Puncak musim kemarau 2024 diprediksi terjadi pada Juli dan Agustus 2024. Mengantisipasi kekeringan, dilakukan modifikasi cuaca untuk mengisi 43 bendungan di Pulau Jawa.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, puncak musim kemarau 2024 terjadi di bulan Juli dan Agustus 2024. Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologinya (periode 1991--2020), demikian keterangan tertulis dalam situs resmi bmkg.go.id yang dipantau redaksi www.indonesia.go.id, Ahad (9/6/2024), secara umum musim kemarau di 2024 diprediksi bersifat normal. Sebagian kecil di bawah normal dan sejumlah wilayah di atas normal.
Wilayah yang mengalami kemarau di bawah normal alias lebih kering dibanding biasanya, yaitu di sebagian kecil Aceh, sebagian kecil Sumatra Utara, sebagian kecil Riau, sebagian Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Jawa Timur, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian NTT, Maluku Utara, sebagian Papua Barat, sebagian Papua Tengah dan sebagian Papua Selatan.
Antisipasi Kekeringan
Meski secara umum kemarau 2024 dinilai normal, BMKG merekomendasikan kepada kementerian/lembaga, pemerintah daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau terutama di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal. Wilayah tersebut diprediksi dapat mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan sumber air.
Pemerintah daerah diimbau lebih optimal melakukan penyimpanan air pada akhir musim hujan ini untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan. Selain itu, tindakan antisipasi juga diperlukan pada wilayah yang diprediksi mengalami musim kemarau di atas normal (lebih basah dari biasanya) terutama untuk tanaman pertanian atau hortikultura yang sensitif terhadap curah hujan tinggi.
Mewaspadai ancaman kekeringan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bergerak cepat. Bekerja sama dengan BMKG, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), Kementerian PUPR, pada Juni 2024, melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Operasi tersebut dimaksudkan untuk mengisi 43 bendungan di Pulau Jawa yang mengalami penurunan daya tampung akibat El Nino.
Modifikasi Hujan
Pelaksanaan TMC terbagi menjadi tiga posko, yakni Posko 2 di Bandung untuk 8 bendungan, Posko 3 di Solo untuk 23 bendungan, dan Posko 4 di Malang untuk 12 bendungan. “Teknologi modifikasi cuaca yang sering dilakukan oleh BMKG juga bertujuan untuk mengisi bendungan dan mengurangi risiko hujan atau banjir di berbagai tempat. Dengan teknologi modifikasi cuaca, kita bisa memonitor berapa kubik air yang kita dapat,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/6/2024).
Akibat El Nino, volume tampungan bendungan di Pulau Jawa berkurang sekitar 19%, yaitu sebesar 981,5 juta meter kubik air. Salah satu dampak yang paling mengkhawatirkan dari penurunan volume air itu adalah berkurangnya pasokan air untuk irigasi, yang pada gilirannya akan mengurangi luas lahan yang dapat diairi pada musim tanam.
TMC diharapkan dapat mengatasi defisit volume tampungan dan memastikan ketersediaan air selama Masa Tanam II, sehingga petani tetap bisa panen dan rencana layanan irigasi untuk Masa Tanam III dapat ditingkatkan. TMC direncanakan dilakukan dengan 1--3 sorti (penerbangan) per hari, menggunakan 800 kg garam food grade dalam setiap penyemaian. Garam food grade digunakan supaya tidak mencemari lingkungan.
“TMC merupakan upaya Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dalam rangka mitigasi dampak musim kemarau yang merupakan bagian dalam pengelolaan sumber daya air,” sebut Direktur Bina Operasi dan Pemeliharaan Ditjen SDA Adek Rizaldi.
Kegiatan TMC telah dilaksanakan pada 1--5 Juni 2024 dengan hasil terjadi hujan di sekitar 22 Bendungan dari target 43 bendungan, yaitu Bendungan Jatiluhur, Kedung Ombo, Wadaslintang, Logung, Gembong, Sanggeh, Cipancuh, Bolang, Banyukuwung, Panohan, Grawang, Randugunting, Gunung Rowo, Gondang Lamongan, Prijetan, Telaga Ngebel, Rancabereum, Malahayu, Lodan, Cacaban, Wonorejo, dan Pacal.
Adapun tahapan pelaksanaan TMC meliputi BMKG menyediakan informasi prediksi potensi awan di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan hujan; Ditjen SDA mengidentifikasi bendungan yang memerlukan tambahan air, BRIN menganalisis kebutuhan bahan penyemaian dan merencanakan penerbangan, dan bersama TNI-AU melaksanakan proses penyemaian awan.
Setelah penyemaian, BMKG dan BRIN memantau hasil dan terjadinya hujan; Ditjen SDA kemudian memonitor curah hujan, tinggi muka air waduk, volume tampungan, inflow, dan outflow selama 24 jam, serta menganalisis tambahan air dan potensi layanan dengan volume efektif terkini; terakhir dilakukan evaluasi pelaksanaan TMC setiap harinya. Tahapan di atas dilakukan berulang sampai TMC dinyatakan selesai, jika tidak ada potensi awan, atau bila tampungan waduk sudah mencukupi.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Elvira Inda Sari/Ratna Nuraini