Jika orang Indonesia tidak mudah lupa, setidaknya ada dua aksi besar yang melibatkan ribuan orang turun ke jalan di masa pemerintahan Jokowi-JK, beberapa waktu yang lalu. Aksi pertama, turunnya ribuan orang ke jalan raya karena isu penistaan agama. Aksi kedua, saat ribuan mahasiswa berkumpul di sekitar Gedung DPR RI untuk menentang rencana pengesahan undang-undang kontroversial, mulai dari RUU KUHP sampai disahkannya revisi Undang-Undang KPK.
Sejarah kontemporer Indonesia, harus diakui berisi banyak catatan minor berkurangnya kualitas kehidupan demokrasi. Seperti terlihat pada dua peristiwa di atas. Peristiwa pertama merupakan aksi yang melibatkan massa dalam jumlah sangat besar. Pengumpulan massa itu mencapai kulminasi pada 2 Desember 2016. Aksi itu ternyata sarat dengan kepentingan politis. Konteks politik saat itu adalah menjelang dilangsungkannya pemilihan umum kepala daerah tingkat I Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Tuduhan penistaan agama terhadap calon petahana Basuki Tjahaja Purnama ternyata sangat efektif untuk menggalang dukungan massa sekaligus menekan pemerintah. Tujuannya, agar gubernur yang terkenal dengan sikapnya yang keras terhadap korupsi dan kinerja aparat yang lamban itu mendapatkan stigma politik yang melemahkan dirinya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Peristiwa kedua adalah fenomena gerakan mahasiswa yang ternyata masih memiliki peran penting. Dua puluh tahun semenjak bergulirnya reformasi, berbagai agenda pembenahan di dalam sistem politik Indonesia ternyata menghadapi banyak tantangan ketika berhadapan dengan realitas politik Indonesia yang sesungguhnya. Tarik ulur kepentingan ekonomi politik ketika bertemu dengan persaingan di antara pemegang kekuasaan ternyata telah memunculkan berbagai hal yang melemahkan agenda reformasi.
Turunnya Kualitas Demokrasi
Dua kejadian, yang sama-sama melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar, adalah hal-hal yang secara politik memiliki karakter yang bertentangan. Peristiwa pertama menunjukkan satu desakan politik yang cenderung bergerak ke arah konservatisme. Sedangkan peristiwa kedua adalah munculnya reaksi politik untuk mempertahankan capaian agenda-agenda reformasi yang mengalami ancaman pelemahan. Dengan kata lain, peristiwa pertama memperlihatkan kecenderungan gerak politik bergeser ke kanan. Sedangkan peristiwa kedua, memperlihatkan gerak politik yang masih kuat untuk mempertahankan arah ke kiri.
Edward Aspinall, peneliti gerakan mahasiswa Indonesia di masa pergerakan reformasi 90-an, adalah orang yang terpicu kesadarannya untuk mencermati berbagai perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam wawancara khusus dengan Majalah Tempo edisi Oktober 2019, dia mengungkapkan berbagai pandangannya.
Selalu ada benang merah dalam semua gerakan mahasiswa Indonesia dari zaman ke zaman. Yang paling umum adalah persoalan terancamnya kebebasan berdemokrasi serta tuntutan pemberantasan terhadap korupsi. "Ada ketidaksinkronan antara apa yang dianggap penting oleh masyarakat dan apa yang terjadi di arena politik formal," ujar Aspinall kepada wartawan Tempo.
Tren pelemahan demokrasi, berdasarkan studi Aspinall, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Kecenderungan yang sama terjadi secara global. Perkembangan politik yang condong ke arah konservatisme, menguatnya politik sektarian, konsolidasi kekuatan politik oligarki, serta komitmen yang rendah terhadap penguatan iklim demokrasi dari pemimpin-pemimpin yang sebelumnya terpilih dalam sistem demokrasi merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara. Tidak hanya di negara-negara yang dikategorikan Aspinall sebagai negara yang pernah mengalami demokratisasi arus ketiga, tetapi terjadi juga di negara kuat seperti Amerika Serikat bahkan Inggris.
Pasar Gelap Kekuasaan
Howard Dick dan Jeremy Mulholland adalah dua orang peneliti dari University of Melbourne yang mencoba melihat dengan lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di dalam suatu negara yang bergerak ke arah pelemahan demokrasi. Tulisan itu ada di dalam buku The State and Illegallity in Indonesia yang disunting Edward Aspinall bersama dengan Gery Van Klinken (2011). Tulisan itu berjudul The State as Marketplace; Slush funds and intra-elite rivalry.
Mengapa pada saat ini negara terlihat lemah dan enggan untuk menerapkan sanksi hukum yang keras terhadap para pelaku praktik korupsi? Mengapa aparat negara seperti membiarkan bahkan melindungi perilaku politik yang mengedepankan kebencian dan kekerasan?
Banyak yang mengatakan, hal itu terjadi karena tidak adanya 'kemauan politik' atau political will. Pendapat lain melihat itu sebagai persoalan lemahnya penegakan hukum dan konsekuensi tradisi kompromi politik dalam bernegara. Bagi Howard dan Jeremy, rasionalisasi semacam itu mengaburkan pandangan tentang bagaimana seharusnya sebuah negara bekerja dengan kenyataan bekerjanya sebuah negara.
Dalam pandangan Howard dan Jeremy, korupsi dan penggunaan kriminalitas dalam berbagai bentuknya adalah salah satu bagian dari bekerjanya sebuah negara.
Kondisi yang semrawut dan tidak elok ini banyak dipahami para peneliti perubahan masyarakat sebagai berlangsungnya 'pasar gelap kekuasaan'. Di dalam pasar itu perilaku dari para elite yang memegang kekuasaan negara dengan berbagai akses yang dimilikinya, memunculkan kontestasi para pemain yang merupakan kepanjangan tangan dari oligarki ekonomi politik. Oligarki itu sendiri tidak bisa dilihat dalam pemilahan yang jelas batas-batasnya. Dinamika politik dan ekonomi di dalam sebuah negara adalah sebuah sistem kompleks yang selalu bisa memunculkan aktor-aktor yang berbeda, walaupun aturan main di dalamnya relatif tidak berubah.
Politik Bawah Tangan
Kontestasi politik yang terjadi di dalam negara adalah permainan distribusi kekuasaan, kekayaan, dan status. Seringkali pembagian kekuasaan yang muncul hanya berdasarkan kompromi belaka berdasarkan proporsi koalisi politik yang terbangun. Sistem merit atau profesionalitas dalam pengelolaan negara hanya diberikan sebatas kebutuhan praktis.
Tak heran seringkali praktik politik informal lebih menentukan ketimbang tindakan politik formal. Banyak hal yang bisa menjelaskan kenapa muncul pemberian pemotongan tahanan yang signifikan terhadap para pelaku kejahatan korupsi di tingkat pengadilan tertinggi. Demikian halnya dengan munculnya suara-suara yang memberikan peluang kepada mantan pelaku kejahatan korupsi untuk kembali tampil sebagai calon kepala daerah.
Di sisi lain organisasi-organisasi politik yang menggunakan praktik politik kekerasan, seperti perundungan, pengumpulan massa di tempat-tempat publik, penghasutan dengan ujaran kebencian, sampai dengan pengkafiran terhadap pihak lain, seperti mendapatkan pembiaran dan perlindungan. Sementara itu, organisasi-organisasi minoritas yang seharusnya mendapatkan perlindungan negara malah terancam keberadaannya karena tidak memenuhi kaidah formal negara yang masih berpijak pada aturan yang ketinggalan zaman. (Y-1)