Indonesia.go.id - Pembatasan Layanan Data Bukan Black Out

Pembatasan Layanan Data Bukan Black Out

  • Administrator
  • Sabtu, 31 Agustus 2019 | 03:46 WIB
PEMBATASAN INTERNET
  Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Foto: IndonesiaGOID/Hermawan Susanto

Demi menjaga keamanan, pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo melakukan pembatasan komunikasi data dan internet. Sementara itu, komunikasi suara masih terbuka.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengaku hanya melakukan pembatasan atas layanan data (internet) dan tidak ada kebijakan black out. Oleh karena itu, layanan suara (menelepon/ditelepon) serta SMS (mengirim/menerima) tetap difungsikan.

Namun jika layanan informasi suara dan pesan pendek tidak berfungsi, itu karena ada yang memotong kabel utama jaringan optik Telkomsel yang mengakibatkan matinya seluruh jenis layanan seluler di banyak lokasi di Jayapura. Tapi pihak Telkomsel sedang berusaha untuk memperbaiki kabel yang diputus atau melakukan pengalihan trafik agar layanan suara dan  SMS bisa segera difungsikan kembali. Mereka  sudah koordinasi dengan Polri /TNI untuk membantu pengamanan perbaikan pelayanan di ruang terbuka.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup akses internet secara penuh di wilayah Papua dan Papua Barat, mulai Rabu (21/8/2019). Langkah ini diambil dengan alasan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan suasana tanah Papua kembali kondusif dan normal

Kemenkominfo melakukan pembatasan internet di wilayah Papua memiliki landasan hukum dan tujuan utamanya untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ada tiga dasar hukum kebijakan pembatasan internet di wilayah Papua pascaterjadinya kerusuhan awal pekan lalu.

Pertama, UUD 45 tentang hak asasi manusia. "Hak asasi manusia itu tidak sepihak, tapi juga harus melihat hak orang lain," kata Rudiantara.

Kedua adalah Undang-Undang ITE, Pasal 40. Di pasal tersebut dijelaskan jika pemerintah wajib melindungi masyarakat, karena itu pemerintah diberi kewenangan. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat Indonesia secara umum. Dasar hukum ketiga undang-undang telekomunikasi.

Rudiantara belum mengetahui, sampai kapan pembatasan data internet di Papua akan berakhir. Pihaknya sedang menunggu analisa pihak terkait untuk mencabut pembatasan data internet di Papua. Pemerintah Indonesia menurutnya masih melunak dalam mengatasi tersebarnya berita hoaks tentang kondisi Papua.

Yang jelas Kemenkominfo mengaku hanya membatasi data internet. Telepon dan SMS masih bisa. Meski data internet dibatasi, kabar hoaks tentang kerusuhan di Papua dan Papua Barat masih banyak beredar di masyarakat. Salah satu persebarannya adalah melalui pesan pendek atau SMS. Pada Kamis malam lalu, Menkominfo Rudiantara mengaku menerima SMS berantai yang isinya mengajak warga untuk berkumpul di Jayapura untuk menggelar aksi protes.

Di dunia nyata di Papua dan Papua Barat, kata Rudiantara, saat ini memang terlihat kondusif dan terkendali. Namun di dunia maya, Rudiantara menyatakan, informasi hoaks masih bertebaran. Atas fakta itu, pihaknya mengambil kebijakan membatasi data internet di Papua sejak sepekan terakhir. 

Menteri Rudi juga belum bisa memastikan kapan pembatasan akan berakhir. Kementerian Kemenkominfo juga menunggu masukan dari penegak hukum tentang kondisi dan situasi di Papua pascakerusuhan.

Beberapa hari lalu Ombudsman Republik Indonesia memanggil Kementerian Komunikasi dan Informatika membahas pembatasan akses internet yang masih terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Ombudsman meminta Kemenkominfo berangsur-angsur memulihkan internet di Papua supaya aktivitas masyarakat dapat kembali normal.

Namun demikian Anggota Ombudsan RI Alvin Lie Ling Piao sekaligus menekankan kepada publik bahwa dalam pembatasan akses internet, Kemenkominfo hanya menjadi pelaksana dari rekomendasi yang diberikan oleh aparat keamanan. Maka, Ombudsman juga berencana memanggil BIN, Polri, maupun TNI untuk mendalami pertimbangan di balik pembatasan internet di Papua.

Pembatasan data dan internet pernah dilakukan oleh sejumlah negara. Negara-negara itu melakukan pembatasan dengan alasan bisa mengganggu keamanan negara. Sebut saja, misalnya, Bellarus di Eropa Timur, Tiongkok, Kuba, Mesir, Iran, Arab Saudi, Uzbekistan, Korea Utara, Zimbabwe, Turkmenistan, dan Vietnam.

