (batu bara, nikel, cobalt, timbal, seng, mangan, tembaga, dan emas), target itu tampaknya akan terlampaui. Hingga kuartal pertama (Januari--Maret) saja, setoran PNBP minerba ke dompet pemerintah sudah mencapai Rp26,16 triliun atau setara 61,7% dari target. Penerimaan 2022 berpeluang lebih besar dari prestasi 2021.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari