Indonesia.go.id - Di sana Hawkish, di Sini Masih Bullish

Di sana Hawkish, di Sini Masih Bullish

  • Administrator
  • Jumat, 23 September 2022 | 16:02 WIB
KEUANGAN
  Rupiah terdepresiasi tipis, 0,13 persen dan bertengger ke level Rp15.015 per USD 1. Dengan hanya terkoreksi 0,13 persen, rupiah menjadi mata uang terbaik Asia di hari itu. ANTARA FOTO/ Rivqn Awal Lingga
Saat The Fed mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan, pasar keuangan Indonesia masih pede. Indeks saham komposit di BEI malah naik. Rupiah jadi yang terbaik di Asia.

Pasar keuangan dunia kini seperti punya agenda bulanan menyambut kenaikan suku bunga acuan dari Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat Serikat (AS). Ritual itu berulang tiap menjelang akhir bulan. Yang terbaru terjadi Kamis (22/9/2022) waktu Indonesia.

Didahului rapat Federal Open Market Committee (FOMC) di Washington DC, pada 20-21 September 2022, ujungnya Dewan Gubernur The Fed kembali memutuskan kenaikan kisaran suku bunga acuan (Fed Fund Rate) setinggi 75 basis poin menjadi 3–3,25 persen. Seperti yang terjadi sebelumnya, sepanjang April–September 2022, pasar keuangan dunia menyambut dengan penyesuaian-penyesuaian. Angka-angka di pasar keuangan pun (pasar valuta asing, pasar modal, pasar  komoditas, nilai tukar mata uang, bunga kredit pinjaman, dan pasar hipotek) sontak bergerak.

Namun karena rapat  FOMC itu sudah diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya, hasilnya pun sudah ditebak. Maka pasar keuangan dunia pun tak terlalu terperanjat. Toh, indeks utama Wall Street anjlok lebih  dari 1,7% pada akhir perdagangan Rabu (21/9/2022). Indeks Dow Jones Industrial Average turun 522,45 poin atau 1,70% , indeks S&P 500 turun 66,00 poin (1,71%) dan Nasdaq Composite turun 204,86 poin atau 1,79%.

Mengikuti arus di Wall Street dan pasar modal lain di dunia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pun melemah pada sesi pembukaan pada perdagangan Kamis pagi, 22 September 2022. Seiring  dengan pelemahan indeks komposit di BEI itu, nilai tukar rupiah juga ikut tertekan, terdepresiasi tipis pada level di atas Rp15.015 per satu dolar Amerika (USD).

Dilansir Bloomberg, Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan, bank sentral AS itu akan terus mencari bukti bahwa inflasi bergerak turun ke arah target dua persen. ‘’Kami mengantisipasi bila peningkatan kisaran target suku bunga acuan itu akan sesuai. Laju peningkatannya akan terus bergantung pada data dan perkembangan outlook ekonomi,” ungkap Powell.

Namun, Powell mengatakan, bisa saja laju kenaikan suku bunga acuan itu diperlambat pada waktu mendatang. Hal ini untuk memberikan kesempatan The Fed menilai dampak kenaikannya kepada ekonomi AS. ‘’Memulihkan stabilitas harga memerlukan sikap yang mempertahankan kebijakan secara ketat pada waktu mendatang,” ujarnya.

Prospek kenaikan suku bunga oleh pejabat The Fed, atau yang disebut dot plot, diperkirakan bisa mencapai 4,4 persen pada akhir 2022, naik dari proyeksi Juni lalu yang sebesar 3,4 persen. Adapun proyeksi suku bunga di akhir 2023 tetap pada 4,6 persen. Dot plot pada akhir 2024 naik menjadi 3,9 persen dari 3,4 persen, sedangkan prospek suku bunga acuan untuk jangka panjang tetap pada 2,5 persen.

Kenaikan suku bunga The Fed itu ialah jurus lanjutan dari Pemerintah Amerika dalam memerangi inflasi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Melonjak sedari awal tahun, pada beberapa bulan terakhir inflasi di Amerika mencapai 8,3 persen. Inflasi sektor energi, pangan, dan kredit hipotek (morgage) memberi sumbangan cukup besar.

Kenaikan suku bunga  acuan itu diharapkan dapat menaikkan biaya uang (cost of money), lantas mengurangi konsumsi, dan ujungnya menekan inflasi. Namun, karena tak kunjung turun The Fed  secara agrasif menaikkan bunga acuannya. Sampai akhir tahun nanti diperkirakan ia masih akan sekali lagi menaikkannya.

Dampaknya Landai

Saat The Fed menaikkan suku bunga 75 basis poin pada Mei dan Juni, dampaknya terhadap pasar keuangan global cukup besar. Namun, setelah memasuki Juli, Agustus, dan September, efek guncangannya tidak lagi terasa menggelegar, terutama di negara-negara emerging yang sedang memulihkan diri pascapandemi. Termasuk di antaranya, Indonesia.

Pasar keuangan di Indonesia cukup tahan terhadap perubahan kebijakan The Fed. Pada dua bulan, awal Juli hingga awal September, IHSG meningkat 10 persen, dan mencatat rekor all time high pada level 7.333 pada 9 September lalu. Isu kenaikan harga BBM dan rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan kalah gegap gempita dengan kenaikan harga-hara komoditas Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel, timah, dan beberapa lainnya.

Dampak kebijakan The Fed 21 September 2022 itu pun seperti hanya berayun di sesi perdagangan pagi di BEI Kamis 22 September itu. Pada sesi perdagangan siang, isu kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), setinggi 50 poin menjadi 4,25 persen. Beredarnya selentingan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2022 bisa menyentuh 5,5-6 persen, menambah sentimen positif.

Tak ayal, IHSG justru naik 0,43 persen ke level 7.218 pada Kamis (22/9/2022). Beberapa saham energi dan industri petrokomia terus menunjukkan penguatan dan menjadi incaran para investor. Perdagangannya tetap ramai, bullish, seiring dengan masih kuatnya harga komoditas energi.

Rupiah terdepresiasi tipis, 0,13 persen dan bertengger ke level Rp15.015 per USD 1. Dengan hanya terkoreksi 0,13 persen, rupiah menjadi mata uang terbaik Asia di hari itu. Mata uang negara-negara Asia hanya terkoreksi tipis-tipis. Rupee India terdepresiasi 0,99 persen, Bath Thailand 0,67 persen, Won Korea Selatan 0,96 persen, dan Ringgit Malaysia hanya tersayat 0,41 persen.

Perkuat Resiliensi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, kebijakan moneter The Fed itu sebagai hawkish, berpotensi memicu kontraksi ekonomi yang perlu disikapi secara hati-hati oleh negara berkembang. Kenaikan suku bunga acuan, kata Menkeu, biasanya menyebabkan capital outflow di negara-negara berkembang.

‘’Sebetulnya dinamika dari capital outflow dengan pengumuman dari mulai normalisasi, atau yang disebut kenaikan suku bunga, dan kemudian menimbulkan dampak, itu sudah mulai terjadi selama ini. Pada 2022 ini sebetulnya capital outflow dari emerging country, itu sudah terjadi, bahkan sudah cukup dramatis," ujar Sri Mulyani kepada wartawan di Gedung Parlemen, Kamis (22/9/22).

Situasi itu telah mengakibatkan banyak negara kesulitan dalam pembiayaanakan atau pengelolaan utangnya. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan 60 negara akan mengalami kesulitan di dalam pembiayaan utang. Maka, Menkeu menyarankan negara-negara berkembang itu bergegas memperkuat resiliensi menghadapi risiko capital outflow.

Menkeu Sri Mulyani optimistis, perekonomian Indonesia masih cukup baik dan itu  bisa dibuktikan dengan neraca perdagangan yang masih surplus dan cadangan devisa yang relatif stabil. Meskipun boleh  pede, percaya diri, kemungkinan risiko capital outflow tersebut harus tetap diwaspadai.

"Kita tetap harus waspada terhadap kemungkinan gejolak dari capital outflow itu karena kenaikan suku bunga yang sangat hawkish," kata Menkeu menegaskan.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari