Dari sedikit komentar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Maju yang ada di media massa, beberapa waktu terakhir, ada satu yang cukup menarik. Dimuat di situs ngopibareng.id, berita yang ditulis oleh Asmanu Sudharso menggambarkan Nadiem Makarim sebagai orang yang tak terbiasa bekerja asal-asalan atau 'grudag-grudug' istilah Jawanya.
Mendikbud yang sudah biasa dipanggil sebagai "Mas Menteri" karena usianya yang masih relatif muda, tidak pusing terhadap orang-orang yang meragukan kemampuannya untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
"Saya akan menjawab tantangan itu dengan bekerja keras, tidak dengan berpolemik," kata dia kepada reporter ngopibareng.id di ruang kerjanya, Senin (11/11/2019).
Melihat luasnya cakupan kerja Kemendikbud, Nadiem tentu tidak akan menangani sendiri. Dia akan maksimalkan para dirjen dan direktur agar punya motivasi untuk berkembang. Salah satu yang Nadiem arahkan adalah kesempatan bagi para dirjen untuk menyampaikan program kerja dan capaiannya kepada wartawan.
Hal itu yang menjadi alasan Nadiem meminta waktu 100 hari kepada Presiden Joko Widodo untuk merancang dan menyusun program kerja.
"Iya, 100 hari itu untuk menyusun, untuk mendengar, untuk belajar dan menyusun rancangan program. Saya tidak bisa terlalu terburu-buru untuk melakukan itu," kata Nadiem.
Ketekunan Merintis Gojek
Sikap Nadiem untuk tidak terburu-buru dalam kerjanya sedikit banyak tecermin dalam kiprahnya di dunia usaha dalam beberapa tahun terakhir. Kesuksesan Gojek Indonesia dalam lima tahun terakhir sebenarnya sudah dirintis setidaknya sejak 2010. Seperti tertulis dalam situsnya, Gojek Indonesia resmi didirikan pada tanggal 13 Oktober 2010. Menurut sebuah blog beralamat id-gojek.blogspot.com, Nadiem merintis usaha jasa pelayanan ojek dengan sistem komunikasi tersentralisasi (call center) di sekitar Kebayoran dengan 10 pengemudi dan 20 orang karyawan.
Jika ada pengemudi Gojek yang memakai jaket berwarna abu-abu dengan aksen hijau di kerah dan lengan serta logo Gojek melingkar di perut hingga belakang, bisa dipastikan mereka adalah para pengemudi Gojek angkatan pertama. Bagi para pengemudi Gojek yang pertama gesekan yang terjadi antara pengemudi ojek ber-"call center" dan pengemudi ojek pangkalan adalah tantangan terberat. Hal itu membuat tahun-tahun pertama rintisan Gojek di Kebayoran adalah masa yang berat.
Hal itu diungkapkan Nadiem Makarim sendiri kepada reporter detikinet Agus Tri Haryanto. Dalam berita yang dimuat pada 22 Jui 2019, Nadiem memulai rintisannya bukan dengan nama Gojek melainkan GoBiz. Perusahaan ini awalnya berkeingingan untuk membuka berbagai kemungkinan pengembangan bisnis berbasis layanan pengemudi motor.
Kantor Gojek bermula dari sebuah ruang di Pasaraya Blok M berukuran 5 x 7 meter. Di sana Nadiem menempatkan operator telepon yang menyambungkan antara konsumen dan pengemudi motor yang sudah mendaftar sebagai rekan kerja. Belum ada aplikasi seperti sekarang yang memudahkan proses pemesanan hingga kontak hanya dalam hitungan detik.
Konsumen yang akan menggunakan jasa pengemudi motor harus menelepon ke "call center" dan menunggu konfirmasi selanjutnya. Jika beruntung pemesan layanan bisa mendapatkan layanan ojek dalam 15 menit. Praktiknya, kata beberapa pengemudi gojek di awal-awal 2010, bisa satu jam atau lebih.
Di masa sulit itu sekitar 3 hingga 4 tahun pertama tidak ada investor yang mau menanamkan modal ke perusahaan rintisan yang bagi pebisnis besar tentu memiliki risiko yang cenderung dihindari. Hal itu membuat Nadiem berpikir untuk mengembangkan layanan jasa antar motor di tempat yang tidak "sekeras" Jakarta. Tempat yang dipilih adalah Bali.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1574257473_Awal_gojek_di_Bali.jpeg" style="height:540px; width:720px" />Awal gojek di Bali. Foto: Facebook/Nana Kusnadi
Gagal di Bali
Berdasarkan penelurusan di situs Facebook Co Founder Gojek Michaelangelo Moran yang saat ini sudah menyatakan mengundurkan diri dari perusahaan yang dia rintis bersama Nadiem. Gojek mencoba mengubah peruntungan dengan membuka layanan "call center" di Bali. Tepatnya di Kuta, Denpasar.
