Indonesia.go.id - Menggali 12.000 MW Energi Terbarukan di Pulau Dewata

Menggali 12.000 MW Energi Terbarukan di Pulau Dewata

  • Administrator
  • Minggu, 6 November 2022 | 13:47 WIB
ENERGI
  PLTU (batu bara) di Celukan Bawang hingga saat ini pencemarannya bisa dikendalikan. Pihak Pemprov Bali memastikan adanya instrumen teknologi yang menjaga debu hasil pembakaran agar tak mencemari lingkungan. PLN
Di Bali tersedia sumber pembangkit berkekuatan 12.000 MW EBT. Itu merupakan potensi terbesar dari energi surya. Tapi, potensi bayu, air laut, dan geothermal juga besar.

Berpenduduk 4,3 juta dan dikunjungi 16 juta wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, pada 2019, Pulau Bali memerlukan energi besar untuk kehidupannya. Pada saat industri pariwisata mencapai titik  puncak pada 2019, kebutuhan daya listrik di seluruh Bali mencapai 800 MW, konsumsi BBM (bahan bakar minyak) 2.750 kiloliter, dan LPG 580 ton per harinya.

Pulau dewata harus menyiapkan masakan yang berlimpah dan suasana yang gebyar-gebyar di siang ataupun malam. Pasokan listrik di sana separuh datang dari PLTU Celukan Bawang yang terletak di Buleleng, Bali Utara. Kapasitas maksimumnya 430 MW.  

Pengembangan PLTU Celukan Bawang itu melahirkan dua unit pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) yang berbahan bakar gas bumi, berkapasitas total 200 MW. Ada pula pembangkit listrik mikrohidro (PLTMh) yang bisa menyumbangkan daya 1,4 MW  (2 x 700 KW).

Satu-satunya sumber listrik hidro itu dibangkitkan dari Desa Sambangan, Singaraja, Buleleng.  Lalu kekurangan daya listriknya dipasok lewat kabel bawah laut oleh sistem tenaga listrik interkoneksi Jawa Bali.

Dengan kondisi serupa itu, Bali menjadi pulau dengan emisi karbon dioksida (CO2) yang tinggi. Betapa tidak. PLTU di Celukan Bawang itu setiap hari membakar 5.200 ton batu bara. Padahal, setiap ton batu bara yang dibakar akan dihasilkan 2,1 ton CO2. Hukum alam berlaku, tiap atom karbon yang  terbakar akan teroksidasi menjadi CO2, dengan dua atom oksigen yang lebih berat dari Hidrogen dalam ikatan molekul batu bara. Belum lagi ditambah dengan limbah debu yang mencapai 55 kg untuk tiap satu ton batu bara yang dibakar.

Pembakaran gas bumi di PLGU tentu juga menghasilkan karbon. Namun untuk setiap berat yang sama, CO2 yang dihasilkan hanya sepertiga dari batu bara, lumayan. Emisi karbon di Bali juga datang dari pembakaran gas LPG di rumah-rumah penduduk, warung, kafe, restoran, hotel, dan banyak tempat lainnya. Belum lagi karbon yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor dari pembakaran BBM.

Menjelang pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dipusatkan di kawasan wisata kelas dunia, yakni Nusa Dua yang terdapat di Tanjung Benoa, Pemerintah Provinsi Bali telah menyelesaikan kajian yang terkait inventarisasi  sumber daya alam untuk energi  baru dan terbarukan (EBT). Kajian itu  akan menjadi acuan bagi rencana pembangunan jangka panjangnya. Skema migrasi ke EBT tentu perlu disediakan sebagai sajian di tengah perhelatan KTT G20 pada akhir November nanti.

Untuk menyusun inventarisasi potensi EBT tersebut, Pemprov Bali bekerja sama dengan satu tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terdiri dari 11 orang akademisi. Lewat riset dua tahun, kini telah dihasilkan peta potensi EBT yang nilainya sangat besar, yakni 12 GW (Giga Watt). Potensi terbesar dari energi surya yang sebesar 10 GW.

‘’Kondisi pada saat ini, ketersediaan energi listrik Bali sekitar 1.150 MW. Yang berasal dari energi ramah lingkungan baru 200 MW, yang berbahan baku gas,’’ ujar Gubernur Bali I Wayan Koster di  depan peserta Webinar "Pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN)  dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta Tantangan Menuju Net Zero Emission 2060”, pada Kamis (20/10/2022).

Untuk PLTU (batu bara) di Celukan Bawang, menurut Wayan Koster, pencemarannya bisa dikendalikan. Pihak Pemprov Bali memastikan adanya instrumen teknologi yang menjaga debu hasil pembakaran agar tak mencemari lingkungan. Gas belerang dan gas pencemar lainnya terjaga di bawah ambang batas yang berlaku. Limbah cair aman.

Namun, Gubernur Bali itu mengakui, EBT di wilayahnya masih cukup rendah. Cepat atau lambat, Wayan Koster menyatakan, riwayat energi fosil seperti batu bara dan BBM akan berakhir. Maka sebelum terlambat, sejak dini pihaknya sudah menyiapkan skenario penyiapan EBT secara konsisten.

Melansir materi yang dipaparkan Wayan Koster dalam webinar, didapati bahwa setelah energi surya, potensi kedua terbesar EBT di Bali adalah energi bayu, yakni 1.000 MW. Energi gelombang laut potensinya 320 MW, dan energi panas bumi (geotermal) 262 MW. Berikutnya ada energi biomassa (terutama dari limbah pertanian) sebesar 50 MW, energi sampah 37 MW, energi mikrohidro 37 MW, serta energi rekayasa teknologi lainnya 100 MW.

Rencana pengembangan EBT di Bali memang terus disempurnakan. Harapannya, dalam acara KTT G20 di Nusa Dua nanti, ada investor yang tertarik ikut mengembangkan EBT di Bali.

 

Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari