Perlu penguatan jejaring dan ekosistem industri yang mumpuni demi menjaga daya saing di tengah kondisi ekonomi global.
Sektor industri pengolahan nonmigas terus membuktikan diri sebagai pilar utama yang menopang perekonomian Indonesia. Pada triwulan pertama 2024, kontribusi sektor ini terhadap PDB mencapai 16,70%, dengan laju pertumbuhan sebesar 4,63%.
Selain itu, sektor tersebut juga menyumbang secara signifikan pada investasi dan ekspor, yang membuatnya semakin vital dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global. Investasi dalam sektor manufaktur berhasil mencatatkan angka Rp155,5 triliun, setara dengan 38,73 persen dari total investasi nasional.
Lebih jauh, ekspor nonmigas Indonesia pada semester I-2024 menembus angka USD91,65 miliar, mencerminkan potensi besar sektor ini untuk mendukung kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Pencapaian yang lebih membanggakan lagi, Indonesia kini termasuk dalam daftar 12 negara terbesar dunia dalam manufacturing value added (MVA) menurut data World Bank 2023, dengan total nilai mencapai USD255 miliar.
Plt Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko SA Cahyanto, mengungkapkan bahwa prestasi ini menunjukkan kedalaman dan keragaman struktur manufaktur Indonesia yang mampu menciptakan nilai tambah besar. Hanya saja, kendati kinerja sektor manufaktur sangat memuaskan, tantangan global seperti ketidakpastian ekonomi, eskalasi geopolitik, dan inflasi internasional tetap mengancam pertumbuhan ekonomi dunia.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian terus menekankan perlunya memperkuat jejaring dan menjaga ekosistem industri. Tujuannya, agar daya saing tetap terjaga di tengah kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu.
Indikator kinerja industri pengolahan juga didukung oleh peran kawasan industri. Keberadaan kawasan industri semakin penting dalam memastikan industri beroperasi di lokasi yang strategis dengan infrastruktur memadai.
Hingga Agustus 2024, Indonesia telah mengeluarkan 160 Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) dengan total lahan siap pakai seluas 87.209 hektare. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga berfokus pada pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) di dalam kawasan industri.
Sinergi antara IKM dan industri besar diharapkan dapat memperkuat rantai pasok dalam negeri dan mendorong peningkatan daya saing nasional. Hal ini didukung dengan kebijakan yang mewajibkan penyediaan lahan IKM di kawasan industri, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2024.
Sebagai bagian dari upaya ini, pemerintah juga mendorong pembangunan Sentra IKM di kawasan industri untuk menciptakan multiplier effect yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sentra itu akan berfungsi sebagai penggerak utama aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dan mendukung visi Indonesia sebagai negara industri yang berdaya saing tinggi di 2045.
Tantangan Ekonomi
Meskipun pencapaian sektor manufaktur patut diacungi jempol, sektor ini tidak lepas dari tantangan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan bahwa perekonomian Indonesia sedang menghadapi penurunan daya beli dan kontraksi dalam Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur selama beberapa bulan terakhir. Penurunan daya beli ini terlihat dari tren deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut, mulai dari Mei hingga September 2024.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menekankan bahwa penurunan daya beli masyarakat merupakan sinyal peringatan serius bagi pemerintah. Data menunjukkan adanya penurunan kelas menengah dan berkurangnya kontribusi pajak dari kelompok ini, yang kini hanya menyumbang sekitar 1 persen dari total penerimaan pajak.
Hal ini mengindikasikan bahwa faktor konsumsi yang menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi sedang melemah, sehingga pemerintah perlu segera mengambil tindakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Ajib merekomendasikan tiga langkah kebijakan utama untuk mengatasi situasi ini. Pertama, perlu dilakukan evaluasi terhadap rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025. Kenaikan PPN dapat membebani masyarakat dan menekan konsumsi lebih jauh.
Kedua, kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga acuan diharapkan dapat mendorong likuiditas lebih besar dalam sistem ekonomi. Penurunan suku bunga akan mendorong bank untuk menurunkan suku bunga kredit, sehingga daya beli masyarakat dapat pulih.
Ketiga, Ajib menekankan, pentingnya mendorong investasi yang padat karya guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Penyediaan pekerjaan yang masif akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Peluang Pertumbuhan Ekonomi
Ajib juga menyoroti bahwa momen Pilkada serentak 2024 pada kuartal IV dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi. Pilkada diprediksi akan memicu perputaran uang yang signifikan di masyarakat, baik dalam bentuk barang maupun uang. Dampak positif dari Pilkada ini diharapkan dapat membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen sebagaimana yang ditetapkan dalam APBN 2024.
Kesimpulannya, sektor industri pengolahan nonmigas tetap menjadi tumpuan penting bagi perekonomian Indonesia. Namun, pemerintah harus tetap waspada terhadap tantangan global dan domestik yang dapat menghambat pertumbuhan, termasuk penurunan daya beli masyarakat dan tekanan inflasi.
Harapannya, dengan langkah-langkah strategis yang tepat, termasuk memperkuat kawasan industri dan memanfaatkan momen Pilkada, Indonesia memiliki peluang besar untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang solid dan mewujudkan visi sebagai negara industri berdaya saing tinggi di masa depan.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf