Ada kabar gembira dengan Bursa Efek Indonesia di penutupan akhir 2019. Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 6.299,54 atau minus 0,47%, kinerja IHSG sepanjang tahun ini tercatat menguat tipis 1,70%, lebih baik dibandingkan dengan 2018 yang tercatat minus hingga 2,54%.
Pencapaian bursa selama tahun lalu itu memberikan optimistme untuk menyambut 2020. Pelbagai pelaku pasar kapital dunia pun hampir semuanya memberikan indikasi bahwa pasar tahun ini masih relatif baik, meskipun untuk mencapainya butuh kerja keras.
Berdasarkan data yang dihimpun Bursa Efek Indonesia (BEI) di hari terakhir perdagangan, Senin (30/12/2019), pasar saham ditutup dengan 195 saham menguat, 234 saham minus, dan 152 saham stagnan. Nilai transaksi harian tercatat Rp11,41 triliun. Asing pada hari itu masuk di pasar negosiasi dan tunai Rp585,62 miliar dan di pasar reguler net sell asing Rp582,64 miliar.
Secara year to date, IHSG naik 1,70% dan 3 tahun terakhir IHSG naik 17,51%. Year to date, asing masuk di pasar nego dan tunai Rp68,02 triliun, sementara itu di pasar reguler terjadi net sell Rp23,39 triliun sehingga net buy di semua pasar Rp44,63 triliun.
Harus diakui kinerja tahun ini belum mampu melampaui kinerja IHSG pada 2017 dan 2016 yang masih memberikan return 19,99% dan 15,32%. Dengan demikian, era 2017, masih menjadi rekor kinerja terbaik dalam 3 tahun terakhir.
Terlepas dari itu semua, baik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati maupun Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengapresiasi kinerja BEI.
“Pencapaian dan kredibilitas pasar modal Indonesia perlu dijaga salah satunya dengan meningkatkan perlindungan investor. Mereka [BEI dan OJK] telah melakukan kinerja yang impresif,” ujar Sri Mulyani, tanpa menyebutkan satu emitennya pada pidato penutupan perdagangan, Senin (30/12/2019).
Oleh karena itu, Sri Mulyani menambahkan, BEI dan OJK perlu bersama-sama melakukan bersih-bersih dari transaksi maupun pelaku pasar yang tidak baik dan bisa menciderai reputasi bursa dan pasar modal Indonesia.
Dia menilai, peningkatan kredibilitas dan reputasi dari regulator dan Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal ini dibutuhkan untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada peningkatan investasi karena kepercayaan dari masyarakat pun meningkat.
"Diharapkan akan terus dilakukan sehingga reputasi pasar modal dapat tempat di investor dan stakeholder [pemangku kepentingan] dan bisa jadi tempat investasi yang bisa diharapkan reliability-nya oleh masyarakat," lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan selama setahun ini Indonesia menjadi negara peringkat pertama buruan investor investasi asing dibanding negara-negara berkembang lainnya.
Mengutip data dari Bloomberg yang melakukan survei terhadap 32 negara tujuan investasi. "Hasil survei Bloomberg terhadap 57 global investor dan trader terungkap bahwa Indonesia menempati peringkat tertinggi tujuan investasi, dan ini juga yang paling menjanjikan di antara negara-negara emerging market lainnya," ujar Wimboh dalam Pembukaan Perdagangan Saham di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2020).
Menurutnya, capaian tersebut merupakan sinyal positif bagi kondisi pasar modal dalam negeri, bahkan dianggap berhasil menggeser Tiongkok dan India. "Hal ini menandakan market confident. Khususnya investasi di pasar saham dan surat utang, ini dalam sejarah kita bisa mengalahkan Tiongkok dan India dan ini belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.
Meski demikian, Wimboh mengakui kinerja pasar modal sepanjang 2019 ini belum melampaui ekspektasi yang dipatok awal tahun sebelumnya. Meski suku bunga saat itu rendah, tensi perang dagang yang terus meningkat memberikan tekanan terhadap kinerja pasar modal RI.
"Pada 2019 kemarin kita mempunyai optimisme sangat tinggi karena suku bunga sudah turun, di luar dugaan kita ada perang dagang yang luar biasa. Dampaknya sudah ke seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia," imbuhnya.
Tak dipungkiri capaian pasar modal tahun ini cukup memuaskan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Investor tercatat masih membukukan beli bersih atau net buy hingga Rp49,2 triliun.
Emiten Listed
Khusus tahun lalu, otoritas pasar modal menargetkan mendatangkan 57 perusahaan tercatat (emiten) baru ke pasar modal melalui skema penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO). Realisasinya ternyata belum tercapai, kendati hanya kurang dua calon emiten.
Dari sisi pencatatan efek di BEI pada tahun lalu mencapai 75 termasuk efek lainnya seperti DIRE (dana investasi real estate), EBA (efek beragun aset), dan ETF (exchange traded fund), dan beberapa efek lainnya.
PT Galva Technologies Tbk (GLVA) menjadi emiten pamungkas di penghujung tahun ini dan menjadi perusahaan tercatat ke-55 sepanjang 2019 dan emiten ke-668 di BEI.
Menurut catatan, perolehan jumlah perusahaan tercatat pada 2019 sebanyak 55 emiten, sama dengan capaian 2018 sebanyak 55 emiten.
PT Uni-Charm Indonesia Tbk (UCID) menjadi emiten yang tercatat di tahun itu dengan perolehan emisi terbesar yakni mencapai Rp1,2 triliun dengan melepas 831 juta saham dengan harga IPO Rp1.500/saham.
Tentu saja BEI tidak hanya mencatat perusahaan yang listed saja di pasar modal. Sejumlah perusahaan yang didepak dari bursa (delisting) tahun 2019 juga ada, Sebanyak enam perusahaan didepak selama 2019, sementara pada 2018 sebanyak 4 perusahaan.
Seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyai ketika penutupan pasar, otoritas pasar modal perlu melakukan pembenahan untuk mendukung pertumbuhan pasar modal. Caranya bagaimana? Sri Mulyani pun mengatakan otoritas itu perlu menciptakan pendalaman ekonomi dan sistem keuangan sehingga reputasi dan kredibilitas regulator dan self regulatory organization (SRO) dapat terjaga.
Namun, seperti menjadi kewaspadaan sejumlah pemain pasar modal baik skala global maupun lokal, mereka sudah memiliki peringatan awal bahwa pertumbuhan ekonomi belum beranjak dari angka lima persen dan ada kecenderungan terlihat mulai melambat.
Bahkan jika ditarik hingga lima tahun terakhir perekonomian Indonesia flat di lima persen. Namun, harapannya tentu itu tak terlalu mengkhawatirkan bagi para investor.
Sudah jamak bahwa kelesuan ekonomi global menjadi alasan pelambatan ekonomi Indonesia. Akibat perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, yang menekan ekspor dan menahan arus investasi ke dalam negeri.
Akankah pasar modal Indonesia siap terbang lebih tinggi lagi pada 2020 ini atau minimal sama dengan pencapaian tahun lalu. Hanya waktulah yang akan menjawabnya. (F-1)