Persis di malam pergantian tahun, hujan mengamuk. Wilayah Bogor, Depok, Jakarta, Tangerang, Lebak, dan Bekasi, habis-habisan disiram hujan serentak, dengan intensitas sangat tinggi 100 – 150 mm, atau ekstrem di atas 150 mm. Bahkan, stasiun cuaca di Bandar Udara Halim Perdanakusumah mencatat curah hujan 373 mm, dan stasiun cuaca TMII (Taman Mini Indonesia Indah) membukukan 340 mm.
Cuaca ekstrem itu membuahkan musibah di mana-mana. Sungai-sungai dan selokan meluap dan massa air yang amat besar gentayangan menyusuri jalan dan gang, mencari tempat parkir yang lebih rendah. Di sebuah perumahan di Jatiasih, Bekasi, warga yang terkepung genangan air setinggi 1,5 meter harus melihat peristiwa yang menyesakkan. Air bah menyeret mobil mereka, membenturkan satu sama lain, sebelum membiarkannya bertumpuk di ujung jalan.
Tak jauh dari sana, di Pondok Gede Permai, termasuk wilayah Kota Bekasi, genangan air kembali hadir di kawasan yang menjadi langganan banjir itu. Hanya saja, yang kali ini lebih ekstrem. Ada bagian yang terbenam sampai 5 meter. Sejumlah lokasi di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan kebanjiran. Sejumlah desa di Kabupaten Lebak Banten pun dilalap air, bahkan ada pula tanah longsor.
Jakarta tentu tidak bisa lolos dari sergapan banjir ini. Di Kelurahan Pinang Ranti, yang terletak di antara Halim Perdanakusumah dan TMII, muncul genangan sedalam lebih dari 3 meter. Genangan setinggi dada juga menerjang pun kawasan Cipinang, dan dalam kondisi yang lebih ringan terjadi di Kawasan Kelapa Gading, Kemang, Kampung Pulo, dan sejumlah lainnya.
Secara umum, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadinya serbuan banjir di 270 kelurahan dan desa, di Jabodetabek dan Lebak Banten, pascahujan ekstrem di malam tahun baru 2020. Jumlah warga yang terdampak ada sekitar 409 ribu orang per 2 Januari malam. Dari jumlah itu, bagian terbesar dari Kota Bekasi, yakni sekitar 366 ribu orang.
Pada hari itu, Kamis (2/2/2020), jumlah pengungsi banjir di DKI Jakarta telah jauh menyusut. Pada beberapa jam setelah genangan terjadi, ada sekitar 62 ribu warga yang mengungsi ke tempat yang lebih aman. Tapi, tak sampai 24 jam, separuhnya telah kembali ke rumah masing-masing begitu air genangan menyurut. Siang hari 2 Januari, sebagian lagi sudah meninggalkan tempat pengungsian.
Selama hari genting, pada 1 Januari 2020 itu, puluhan titik genangan muncul di antero Jakarta, menyebar di 40 kelurahan. Jakarta Barat, Selatan, dan Timur yang paling menderita. Sedangkan, genangan di Jakarta Pusat dan Utara relatif ringan.
Sampai Sabtu 4 Januari 2020, BNPB melaporkan bahwa musibah banjir itu menelan korban korban jiwa 60 orang dan dua lainnya dinyatakan hilang. Dari jumlah itu, 16 korban dari DKI, 16 dari Bogor, dan dari Kota Bekasi jatuh korban 9 jiwa. Kewaspadaan masih perlu dijaga karena musim hujan baru bergulir.
Presiden Joko Widodo sendiri telah memerintahkan kesiagaan akan ancaman cuaca ekstrem yang dapat menimbulkan bencana hidrometeorologi. Instruksi yang disampaikan persis di awal 2010 melalui BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) itu menyatakan, pertama, memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah provinsi, dan Tim SAR bergerak bersama menanggulangi banjir, dan menomorsatukan keselamatan warga. Kedua, fasiltas umum yang terdampak dinormalisasi. Ketiga, pemerintah pusat dan provinsi harus bekerja bersama-sama untuk menanggulangi banjir.
Terkait keselamatan warga itu, Kepala BNPB Letjen Doni Monardo mengharapkan, para pimpinan untuk lebih tegas dalam mengantisipasi potensi bencana. Ketika muncul ancaman kepada warga, para pimpinan daerah, dengan segala otoritasnya, hendaknya bisa memobilitasi warga di area terdampak untuk mengungsi. ‘’Harta itu penting, tapi nyawa lebih penting,’’ kata Doni Monardo.
Belajar dari pengalaman di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tahun lalu, bupati, kepala dinas, camat dan kepala desa tak segan memaksa penduduk untuk mengungsi. Alhasil kendati rumah mereka hanyut terbawa arus banjir, korban tak ada. Doni juga berharap media mainstream terus menyiarkan perkembangan cuaca, dengan mengacu data terbaru di BMKG, untuk mengingatkan masyarakat bila ada gejala cuaca ekstrem yang membawa potensi bahaya.
Penanggulangan bencana alam tentu memerlukan biaya. Maka, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta para kepala daerah untuk memanfaatkan anggaran belanja tidak terduga (BTT), yang mestinya sudah disiapkan dalam setiap tahun anggaran.
Sekiranya anggaran BTT itu tak mencukupi, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota bisa memanfaatkan dana sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa). Dengan demikian, kegiatan tanggap darurat bencana tidak harus bergantung pada bantuan pusat, baik oleh kementerian atau BNPB. Menurut Mendagri, penggunaan Silpa juga tak sulit prosedurnya. Cukup persetujuan DPRD. (P-1)