Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)/Indonesia Port Corporation (IPC), Elvyn G Masassya mengatakan maritim adalah masa depan Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan 3 aspek kunci mengembangkan dan mengeksplorasi potensi maritim yang disebut dengan Trilogi Maritime (Integrated Port Network).
Kunci tersebut adalah, pertama, pengembangan pelabuhan di berbagai daerah di Indonesia untuk membuka konektivitas agar memiliki standar dan kualitas pelayanan. Kedua, pengembangan transportasi pelayaran yang selama ini didominasi oleh kapal-kapal asing. Ketiga, pengembangan area industri yang terhubung dengan pelabuhan.
Dalam konsep ini penting ada tranformasi dalam integrated port, shipping line, dan industrial area, demi peningkatan daya saing. Pelabuhan agar bisa berkembang tentu harus didukung kawasan industri. Produsen yang bisa memasok barang yang bisa dikirim. Kemudian dikirim lewat pelabuhan yang baik. Serta, untuk mendistribusikan barang harus ada aliansi pelayaran yang hebat.
Elvyn G Masassya yakin implementasi Trilogi Maritim akan menurunkan biaya logistik nasional. Standarisasi pelabuhan yang telah dilakukan IPC sejak 2016 ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk menurunkan biaya logistik sebesar 4,9 persen dalam tiga tahun ke depan. Elvyn yakin Trilogi Maritim akan menurunkan biaya logistik dari 23,6 persen per PDB di 2018 menjadi 18,7 persen pada 2022.
Ada beberapa tantangan untuk menurunkan biaya logistik nasional, yakni belum optimalnya jaringan pelayaran, belum adanya standarisasi pelabuhan, serta masih tingginya inefisiensi transportasi darat. Dengan Trilogi Maritim, hambatan-hambatan itu bisa ditekan.
Menuju standarisasi pelabuhan, IPC hingga kini terus melakukan pembenahan. Khususnya pengembangan fisik serta digitalisasi pelabuhan. Sehingga mencapai visi menjadi trade facilitator di 2024.
"Sejak 2016 kami melakukan standarisasi pelabuhan dengan menitikberatkan pengembangan fisik serta digitalisasi, sehingga layanan dan operasional lebih cepat dan mudah. IPC terus melakukan transformasi untuk menjadi trade facilitator," tutur dia.
IPC juga memiliki misi menjadi pusat pelabuhan terbesar di Asia Tenggara mengungguli Singapura. Saat ini IPC telah membuka layanan pelayaran langsung (direct call services) ke Amerika, Eropa, Australia, dan Intra Asia. Khusus Asia, sejak April 2019, IPC telah melakukan kerja sama dengan Pelabuhan Ningbo, Cina.
Dengan layanan direct call, ekspor atau impor tak perlu lagi mampir ke Singapura. Tanpa transhipment di Singapura, biaya jasa kepelabuhanan dan jasa tambang (freight cost) terpangkas hingga 40%.
Hasilnya selama 3 tahun berturut turut IPC mencatatkan keuntungan yang siginificant. Pada semester I tahun 2019, IPC mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,51 triliun. Capaian ini naik 25 persen dibandingkan semester I 2018 yang sebesar Rp1,21 triliun.
“Kami berupaya mempertahankan tren kenaikan laba bersih perusahaan yang telah berlangsung selama 3 tahun terakhir, di tengah kondisi ekonomi yang penuh dengan tantangan. Laba bersih ini dicapai dari efisiensi dan cost effectiveness,” kata Direktur Utama IPC, Elvyn G Masassya.
Meskipun laba bersih mengalami kenaikan, Elvyn mengakui bahwa kinerja dan operasional perusahaan secara umum tidak dapat terlepas dari pengaruh kondisi ekonomi saat ini, dimana berdasarkan data BPS, sepanjang semester I 2019 aktivitas ekspor turun 8,6 persen dan impor turun 7,6 persen.
Hal tersebut tercermin pada aktivitas bongkar muat peti kemas yang mengalami penurunan sebesar 1,03% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018, yakni dari 3,38 juta TEUs menjadi 3,35 juta TEUs.
Penurunan juga terjadi pada arus kapal mencapai 3,7 persen dibandingkan semester I 2018, yaitu dari 104,6 juta Gross Ton (GT) menjadi 100,81 juta GT.
Sementara itu arus barang relatif sama, naik tipis 3,4 persen, dari 27,4 juta ton menjadi 28,4 juta ton. Khusus untuk arus penumpang, terjadi kenaikan dari 317 ribu menjadi 553 ribu penumpang, atau tumbuh sebesar 74 persen.
“Kami optimistis kinerja operasional dan keuangan kembali positif pada semester II ini, sesuai dengan pelaksanaan sejumlah upaya bisnis yang diproyeksikan terealisasi sesuai jadwal” urainya.
Saat ini, lanjut Elvyn, IPC terus mengembangkan digitalisasi untuk efisiensi operasional di lapangan. Dalam waktu dekat IPC akan meluncurkan aplikasi logistik untuk memudahkan pergerakan barang mulai dari dermaga, pergudangan, hingga pendistribusiannya ke luar area pelabuhan. Aplikasi logistik dengan platform digital ini merupakan bagian dari upaya IPC untuk menjadi trade facilitator.
“Kita ingin semua operasional di pelabuhan lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah. Tak ada lagi yang manual. Semuanya berbasis digital dan cashless,” jelas Elvyn.
IPC terus melanjutkan Proyek Strategis Nasional sesuai penugasan dari pemerintah, termasuk salah satunya mempercepat pembangunan Terminal Kijing di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, yang direncanakan akan mulai beroperasi pada 2020.
Sebelumnya, berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) IPC, BOPO (biaya operasional terhadap pendapatan operasional) diproyeksikan sebesar 69,12%. Namun dalam realisasinya, mereka mampu menekan biaya operasional terhadap pendapatan operasional menjadi sebesar 67,48%.
Sebagai pengelola pelabuhan kelas dunia, IPC berkomitmen untuk terus melakukan efisiensi agar seluruh pelayanan dan operasionalnya memiliki daya saing tinggi. Efisiensi ini pada akhirnya akan menguntungkan konsumen.
Sebagai pintu gerbang aktivitas ekspor-impor, IPC turut berperan menjadikan produk-produk di dalam negeri memiliki daya saing tinggi di luar negeri. Oleh karena itu, positioning IPC sebagai fasilitator perdagangan menjadi penting.
Dalam konteks sebagai fasilitator perdagangan, saat ini IPC sedang mengembangkan New Priok Eastern Access (NPEA) yang menghubungkan Tanjung Priok dengan Kawasan Berikat Nusantara (KBN).
Sementara itu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mencatat masa penimbunan peti kemas atau dwelling time di pelabuhan logistik Tanjung Priok turun menjadi rata-rata 2,4 hari. Pada April lalu, masa dwelling time untuk barang ekspor-impor masih di atas 3 hari sehingga acap menimbulkan penumpukan.
Hingga pengujung 2019, Budi Karya menargetkan bongkar-muat kapal di seluruh terminal di Tanjung Priok akan mencapai 8 juta TEUs. Angka tersebut naik sekitar 500 ribu TEUs dari tahun lalu yang hanya 7,5 juta TEUs.
Saat ini Tanjung Priok sudah mengalami banyak perubahan. Akses darat ke dan dari pelabuhan bertambah. Penambahan peralatan dan penataan wilayah operasi mulai gate, container yard, dermaga, hingga CFS juga terlihat sudah dilakukan.
IPC juga berencana menambah kantong parkir truk kontainer (buffer area) di kawasan Priok yang mampu menampung sekitar 12.000 truk kontainer per hari. Rencana ini mengurangi kepadatan di kawasan pelabuhan.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1570586434_Tanjung_priok.jpg" />Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Foto: Dok. Humas IPC
Blue Print IPC
Era baru PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC sebenarnya dimulai sejak April 2016, ketika Elvyn G Masassya ditunjuk untuk memimpin Pelindo II, Mereka bergerak cepat menyusun peta jalan (road map) untuk 5 tahun 2016-2020 sebagai navigasi jalannya persero.
Pada 2019 ini, IPC sudah masuk tahap sustainable superior performance, di mana perusahaan akan fokus pada strategi pertumbuhan non organik (M & A), pengoperasian 4 proyek strategis nasional, ikut menyukseskan program konektivitas nasional, implementasi Integrated Chain Port dan inisiasi aliansi pasar global.
