Indonesia.go.id - Gebyar Imlek di Situs Pecinan Batavia

Gebyar Imlek di Situs Pecinan Batavia

  • Administrator
  • Kamis, 23 Januari 2020 | 19:58 WIB
WARGA TIONGHOA
  Sejumlah warga berkunjung ke klenteng See Hin Kiong, Padang, Sumatera Barat, Selasa (21/1/2020). Menjelang tahun baru Imlek 2571, klenteng tertua tersebut ramai didatangi pengunjung untuk berwisata sekaligus menikmati cahaya ratusan lampion. Foto : ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/pd.

Persentase warga Tionghoa di Jakarta mencapai 5,5%. Bangka Belitung dan Kalimantan Barat memiliki porsi penduduk Tionghoa yang lebih tinggi. Namun, secara nasional populasi Tionghoa hanya 1,2%.

Semburat warna merah cabe dan kuning emas memancar ramai di sepanjang jalan. Aroma dupa pun semerbak di antara lampion dan benda-benda pajangan lainnya. Warga Kelurahan Pinangsia, Glodok, Mangga Besar, Mangga Dua, Maphar, dan sekitarnya dengan penuh suka-cita menyambut Imlek 2020, dan menyongsong Shio Tikus Logam di tahun 2571 dalam kalender Tiongkok itu.

Perayaan Imlek telah berlangsung lebih dari empat abad di Jakarta, meski sempat ada masa-masa jeda selama 22 tahun karena urusan politik.  Sejak 2000 tradisi komunitas Tionghoa itu kembali digelar. Untuk Jakarta, tak pelak lagi episentrum perayaan Imlek ada di selusin vihara tua yang tersebar di Glodok dan sekitarnya, di lingkungan Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.

Tamansari yang dikenal sebagai kawasan pecinan itu luasnya 4,4 km2, terdiri dari delapan kelurahan dengan penduduk sekitar 130.000 jiwa. Komunitas Tionghoa itu hadir di Jakarta sejak lebih dari 400 tahun lalu. Mereka telah meramaikan Pelabuhan Sunda Kelapa di akhir 1500-an, ketika kota kecil di Muara Sungai Ciliwung itu ada di bawah kendali Pangeran Jayakarta.

Pangeran Jayakarta mengizinkan para perantau Hokian itu tinggal untuk meramaikan perdagangan di bandarnya. Mereka membeli rempah terpenting saat itu, yakni cengkih, pala, dan lada dari pedagang lokal dan menjualnya di pasar regional. Pedagang itu juga membeli beras, gula aren, ikan asin, dan hasil bumi lainnya dari penduduk dan menjual kain tenun, barang logam, dan keramik.

Para pendatang dari daratan Tiongkok itu diberi kaveling di sisi timur Ciliwung, yang diperkirakan kini jadi Kelurahan Pinangsia. Kaum pribumi mukim di seberang  sungai, lokasi yang diduga sekarang menjadi Kelurahan Rao Malaka, termasuk di dalamnya Keraton Pangeran Jayakarta. Keraton itu digambarkan dibangun dari kayu yang dikelilingi pagar dari batang-batang bambu.

Kantor VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) muncul di Sunda Kelapa sekitar 1611, di atas 1,5 hektar lahan di sisi timur Muara Ciliwung. Namun tidak lama kemudian, VOC membangun benteng setinggi tujuh meter di atas lahan tersebut. Setelah benteng selesai VOC memperkuat diri secara militer, lalu menyerang Keraton Pangeran Jayakarta.

Serbuan mendadak oleh serdadu VOC yang dipimpin tokoh antagonis legendaris Jan Pieterzoon Coen  itu membuat Pangeran Jayakarta  terdesak, dan menyingkir ke pedalaman. Keratonnya dibakar habis. Pengeran Jayakarta dan pengikutnya pun bermukim di kawasan yang kini menjadi Jatinegara Kaum di Jakarta Timur, hingga wafat pada 1640.

Di bawah Jan Pieterzoon Coen, VOC pun menjadi penguasa baru. Sunda Kelapa dibangun ulang. Jan Pieterszoon Coen mendatangkan tidak kurang dari 4.000 orang Tionghoa dari Banten dan Cirebon untuk menjadi pedagang dan pekerja di Batavia. Sejumlah proyek digelar, termasuk menggali kanal yang mengelilingi loji VOC, membangun gudang, benteng, dermaga, dan menormalisasi Kali Ciliwung sampai sekitar 2 km ke arah hulu. Ruas sungai hasil normalisasi itu kini disebut Kali Baru Timur, di kawasan Kota Tua, Jakarta. Di tepi kali itu perahu-perahu dayung ditambatkan dan siap mengantar jemput barang dari kapal-kapal besar yang tak bisa merapat ke Dermaga Sunda Kelapa.

Kota Batavia semakin berkembang. Pada awal 1700-an, bangunan-bangunan baru muncul di kanan-kiri badan sungai yang sudah lurus itu. Kompleks bangunan itu dilindungi  tembok tinggi dan kanal pada sisi luarnya, hingga seperti  berada dalam benteng.  Di dalamnya berdiri kantor-kantor, rumah pegawai dan pejabat tinggi VOC, gudang, dan ada juga rumah para pedagang Tionghoa.

Pendatang baru dari China Daratan tinggal di sisi selatannya, lokasi Glodok dan sekitarnya saat ini. Di  sini pula klenteng  Kwan Im Teng, kini dikenal sebagai Vihara Dharma Bhakti, di Petak Sembilan Glodok, dibangun 1650 dan menjadi klenteng tertua di Jabodetabek.