Pada waktu itu mereka berdua berasumsi banyaknya wisatawan yang ada di Bali akan membuat permintaan terhadap layanan ojek "call center" bisa lebih "sustainable". Pasalnya di Jakarta, mereka sangat sulit berkompetisi karena kendala panjangnya waktu pemesanan. Untuk pengembangan di Bali, mereka sampai harus mencari pendanaan sendiri.
"Nggak ada yang mau mendanai Gojek. Jadinya kita harus bersusah-susah mencari pendanaan sendiri. Pinjam uang ke teman, keluarga, dan lain-lain. Saya pun harus bekerja di tempat lain untuk nafkah saya sendiri sembari menomboki Gojek. Itu suatu periode yang tidak mudah," kata Nadiem kepada reporter detikinet ketika mengenang Gojek di masa awal.
Ketika mulai merintis di Bali pada 2012, awalnya cukup banyak pesanan dari wisatawan di Bali terhadap layanan ojek terkoordinasi ini. Tetapi perputaran bisnis yang dihasilkan terlalu kecil. Untuk memberikan insentif kepada pengemudi saja skala pemesanan yang didapat tidak memungkinkan untuk memberi kelayakan penghasilan. Walhasil perusahaan harus berdarah-darah selama dua tahun. Tetapi itu tidak membuat Nadiem menyerah. Satu hal terus dia lakukan yakni inovasi.
Baru pada 2015 Gojek merilis aplikasi 'mobile' berbasis Android. Dengan aplikasi yang berbasis telepon pintar dan algoritma GPS ini segala kesulitan yang mereka temui saat merintis di Bali seperti menemui titik cerah penyelesaian. Seiring dengan berkembangnya kemampuan teknologi telepon selular yang semakin pintar dan semakin cepat, aplikasi yang terinspirasi dari algoritma layanan tumpangan Uber yang populer di Eropa ternyata menemukan titik balik efisiensinya di Jakarta.
Sejak tahun 2015 itulah Gojek mengembangkan berbagai layanan antar barang, layanan kelontong, dan layanan jasa lain yang saat ini telah mencapai 22 jenis layanan. Tak henti berinovasi, satu terobosan besar berikutnya adalah layanan pembayaran Go-Pay. Aplikasi pembayaran nontunai ini sebenarnya sudah didalami Nadiem Makarim semasa dia bekerja di Kartuku, sebuah layanan kartu nontunai rintisan yang dia jalani berbarengan dengan tahun-tahun awal perintisan Gojek.
Inovasi Sistem Pendidikan
Jika becermin dari usaha yang pernah dilakukan Nadiem dalam sepuluh tahun terakhir ada beberapa hal penting yang dimiliki oleh "Mas Menteri" ini. Pertama adalah ketekunan berusaha, kedua adalah inovasi, dan ketiga adalah kemampuan mencium peluang yang baru. Tiga hal ini yang harus mampu diterjemahkan Nadiem dalam lima tahun ke depan di sebuah wilayah baru, yakni Sistem Pendidikan Nasional.
Di Kemendikbud saat ini sudah ada sosok seperti Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid yang punya kemampuan intelektual dan organisasi cukup mapan. Dirjen yang berasal dari latar belakang aktivis prodemokrasi ini tercatat sangat tekun mempelajari sejarah nasional. Dia bahkan menjadi pengajar di Universitas Nasional dalam bidang studi Sejarah. Dirjen yang "aktivis" ini tentu kenyang dengan segala macam pelajaran yang dipetik dari para "founding fathers" yang rata-rata brilian pada masanya. Latar belakang disiplin Ilmu Sejarah dan FIlsafat yang dia tekuni sejak kuliah di akhir 80-an tentu akan sangat membantu dalam pengembangan sistem pendidikan Indonesia ke depan. Niat Nadiem untuk memberikan kesempatan kepada Dirjen Kemendikbud untuk mengemukakan ide-idenya kepada media tentu akan sangat menarik ditunggu dalam beberapa waktu ke depan. (Y-1)