Tahap tersebut sekaligus sebagai masa persiapan lepas landas menuju IPC sebagai pelabuhan kelas dunia dengan operasional dan pelayanan yang unggul pada 2020.
Dalam menjalankan strategi pertumbuhan, IPC membangun pelabuhan-pelabuhan baru. Beberapa pelabuhan sedang dalam masa konstruksi, seperti Kijing di Mempawah, Kalimantan Barat, dan dalam masa awal konstruksi, seperti Terminal Kalibaru atau New Priok Container Terminal (NPCT) 2 dan NPCT 3.
Beberapa lainnya sedang dalam proses perizinan seperti Pembangunan Kanal dan Terminal Cikarang Bekasi Laut (CBL), dan penyelesaian dokumen seperti rencana pembangunan Pelabuhan Sorong.
Strategi pertumbuhan juga dijalani dengan cara- cara anorganik, seperti mengincar pelabuhan- pelabuhan di luar IPC yang dinilai belum produktif.
Demi standardisasi, peralatan bongkar muat di wilayah kerja IPC dimodernisasi, dermaga diperpanjang, serta kolam dermaga dan alur diperdalam. Cara tersebut sejalan dengan salah satu pilar IPC menciptakan pelabuhan terintegrasi, yakni infrastruktur dan operasi.
IPC juga mengupayakan pelabuhan-pelabuhan di wilayah kerja terkoneksi dengan kawasan industri untuk mengungkit kargo sesuai pilar port hinterland connectivity. Dalam konteks Tol Laut, keberadaan kawasan industri sesuai dengan karakteristik sumber daya alam di sekitar pelabuhan tujuan berguna untuk memastikan muatan balik sehingga operasi kapal menjadi optimal.
Pada pilar optimalisasi penggunaan teknologi informasi, IPC menerapkan digitalisasi di pusat dan pelabuhan cabang untuk mengefisienkan dan menyetarakan waktu pelayanan dan biaya. Di samping konektivitas nasional, IPC berusaha terkoneksi secara global antara lain dengan menggalang kerja sama sister port dengan delapan pelabuhan internasional yakni Lazaro Cardenas Meksiko, Port of Qatar, Port of Baku, Port of Djibouti, Port of Shenzhen, Port of Ningbo, Guangzhou, dan Townsville Australia.
Membuka rute langsung (direct call) ke beberapa negara yang merupakan pasar tradisional ekspor Indonesia juga menjadi cara IPC untuk terkoneksi secara global. Sejauh ini, perusahaan telah membuka empat rute direct call, yakni Tanjung Priok-Amerika Serikat, Tanjung Priok-Intra Asia, Tanjung Priok-Eropa, dan Tanjung Priok-Australia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada 2018 naik 6,7% dari tahun sebelumnya menjadi USD180,2 miliar.
IPC melihat ada andil direct call terhadap performa perdagangan luar negeri Indonesia tersebut. Direct call juga memangkas biaya jasa kepelabuhanan dan jasa tambang (freight cost) 20% atau USD300 per kontainer sehingga menekan biaya logistik. Selain itu, waktu lebih efisien dari semula 31 hari jika transshipment di negara lain menjadi 21 hari jika menerapkan pola direct call.
Berdasarkan produksi bongkar muat, dua pelabuhan Indonesia masuk ke dalam daftar 50 besar One Hundred Ports 2018. Pelabuhan Tanjung Priok berada di peringkat ke-26, sedangkan Pelabuhan Tanjung Perak peringkat ke-45. Walaupun posisi ini masih kalah dari pelabuhan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Cina.
Dengan mengganti alat-alat produksi dari manual menjadi otomatis, efisiensi dan percepatan pelayanan akan terjadi. Lompatan arus barang dan pendapatan akan otomatis mengikuti.
IPC berencana melakukan ekspansi global untuk menangkap value baru dan memperkuat jaringan pelabuhan. Pada tahap awal, anak perusahaan dirancang menjadi ujung tombak strategi anorganik ini dengan mengoperatori terminal di luar negeri, khususnya di regional Asia Tenggara.
Bagi Dirut IP Elvyn G Masyasya, ukuran untuk sampai pada world class performance sesungguhnya tidak terbatas. Artinya, visi operator pelabuhan berkelas dunia harus berkesinambungan atau mengikuti perkembangan zaman. Dalam konteks hari ini, menyesuaikan perkembangan zaman berarti mengikuti era digital. Untuk menjadi pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan, IPC harus menjadi pelabuhan berbasis digital.
