Indonesia.go.id - Ketika Rezim Cost Recovery Jadi Opsi Lagi

Ketika Rezim Cost Recovery Jadi Opsi Lagi

  • Administrator
  • Senin, 9 Desember 2019 | 21:42 WIB
PRODUKSI MIGAS
  Petugas mengecek tangki timbun di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (14/10/2019). Foto: ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja

Menteri ESDM mempertimbangkan kembali hadirnya kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi (cost recovery) bagi wilayah kerja baru dan terminasi.

Wacana fleksibilitas penggunaan skema bagi hasil penggantian biaya operasi (cost recovery) atau bagi hasil kotor (gross split) kini tengah berkembang. Tujuannya adalah mendorong produksi migas menjadi naik di tengah-tengah defisit neraca migas yang semakin melebar.

Wacana itu pertama kali dilontarkan Menteri ESDM Arifin Tasrif, beberapa waktu lalu, setelah skema gross split sempat dilaksanakan oleh Menteri ESDM periode sebelumnya. Tentu bagi Arifin, dimungkinkannya fleksibilitas penggunaan dua skema itu bukan asal jeplak.

Mantan Dubes Jepang itu diyakini sudah melalui pengkajian yang mendalam soal pentingnya mengembalikan rezim cost recovery di industri perminyakan.

Pernyataan Arifin Tasrif itu terkonfirmasi dari siaran pers Kementerian ESDM, Minggu (1/12/2019). Menurutnya, dirinya mempertimbangkan kembali hadirnya kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi (cost recovery) bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi bersama sistem fiskal Gross Split bagi para investor migas.

Oleh karena itu, dia membuka opsi perlu adanya evaluasi terhadap pola bisnis serta investasi di sektor migas. Evaluasi ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk segera memetakan regulasi yang menghambat laju investasi.

“Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang migas. Kami tanyakan, mana yang prefer, ada dua (gross split dan cost recovery)," kata Arifin.

Di era duet Menteri dan Wamen ESDM Ignasius Jonan dan Archandra Tahar, penerapan skema gross split diwajibkan bagi perusahaan migas wilayah kerja baru dan terminasi sejak 1 Januari 2017.

Hingga saat ini, sudah ada 45 WK migas yang menggunakan skema tersebut, yakni 17 WK hasil lelang, 23 WK terminasi, dan 5 WK amandemen. Dari jumlah tersebut, pemerintah memperoleh dana eksplorasi sebesar USD2,71 miliar atau sekitar Rp40,7 triliun. Sementara itu, untuk bonus tanda tangan sebesar USD1,19 miliar atau sekitar Rp17,8 miliar.

Meski demikian, kedua skema fiskal tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada investor yang lebih memilih skema kontrak cost recovery untuk lapangan yang terletak di daerah sulit dan berisiko tinggi karena skema tersebut dinilai lebih rasional. "Semakin risk dan daerah remote, mereka pilih PSC (cost recovery). Komponen PSC itu bisa reasonable.”

Sebaliknya, gross split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja eksisting karena memiliki tingkat kepastian bisnis yang lebih tinggi. Dengan demikian, pemerintah tengah mengkaji kedua penawaran ini lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis agar memperbaiki regulasi mengenai skema perhitungan bagi hasil yang terbuka.

"Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang membahas revisi Permen ESDM," tandas Arifin Tasrif.

Buka Pilihan

Arifin juga menegaskan pemerintah akan tetap mempertahankan penerapan bagi hasil migas yang digagas Arcandra Tahar tersebut. Namun, pemerintah tetap membuka kesempatan investor memberikan masukan terhadap bagi hasil migas yang diinginkan. "Kita pada intinya akan mempertahankan gross split tapi tidak mengesampingkan atau mengabaikan pesan investor," tuturnya.

Perdebatan pilihan penggunaan production sharing contract (PSC) atau cost recovery dan gross split sendiri bermula dari soal membengkaknya tagihan dari kontraktor kepada pemerintah yang ditengarai membebani APBN.

Inilah yang melatarbelakangi munculnya rezim gross split yang diinisiasi oleh Wamen ESDM ketika itu, Arcandra Tahar. Ya, pada awal 2017, pemerintah mengeluarkan beleid baru untuk mendorong kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan pengembangan blok migas dengan mengubah dari rezim cost recovery menjadi rezim gross split tentu salah satu solusi mengurai industri migas menjadi lebih baik lagi.

Beleid itu tertuang di Permen ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen ini mulai diberlakukan per 6 Januari 2017. Pertanyaan kemudian, apa pembeda rezim production sharing contract (PSC)/cost recovery dan gross split? Ini tentu yang muncul di benak pembaca.

Skema gross split adalah salah satu skema yang berkembang di industri migas dunia. Kelebihan skema gross split dibandingkan dengan skema PSC atau sering disebut cost recovery adalah pendapatan atau produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor.

Di sisi lain, pemerintah tidak berbagi risiko biaya produksi dan hanya menerima bagian dari pendapatan kotor penjualan, sementara besaran laba kotor disesuaikan berdasarkan keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor sehingga bersifat progresif dan adjustable

Bagaimana dengan skema cost recovery? Rezim cost recovery merupakan rezim berbagi risiko antara pemerintah dan kontraktor, baik keuntungan maupun risiko biaya. Persoalannya, ketika kontraktor memunculkan komponen klasifikasi biaya yang muncul potensi adanya mark up.

Melalui Permen ESDM No. 8/2017, pemerintah berharap biaya cost recovery yang dibebani dari APBN bisa berkurang. Pasalnya, biaya operasi tak lagi dibebankan ke negara, tapi ke kontraktor migas.

Sebagai gambaran tak terkontrolnya cost recovery terjadi 2016. Ketika itu, pemerintah hanya menganggarkan pagu cost recovery sebesar USD8,4 miliar, namun apa lacur bengkak menjadi USD11,4 miliar. Dengan demikian, tanpa cost recovery, APBN tak terganggu lagi.

Di sisi lain, kontraktor mendapatkan keuntungan besar jika bisa melakukan efisiensi. Selain itu dengan terbitnya aturan ini, pemerintah bisa mendorong minat investasi hulu migas. Namun, di era Menteri ESDM Arifin Tasrif skema ini kembali direlaksasi.

Diharapkan, itu bisa memberikan kebebasan bagi kontraktor migas untuk memilih skemanya, produksi migas pun terdongkrak,  apalagi regulasi pun kini terus diperbaiki termasuk dengan rencana adanya Omnibus Law.

Bagi SKK Migas tuntutannya semakin tinggi di tengah derasnya impor dan defisit neraca perdagangan. Hingga per 30 September, lembaga itu berhasil memproduksi minyak mencapai 750.500 barel per hari. Begitu pun dengan gas mencapai 1.285.500 barel per hari dengan capaian investasi USD3,40 miliar dari 206 wilayah kerja dan sumur eksplorasi sebanyak 25 sumur.

Sah saja, di bawah kendalinya, Arifin berusaha melakukan kajian ulang, salah satunya soal skema gross split tersebut. Tujuannya satu, produksi minyak pun naik.

SKK Migas pun punya tekad yang sama. Bahkan mereka punya slogan baru “Mewujudkan cita-cita besar Second Golden Era Road to 1 Million BOPD pada 2031”. Apakah cita-cita besar itu bisa tercapai, hanya waktu yang akan menjawabnya? (F-1)