Di Tiongkok, ada 60 aturan untuk akses internet. Ada banyak akses situs populer yang diblokir mulai dari Google, Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, Snapchat, Pinterest, website tentang pornografi, kekerasan, website kritis terhadap pemerintah Tiongkok. Bahkan e-book (Apple iBook dan iTunes Movies yang menayangkan film dari Disney). Tapi pemerintah  memeberi kelonggaran bagi aplikasi buatan negeri sendiri seperti akses Uc Browser dan aplikasi Weibo.

Internet dikenal di Kuba pada akhir 90-an. Tetapi sudah hampir 30 tahun ternyata akses internet  tetap tidak maksimal  karena  ketatnya sensor dan pengawasan pemerintah  dalam mengendalikan internet.

Di Mesir internet sempat bebas di rezim Husni Mubarak. Namun sejak ada  protes  25 Januari 2011 terhadap pemerintah Mubarak, Twitter dan Facebook diblokir. Dua hari kemudian semua akses ke internet telah ditutup.  

Sementara itu, pemerintah Iran melakukan pembatasan dengan melambatkan kecepatan internet di setiap ada kegiatan  pemilihan umum dan  setiap ada gejolak politik yang dianggap membahayakan pemerintahan seperti peristiwa musim semi Arab yang mengguncang Tunisia, Mesir, Libya, dan sekarang Suriah.

Di Arab Saudi, beberapa situs web  juga diblokir oleh pemerintah. Akses internet Arab Saudi masih mahal dan berkualitas rendah. Di negara Belarus Eropa Timur ini bahkan disebut sebagai "musuh Internet"  karena menggunakan kontrol generasi kedua dan ketiga untuk mengelola ruang informasi nasional Negara Belarus.

Internet mulai dikenal di Uzbekistan pada 1995. Tetapi  pertumbuhan lambat dan mendapat kontrol  ketat dari pemerintah. Diperkirakan, kurang dari 30 persen dari 32 juta penduduk Uzbek yang sudah terhubung dengan internet.

Sedangkan di Vietnam pemerintahnya melakukan pemblokiran situs yang vital demi kepentingan negara. Situs situs yang diblokir, antara lain, yang menyajikan informasi tentang oposisi, politik luar negeri, topik agama, atau hak asasi manusia.

Internet di juga blokir di Turkmenistan. Pers dan komunikasi dibatasi dan dikendalikan oleh negara sehingga negara ini. Turkmenistan  dianggap sebagai salah satu negara paling tertutup di dunia. Akses internet yang terbatas. Sebagian besar situs internasional dilarang. TurkmenTelecom, perusahaan semacam Telkom di Indonesia, mengatur berbagai tingkat komunikasi elektronik. Semua perusahaan yang ingin memposting situs web sendiri harus terlebih dahulu mengajukan lisensi kepada kabinet.

Di Korea Utara, meskipun internet tersedia di Korea Utara tapi masih sangat terbatas. Izin untuk mengaksesnya perlu otorisasi khusus dari pemerintah. Akses ke internet global diberikan secara terbatas pada kelompok yang lebih kecil. Layanan tunggal internet  'Kwangmyong' hanya dapat diakses melalui koneksi dial-up.

Pemerintah Zimbabwe memblokir WhatsApp di tengah konflik yang terjadi di negara yang terletak di benua Afrika itu. Tak hanya WhatsApp, Zimbabwe juga menutup akses ke Facebook dan Twitter.

Sensor internet di tengah krisis politik juga terjadi Sudan. Januari lalu, pemerintah Sudan memblokir akses ke platform media sosial yang lazim digunakan sebagai sarana protes online dan alat pengorganisasian gerakan jalanan.

Venezuela mengalami kondisi yang tak jauh beda. Internet diblokir seiring memanasnya konflik antara pemerintahan Presiden Nicolas Maduro dan kelompok oposisi yang dipimpin Juan Guaido. Pemutusan akses internet dilakukan CANTV, penyedia domain yang berafiliasi dengan pemerintah. CANTV memegang sekitar 70 persen koneksi internet di Venezuela—50 persen dari ponsel.

Sensor internet sebagai metode pembatasan informasi berlangsung juga di Rusia. Presiden Vladimir Putin resmi menandatangani peraturan tentang "kedaulatan internet"—atau populer dengan sebutan “Runet” pada Mei lalu. Rusia tak ragu menghukum warganya yang berulah di dunia maya. Maret lalu, parlemen Rusia mengesahkan aturan yang memungkinkan warganya dipenjara atas dakwaan menyebarkan berita palsu alias hoaks dan unggahan-unggahan yang menyerang pemerintah di internet.

Dengan aturan itu, siapa pun warga Rusia yang terbukti menyebarkan hoaks atau menyinggung pemerintah dapat diancam penjara selama 15 hari atau denda antara 3.000-5.000 rubel (sekitar Rp600.000-Rp1.000.000).  (E-2)