Indonesia.go.id - Pilar-Pilar Perkasa di Pesisir Utara Jakarta

Pilar-Pilar Perkasa di Pesisir Utara Jakarta

  • Administrator
  • Senin, 30 Desember 2019 | 18:37 WIB
TANGGUL TELUK JAKARTA
  Proyek tanggul teluk Jakarta. Foto: PUPR

Rontoknya tanggul di Penjaringan tak menghentikan program pembangunan pesisir Jakarta. Tanggul yang selesai baru 9,3 km. Kebutuhannya mendesak karena tanah di Jakarta Utara turun rata-rata 7,5 cm per tahun.

Bibir tanggul pantai itu seperti dibetot ke arah laut. Begitu besarnya tenaga tarikan itu hingga struktur tanggul yang disangga oleh pilar-pilar beton raksasa itu miring, nyaris ambruk ke laut. Besi-besi beton yang putus oleh energi raksasa itu tampak terjuntai. Musibah yang tidak terduga itu terjadi pada ruas tanggul sepanjang hampir 100 meter, tak jauh dari Pelabuhan Perikanan Nizam Rachman, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (3/12/2019).

Sebab-musabab peristiwa itu masih simpang-siur. Ada yang menduga karena arus kuat yang terjadi di lokasi tersebut dan beriringan dengan hujan deras. Banyak yang meragukan. Bagaimana mungkin arus laut Teluk Jakarta yang tak tergolong kuat itu dapat merusak struktur tanggul yang disangga oleh pilar-pilar beton berdiameter 1,2 meter. Apalagi, pilar-pilar berbentuk pipa beton itu ditanam sedalam 15 meter ke dasar laut.

Ada pula dugaan, pilar-pilar beton tidak cukup panjang untuk menancap ke lapisan tanah keras. Sebagian dari deretan pipa beton itu pun terperosok karena massa yang besar itu hanya disangga oleh lapisan tanah lembek. Begitu besarnya massa beton yang runtuh sehingga bisa menarik putus batang-batang besi yang mengikatnya ke struktur beton di sebelahnya.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang bertanggung jawab atas proyek ini masih melakukan penelitian. Sembari menanti hasil observasi, pembangunan tanggul pantai itu terus berlanjut. Pilar-pilar model pipa itu terus ditanam ke dasar laut. Satu pilar rapat dengan pilar di kanan kirinya. Tiap 20-25 pilar diuntai jadi satu ruas, dan diikat ke ruas berikutnya dengan besi-besi. Setelah semua rapi teruntai, kepala tanggul dibangun dengan struktur beton bertulang. Rata-rata tanggul ini menjulang 3,5 meter di atas  tinggi muka laut. Lebar tanggul dua meter.

Pemerintah merencanakan tanggul ini dibangun sepanjang 39,4 km. Utamanya di pesisir–pesisir yang rawan dari gerusan arus laut seperti di Kelurahan Penjaringan, Pluit, Kapuk Kamal, dan Marunda. Tanggul tersebut juga dibangun di muara sungai, seperti yang terlihat di Kali Blencong, Marunda. Tak kurang dari 1.904 pilar beton (spoon pile) yang tampak perkasa ditanam berderet di muara sungai tersebut.

Pembangunan tanggul ini dilaksanakan di bawah Proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), buah kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda dan dimulai 2014. Program ini untuk menjawab isu bahwa sekitar 10 persen wilayah Jakarta sudah sama atau di bawah tinggi rata-rata muka laut, dan 30% lainnya terancam tergenang bila hujan deras turun di saat air laut pasang purnama. Kondisi ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan bertahap akibat terjadinya subsidensi (penurunan) tanah selama puluhan tahun.

Fenomena penurunan tanah itu semakin buruk, terutama di Jakarta Utara, yang rata-rata mengalami penurunan 7,5 cm per tahun. Bencana itu terjadi karena eksploitasi air tanah yang ugal-ugalan dalam setengah abad terakhir ini, yang mengakibatkan struktur tanah hancur. Kondisi ini memburuk karena munculnya bangunan-bangunan bertingkat dan infrastruktur kota yang serba berat. Walhasil, struktur tanah yang rapuh itu hancur dan memadat. Tanah tersubsidensi.

