Indonesia.go.id - Menanti Komando Lanjut Sang Menteri

Menanti Komando Lanjut Sang Menteri

  • Administrator
  • Rabu, 18 Desember 2019 | 01:24 WIB
INDUSTRI PUPUK
  PT Pupuk Indonesia. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Adanya keluhan industri pupuk ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, isu gas sempat mengemuka ketika PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berencana menaikkan harga gas per 1 November 2019.

Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam. Salah satunya adalah gas bumi. Bangsa ini juga telah menetapkan dalam pengelolaan energi diarahkan menuju energi yang berkeadilan.

Caranya bagaimana, sesuai dengan bunya soal neraca gas Indonesia, pencapaian energi yang berkeadilan itu melalui peningkatan akses secara merata dengan harga yang terjangkau dan tata kelola penyediaan energi yang lebih efisien.

Tidak itu saja, sebut pembukaan neraca gas Indonesia, sangat jelas disebutkan bahwa penyediaan gas harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan mengurangi ekspor secara bertahap.

Gas bumi tidak lagi dianggap sebagai komoditas ekspor semata, melainkan sebagai modal pembangunan. Skala prioritas penggunaannya pun disebutkan dengan jelas, untuk transportasi, rumah tangga, dan pelanggan kecil, lifting minyak, industri pupuk, industri berbasis gas, pembangkit listrik dan industri berbahan bakar gas.

Tak dipungkiri, secara makro, pasar gas juga tergantung dengan pasar internasional yang sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga minyak. Harga minyak internasional naik, harga gas pun ikut terpengaruh.

Namun adaptasi gas terhadap volatilitas minyak juga ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, kontrak jual beli antara produsen dan konsumen serta pelaku usaha yang terlibat.

Di era Pemerintah Joko Widodo yang sudah memasuki tahun kedua, paradigma pemanfaatan gas sangat jelas, sebagai sumber pendapatan negara untuk penggerak pertumbuhan ekonomi melalui gas sebagai sumber energi, gas sebagai bahan baku (pupuk, petrokimia, baja, dan industri lainnya).

Sebagai ilustrasi, mengacu dari data neraca gas Indonesia, sumber daya alam sektor migas mulai kedodoran. Bahkan, negara ini sudah menjadi net importir di minyak, meskipun cadangan gas masih besar.

Indonesia dengan produksi minyak rata-rata 800.000 barel per hari sepanjang tidak ditemukan cadangan baru, minyak diperkirakan akan habis tidak terlalu lama lagi. Dari ilustrasi itu, keberadaan dengan cadangan gas bagi pemenuhan energi ke depan sangat strategis sekali.

Menurut data dari 2011 hingga 2017, Indonesia memiliki cadangan gas konvensional sebanyak 142,72 TSCF (triliun standard cubic feet) dari semula 152,9 TSCF.

Negara ini memang kaya dengan sumber daya gas alam tersebut. Dari cadangan itu, cadangan baru yang memungkinkan dieksplorasi adalah dari cekungan sedimen, baik di darat (onshore) maupun lepas pantai (offshore). Menurut data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 60 cekungan gas, 16 cekungan sudah berproduksi.

Dari sekian cekungan itu, sebanyak 7 cekungan sudah terbukti tapi belum terbukti, 15 cekungan sudah diekplorasi tapi belum ada penemuan, dan 22 cekungan yang belum dieksplorasi.

Berkaca dari paparan di atas, sangat disayangkan masih adanya keluhan dari pabrikan pupuk yang menghadapi permasalahan soal pasokan gas, seperti disampaikan Dirut PT Pupuk Indonesia Holding Company Aas Asikin Idat di rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (5/12/2019).

Menurut Asikin, industri pupuk dalam negeri tidak sedang dalam kondisi yang baik-baik saja. Pasokan gas adalah permasalahan yang kini tengah dihadapi. Banyak kontrak gas yang akan berakhir pada dua tiga tahun mendatang, dan belum ada kepastian perpanjangan bagi pabrik-pabrik pupuk.

Menurutnya, pupuk memerlukan pasokan gas jangka panjang. “Sementara ini 2-3 tahun kami harapkan bisa jangka panjang. Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian gasnya termasuk alokasinya belum kami terima," ujar Asikin.

Tidak hanya kepastian pasokan gas, masalah lain yang dihadapi industri pupuk adalah harga gas yang dinilai masih terlalu tinggi. Padahal, gas bumi adalah bahan baku utama untuk produksi pupuk urea dengan komposisi kurang lebih 70% dari total biaya produksi.

"Jadi gas dalam biaya produksi itu menempati 70% sehingga harga gas ini sangat berpengaruh pada harga pokok dari pupuk sendiri," ujarnya.

Dia pun memberikan contoh, harga rata-rata gas yang dikenakan untuk pupuk dalam negeri ada di kisaran USD5,8/MMBTU (juta british thermal unit). Sementara itu, harga pesaing bisa di rata-rata USD3,95 per MMBTU.

Salah satu contoh, menurut Asikin, adalah Pupuk Iskandar Muda. Di kawasan itu, ada dua pabrik dengan kebutuhan gas sampai 110 MMSCFD (juta standard cubic feet per day), tetapi baru punya alokasi kepastian gas 30 MMSCFD. "Jadi kurang 80 MMSCFC, sehingga dari dua pabrik baru bisa jalan kurang lebih 1 pabrik."

Asikin pun mengakui telah meneken perjanjian jual beli gas dengan Pertamina. Namun perjanjian tersebut belum juga efektif. "Jika tidak dijalankan maka mulai 2020 dua pabrik di Iskandar Muda ini tidak bisa jalan," ungkapnya.

Sementara itu, untuk Pusri Palembang, pasokan gas tidak ada masalah sampai 2023. Namun, alokasi untuk 2024 belum terjamin dan diperkirakan akan kurang. "Gasnya belum ada, mungkin 2024 kalau ini tidak dipenuhi pabrik di Palembang semua akan berhenti."

Adanya keluhan industri pupuk ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, isu gas sempat mengemuka ketika PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berencana menaikkan harga gas per 1 November 2019.

Alasannya, anak perusahaan Pertamina itu tidak pernah menaikkan harga gas sejak 2013. Mereka menjual harga gas ke konsumen di kisaran USD8-USD10 per MMBTU.

Namun, rencana itu urung terwujud setelah pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa harga jual gas untuk industri tidak jadi naik.

Yang jelas, mencuatnya isu soal pasokan dan harga gas itu harusnya bisa dituntaskan di bawah komando menteri terkait. Krisis global yang mengakibatkan pelambatan ekonomi seharusnya menjadikan semua komponen bangsa saling berbagi derita (sharing the pain), sehingga daya tahan yang kokoh itu bisa menjadi pengungkit pertumbuhan di tengah krisis tersebut. (F-1)