Di sisi laut, peraih penghargaan Global Performance Excellent Award 2018-Best in Class itu menerapkan vessel management system (VMS), vessel traffic service (VTS), dan marine operating system (MOS).
Dengan MOS, misalnya, kapal yang akan sandar ke dermaga cukup booking jasa pandu dan tunda kapal melalui aplikasi tersebut. Go live layanan digital ini memungkinkan penyesuaian kebutuhan kapal dengan sumber daya, real time record pelayanan, tracking dan tracing resources, efisiensi pergerakan tug boat dan perjalanan pilot boats, serta penghematan konsumsi BBM dan pelumas pada tug boat dan pilot boat.
Di sisi terminal, IPC menerapkan aplikasi terminal operating system di terminal peti kemas (TOS) dan nonkontainer TOS di terminal nonpeti kemas (NPK TOS), SIMOP, car terminal operating system, dan autotally. TOS bekerja antara lain dengan membuat jadwal rencana loading/unloading dan yard transfer dengan mengacu pada informasi yang dikirimkan pelayaran, mengolah informasi pengiriman kontainer menuju terminal dari perusahaan transportasi, dan memberikan informasi kepada perusahaan pelayaran dan trucking mengenai penempatan kontainer. Aplikasi tersebut memungkinkan shipper melacak posisi barang.
Di sisi gate, IPC mengimplementasikan auto-gate, TPS online, delivery order (DO) online, container freight station (CFS), dan warehouse management system. Dengan auto gate, sopir truk kontainer tidak perlu lagi membawa dokumen karena cukup menempelkan kartu identitas di gerbang masuk, lalu CCTV akan memotret nomor peti kemas yang langsung terkoneksi dengan sistem layanan bongkar muat di pelabuhan.
Di sisi back office, IPC memberlakukan corporate KPI dashboard, e-procurement, financial dashboard, business analytic, dan human resources information system (HRIS).
Untuk memenuhi kepuasan pelanggan, IPC mengembangkan portal e-service, e-payment, e-invoice, billing system, customer data management (CDM), dan customer relation management (CRM).
Arus peti kemas di enam pelabuhan IPC menunjukkan tren kenaikan dari 6,08 juta TEUs pada 2016; menjadi 6,92 juta TEUs pada 2017; dan 7,64 juta TEUs pada 2018 (audited). Kecenderungan meningkat juga tampak pada arus kapal dan arus penumpang.
Dari sisi kinerja keuangan, pendapatan usaha IPC melompat dari Rp8,92 triliun pada 2016; menjadi Rp10,65 triliun pada 2017; dan Rp11,44 triliun pada 2018 (audited). Lompatan juga terjadi pada laba bersih, EBITDA, dan BOPO. (EBITDA merupakan singkatan dari Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi.BOPO adalah Biaya operasional terhadap pendapatan operasional.)
Dari sisi pelanggan, indeks kepuasan terus meningkat dari4,02 pada 2016 menjadi 4,17 pada 2017, dan 4,58 pada 2018. Secara lebih terperinci, indeks kepuasan pelayanan kapal naik 8,22% menjadi 4,61, pelayanan bongkar muat peti kemas naik 12,22% menjadi 4,59, pelayanan nonkontainer naik 10,24% menjadi 4,52, dan pelayanan terminal penumpang naik 8,75% menjadi 4,6.
Indeks loyalitas pelanggan pada 2018 mencapai 4,59 (sangat loyal) setelah meloncat dari pencapaian 2017 yang hanya 4,26. Indeks engagement pelanggan 91,81% (sangat terikat) dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 91,54. Indeks ketidakpuasan pelanggan hanya 0,3%, turun dari posisi tahun sebelumnya 1,58%.
Lompatan performa operasional dan finansial selama 3 tahun terakhir membuktikan keputusan yang diambil IPC untuk mengubah sistem dari manual ke digital berada di jalur yang benar. Dengan digitalisasi, perusahaan siap menunjukkan performa berkelas dunianya pada 2020 dengan menapakkan jejak (footprint) global, meneguhkan diri sebagai operator pelabuhan berkelas dunia, mengimplementasikan green port dan smart port, serta memiliki anak-anak perusahaan yang unggul dalam persaingan. (E-2)