Program NCICD itu tidak hanya membentengi pantai-pantai dari terpaan arus laut dan air pasangnya. Tanggul-tanggul ini juga akan dibangun di pinggiran sungai, terutama yang bermuara langsung ke laut seperti Kali Blencong, Kali Sunter, Kali Ancol, dan Kali Angke. Bila seluruhnya dibuatkan tanggul, maka panjang bentangan tanggul itu bisa lebih dari 100 km. Biayanya mahal, maka tahap pertama program NCICD ini hanya akan menjangkau bentangan sepanjang 39,4 km saja sampai 2024.

Awalnya, direncanakan bahwa pembiayaan proyek Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota (NCICD) itu akan dibiayai oleh tiga pihak, yakni pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR, Pemprov DKI Jakarta serta para pengembang pulau-pulau reklamasi, yang bersedia membantu sebagai kontribusi tambahan. Tapi, kerja sama itu batal setelah Pemprov DKI menarik dukungannya kepada pembangunan 17 buah pulau reklamasi di Teluk Jakarta, dan hanya mengizinkan dua pulau yang telah telanjur dibangun. Perubahan rencana itu membuat program tanggul itu agak melambat.

Dari dua pulau reklamasi itu, pengembang memberikan kontribusi membangun tanggul sepanjang 2,1 km. Maka, 37,3 km lainnya ditanggung renteng oleh Kementerian PUPR dan Pemprov DKI. Proporsinya,  16,5 km digarap Kementerian PUPR dan 20,8 km lainnya oleh Pemprov DKI.

Hingga akhir 2019 tanggul yang terbangun panjangnya 9,3 km, baru 24 persen dari target yang dipatok. Rinciannya, 4,5 km dibangun Kementerian PUPR, 2,7 km digarap Pemprov DKI, dan 2,1 km lainnya oleh pengembang. Pembangunan tanggul pengaman ini juga menandai era baru dalam tata kelola air, terutama limpasan air hujan, air limbah rumah tangga, air limbah pasar, ruko, serta industri rumahan yang ada di kawasan berelevasi rendah itu.

Seperti di Penjaringan misalnya, selokan dari kawasan permukiman tak bisa dialirkan ke laut, karena muka air laut sudah lebih tinggi. Sebagian mereka mengalirkan air limbahnya ke Waduk Pluit untuk kemudian dipompa ke laut. Sebagian lagi mengalirkannya ke kolam-kolam penampung (polder), lalu mengalirkannya ke laut dengan mesin pompa air.

Kondisi semacam itu bahkan sudah dialami sebagian warga Kelurahan Pademangan, Ancol, Cilincing, Koja, Sunter, Pluit, dan perumahan elite Pantai Indah Kapuk. Mereka mengalirkan limpasan hujan dan air limbah rumah tangga ke folder-folder. Dari situ, air limbah dipompakan ke kanal-kanal yang bertanggul tinggi (karena lebih tinggi dari lantai rumah warga). Kanal itu membawa air ke sungai dan selanjutnya ditumpahkan ke laut.

Kerepotan itu akan terus berlanjut dan bahkan meluas. Pasalnya, subsidensi tanah masih akan terjadi sepanjang eksploitasi air tanah masih berlangsung. Sementara ini, layanan air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PDAM Jaya) baru melayani 60 persen penduduk. Sebanyak 40 persen lainnya mengandalkan air tanah (sumur). Pun masih banyak gedung-gedung tinggi yang terus menyedot air dari tanah dengan sumur dalam.

Dengan penduduk lebih dari 10 juta, Jakarta miskin akan air baru untuk PDAM. Waduk Karian di Lebak, Banten, kemungkinan akan memasok air baku ke Jakarta. Tapi, tetap saja belum menyelesaikan urusan ketersedian air baku. Artinya, eksploitasi air tanah masih akan terus terjadi dan subsidensi tanah di ibu kota masih akan menjadi masalah laten.

Dalam jangka panjang Jakarta masih terus diintai masalah terkait tata kelola air. Belum lagi tekanan isu kualitas udara, kemacetan lalu lintas, serta ketersedian lahan untuk mengakomodasi kehadiran jutaan warga dari kota-kota satelit Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi yang setiap hari menjejali tiap jengkal tanah di ibu kota. Dari aspek ini, rencana pemindahan ibu kota negara ke wilayah perbatasan  Kabupaten Panajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) menjadi sangat relevan. Di sana, Ibu Kota RI yang baru itu bisa ditata sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Problem lingkungan akan lebih mudah dikelola. (P-1)