Tanpa didampingi pejabat tinggi manapun, Presiden Joko Widodo melakukan inspeksi senyap ke Waduk Pluit di Jakarta Utara, Jumat (3/1/2020) pagi. Sebagai mantan Gubernur DKI, Presiden Jokowi tahu ke mana harus menuju. Mula-mula, dari tepian ia memeriksa secara visual permukaan waduk: cukup bersih dari enceng gondok. Presiden tampak lega, tak terlihat gejala pendangkalan kronis.
Berikutnya, Presiden Joko Widodo meninjau dua dari tiga rumah pompa yang ada pojok waduk. Sambil berjalan kaki, ia bertanya tentang berbagai hal kepada petugas paling senior yang ada pagi itu. Muncul sederet jawaban: Sepuluh unit pompa yang ada semuanya bisa dioperasikan. Total kapasitasnya 49 m3 per detik. Ketinggian air waduk minus (-) 145 cm dari tinggi muka air laut. Sesuai standar prosedur, tidak semua pompa perlu dioperasikan, karena situasi diangggap aman.
Presiden Jokowi sempat menanyakan, mengapa minus 145 cm dianggap aman di tengah musim hujan yang serba tak terduga ini? Mengapa tak semua pompa dioperasikan agar waduk bisa menampung air lebih banyak? Tapi standar prosedur operasi memang demikian, menurut keterangan petugas. Alhasil, Presiden tak mau mendesak lebih jauh. Ia tak mau ikut campur urusan gubernur.
Pengecekan terakhir ke segerombol mesin beko yang diparkir di pinggir waduk itu. Presiden mendapat penjelasan, mesin-mesin dapat berfungsi dengan baik. Pengerukan sedimen telah dilakukan menjelang musim hujan lalu. Rombongan kecil Presiden Jokowi bergegas kembali ke istana setelah sekitar 30 menit berada di Pluit.
Presiden merasa perlu terjun langsung mengecek Waduk Pluit, sejak pertama kali semenjak melepas jabatan Gubernur DKI, agar dapat mengkalkulasikan risiko yang dihadapi Jakarta di tengah musim hujan ini. Langkah itu tentu bisa mengundang sorotan tersendiri. Tapi, sebagai Kepala Negara, ia ingin memastikan bahwa Waduk Pluit dapat berfungsi optimal bila kembali terjadi hujan ekstrem.
Waduk Pluit mengemban peran penting untuk menjaga sebagian Jakarta Pusat dan Jakarta Barat bebas dari genangan banjir. Puluhan kelurahan tergantung pada Waduk Pluit. Mulai dari (sebagian) kawasan elite Menteng, Taman Monas, Istana Presiden, Kawasan Premium Jl MH Thmarin, sebagian Tanah Abang, Kebon Kacang, Petojo Cideng, Mangga Besar, Pinangsia, Glodok, Kawasan Kota lama, sebagian Kelurahan Duri, Angke, seputaran Pluit, dan sejumlah lainnya bergantung pada ketinggian muka air di Waduk Pluit. Luas total tidak kurang dari 5.000 hektar dan merupakan pusat pemerintahan serta bisnis.
Wilayah luas itu berada di dataran rendah. Kawasan Taman Monas misalnya, saat ini elevasinya hanya sekitar 4,5 meter dari permukaan laut. Semakin ke utara, ke arah Kota Tua, elevasinya semakin rendah. Kawasan ini tidak punya banyak pilihan untuk mengalirkan air limbah ke laut. Posisi Kanal Banjir Barat lebih tinggi sehingga praktis air limbah dan limpasan hujan tak bisa dialirkan ke sana. Salah satu pilihan yang ada ialah Kali Ciliwung lama yang mengalir dari pintu air Manggarai.
Sejak melintasi Kawasan Menteng (di dekat Bioskop Megaria) Kali Ciliwung lama ini telah dinormalisasi. Badan sungainya diluruskan menyerupai kanal, dan di pelataran Masjid Istiqlal, sungai ini bercabang. yang ke kiri melintas diapit oleh Jl Veteran dan Jl Juanda yang kemudian di Harmoni berbelok ke kanan menjadi Kanal Batang Hari yang diapit Jl Hayam Wuruk dan Gajahmada. Kanal ini menuju ke arah Kota Tua. Cabang satunya mengalir melintasi Pasar Baru, berbelok ke Jl Gunung Sahari, untuk kemudian bermuara di Marina Ancol.
Dalam perjalanannya, drainase Kanal Ciliwung lama ini semakin susut keandalannya. Elevasinya terlalu rendah hingga di saat air laut pasang, aliran airnya sangat terbatas. Tak jarang kanal ini meluap lantas menggenangi Jl Gunung Sahari dan sekitarnya. Dalam kondisi semacam ini, Kanal Batang Hari yang membelah kawasan kota (nama khas untuk wilayah Glodok, Mangga Besar, Pinangsia, dan sekitarnya), lebih bisa diandalkan. Pasalnya, melewati sudetan Kali Pakin, air dari Kanal Batang Hari itu mengalir ke Waduk Pluit yang diatur lebih rendah dari muka air laut.
Kawasan rendah di sebagian Jakarta Pusat dan Barat ini juga bergantung pada dua kanal utama lainnya, yakni Kanal kali Krukut dan Kanal Kali Cideng. Kanal Kali Krukut itu memanfaatkan jejak kali Krukut lama yang “lenyap” karena terpotong oleh Kanal Banjir Barat. Kanal ini berawal dari selokan kecil sisa sungai Krukut lama ke kolam penampung yang tak jauh dari Hotel Millennium, Tanah Abang. Dari sanalah kanal dibangun dengan nama Kanal Kali Krukut.
Satu kanal lainnya dibangun di atas jejak Kali Cideng lama (Sungai Cideng lama hilang pasca-Kanal Banjir Barat dibangun). Pangkalnya ada di belakang Hotel Indonesia, menjadi kanal lebar yang menyusur Jl Kebon Sirih dan bercabang: ada aliran menuju Kanal Cideng, da cabang lainnya menyusuri Jl Abdul Muis, dan seterusnya mengalir ke arah kota tua.
Di Kelurahan Petojo Utara, Kanal Cideng, dan Krukut itu bertemu, lalu mengalir ke utara, dan sebelum masuk kota tua, kanal ini bercabang lagi, menjadi dua kanal yang disebut Kali Baru Barat dan Kali Baru Timur. Keduanya bermuara di Waduk Pluit.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mewariskan fasilitas tata kelola air yang rumit, lantaran dibangun secara tambal. Kanal-kanal utamanya saling terkoneksi dan menjadi tumpuan bagi segala got, selokan, dan gorong-gorong. Pada era kolonial dulu, kanal-kanal besar itu bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa dan sebagian di Muara Baru, pantai berawa yang kini menjadi bagian mulut Waduk Pluit.
Adalah Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno yang mendukung gagasan pembangunan Waduk Pluit ini. Sebagai insinyur sipil-arsitektur, ia paham betul, bahwa kota Jakarta berada di daratan yang rendah dan akan punya problem dengan drainasenya. Acuannya ialah sistem polder di Belanda, dengan kolam-kolam penampungan air di bawah muka air laut. Karena tidak bisa masuk ke laut dengan gravitasinya, air harus dipompa. Agar air laut tak melimpas ke kolam, polder tersebut harus dikelilingi tanggul yang kokoh.
Dengan konsep itu, Waduk Pluit dibangun di awal 1960-an. Kawasan Pluit yang berawa itu diurug, dan di bagian lain dikeruk untuk waduk. Luas waduk ditetapkan 80 ha. Presiden Soekarno lengser, namun proyek ini dilanjutkan Gubernur Ali Sadikin. Selesainya 1973 dan sejak itu berfungsi menampung jutaan m3 air limbah dan limpasan air hujan dari hulu (catchment area) di Jakarta Pusat dan Barat.
Namun, tak mudah menjaganya. Waduk Pluit mengalami pendangkalan. Sekitar 20 hektar diduduki oleh warga secara tidak sah. Pemeliharan sulit karena waduk dikepung bangunan liar. Bencana pun datang pada Januari 2013. Setelah Jakarta, Depok, Bogor, dan sekitarnya diguyur hujan lebat lima hari berturut-turut, datang hujan ekstrim 17 Januari 2013. Di Jakarta Selatan intensitasnya 170 mm di jakarta Selatan, di Jakarta Pusat 280 mm, bahkan di Jakarta Utara 330 mm. Sungai-sungai meluap.
Tanggul Kanal Banjiir Barat di dekat Stasiun Sudirman jebol. Bunderan HI dan sekitarnya pun terendam. Sialnya, kondisi Waduk Pluit begitu buruk. Kedalaman waduk tinggal 1-2 meter akibat sedimentasi dan tak terurus. Puncak deritanya terjadi ketika pompa-pompanya rusak. Tidak berfungsi. Ketinggian air di Waduk Pluit plus 100 cm. Air meluap dari area waduk. Pluit terendam berhari-hari. Sebagian Kawasan Tanah Abang, Petojo, Cideng, Mangga Besar, terendam.
Pengalaman buruk ini memberi suntikan keberanian bagi Gubernur Joko Widodo dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk bertindak. Pascabanjir, ribuan warga yang menempati bantaran Waduk Pluit digusur. Tak kurang dari 2,5 juta m3 lumpuh dikeruk dari dasar waduk, membuat kedalamannya mencapai 3 – 5 meter. Sungai Ciliwung dinormalisasi.
Pengalaman buruk pada 2013 itu, bagi sosok Joko Widodo mengajarkan satu hal: jangan mencoba main-main dalam pengelolaan Waduk Pluit. Meleset sedikit saja, bisa serius akibatnya. Tak heran bila sewaktu meninjaunya, Presiden Joko Widodo mengamati betul kondisi sedimentasinya, lalu alat beratnya untuk mengangkat sedimen dan sampah, serta pompa air. Pada prinsipnya, semakin rendah muka air waduk, semakin baik terutama di tengah musim hujan ini. (P-1)