Batavia terus berkembang, begitu pula populasi Tionghoanya. Namun berbeda dari kondisi pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, di bandar utama VOC ini warga Tionghoa tak diizinkan melakukan kontak bisnis internasional. Mereka hanya boleh menjadi pedagang pengumpul dan perantara. Tapi, sebagian besar mereka jadi tukang kayu, perajin, penjahit, atau buruh kebun tebu di Tangerang dan Bekasi.

Mengikuti perkembangan itu, dilakukan rekayasa pula terhadap Sungai Ciliwung yang sering membuat repot karena banjirnya. Di hulu, Kali Ciliwung disudet dan sebagian airnya dialirkan ke arah Ancol, dan pasokan air ke Kali Baru diambil dari Kali Krukut. Rekayasa itu dilakukan secara terus-menerus hingga menyisakan jaringan sistem tata air yang cukup rumit di Jakarta Barat dan Pusat saat ini. Para pekerja dan kontraktor Tionghoa mengambil peran penting dalam pembangunan infrastruktur air itu.

Pada 1730-an, Batavia sudah menjadi bandar yang megah dan dihuni 60 ribu jiwa. Penduduk Tionghoa sudah mencapai 15 ribu jiwa. Lima ribu di dalam benteng dan 10 ribu di luar. Ada sekitar 10 ribu lainnya di Tangerang dan Bekasi. Imigran dari daratan China terus berdatangan. Banyak di antara mereka yang tak memiliiki pekerjaan. Persoalan sosial muncul. Berbagai upaya untuk membatasi gagal. Walhasil, VOC pun berniat mengirim mereka ke Srilanka, Koloni VOC lainnya.

Namun, kebijakan itu menuai protes keras dari kalangan Tionghoa. Apalagi, ada isu bahwa orang-orang itu tak benar-benar dikirim ke Srilanka, melainkan ditenggelamkan di laut. Konflik bersenjata pecah di tahun 1740. Penguasa VOC mengerahkan pasukannya, termasuk prajurit pribumi, ikut menghadapinya. Orang-orang Tionghoa yang tinggal dalam benteng kota menjadi sasaran. Ribuan orang Tionghoa tewas dalam tragedi kekerasan selama 13 hari itu. Mereka juga terusir dari tembok kota.

Namun, Batavia terus hidup dan tumbuh. Warga Tionghoa pun bertambah termasuk, yang datang dari daratan China. Sampai awal tahun 1800-an, diperkirakan ada sekitar 60 ribu orang Tionghoa di Batavia dan sekitarnya, termasuk Tanah Abang, Jatinegara, Tangerang, dan Bekasi. Pecinan tumbuh ke timur ke Mangga Dua dan Ancol. Ke Barat ke arah Tambora, Jembatan Besi, dan Jembatan Lima. Juga ke Selatan ke arah Tanah Abang. Ketika itu penduduk di seluruh Jawa baru sekitar 6 juta jiwa.

Komunitas Tionghoa itu juga telah muncul di kota-kota Jawa seperti di Surabaya, Gresik, Tuban, Lasem, Jepara, Semarang, Kendal, Pekalongan, Cirebon, hingga ke Banten. Di sebagian kota-kota itu Komunitas Tionghoanya lebih tua dibanding yang di Jakarta. Jumlah mereka tak seberapa dibanding warga pribumi.

Pada sensus 1901, penduduk Batavia tercatat 115 ribu jiwa. Dari jumlah itu, populasi warga kulit putih (Belanda) 10 persen, warga Tionghoa 28 persen, selebihnya campuran pribumi Jawa, Sunda, Bali, Makassar, Melayu, dan generasi kesekian dari kaum mardijkers–keturunan pekerja yang diboyong ke Batavia dari koloni Portugis di Srilanka dan Malaka. Mereka bermukim dari wilayah Kota Tua (saat ini), di Glodok, Pinangsia, Mangga Besar hingga ke daerah yang saat ini menjadi  Monas dan sekitar RSPAD Gatot Subroto. Kawasan Jatinegara, Tanah Abang, Kemayoran, Pasar Minggu, Slipi tak masuk hitungan.

Perubahan demografi secara drastis terjadi di era 1945-1950 ketika penduduk Jakarta berlipat tiga kali menjadi 1,43 juta. Namun ketika itu, wilayah Jakarta sudah berlipat kali pula dibanding Batavia di awal abad. Wilayah Jakarta saat itu sudah hampir sebesar DKI saat ini.  Tak ada rincian sensus jumlah penduduk berdasar etnisitasnya.

Baru pada sensus penduduk tahun 2000 diketahui bahwa penduduk Tionghoa tercatat sebesar 460 ribu jiwa atau 5,5% dari 8,36 juta jiwa warga DKI. Persentasi warga Tionghoa DKI adalah yang terbesar ketiga setelah Provinsi Bangka-Belitung (11,54%) dan Kalimantan Barat (9,46%). Namun, secara nasional angkanya tak diketahui karena sensus etnisitas ini hanya dilakukan di 11 dari 30 provinsi yang ada saat itu.  

Dalam buku Penduduk Indonesia: Etnik dan Agama yang terbit 2003, mengacu ke hasil sensus 2000 itu Leo Suryadinata dkk membuat kalkulasi bahwa proporsi warga Tionghoa di Indonesia mencapai 1,49% untuk skenario tinggi dan 1,1% untuk skenario rendah. Kalkulasi itu tidak meleset, karena sensus tahun 2010 mengkorfirmasikan bahwa penduduk Tionghoa di Indonesia tercatat 2,83 juta atau 1,2% saja dari 236,7 juta penduduk Indonesia.

Dari segi etnisitas, yang dominan di Indonesia adalah Jawa (41%) dan Sunda (15%). Urutan selanjutnya dalam 10 besar adalah etnis Madura, Melayu, Batak, Minangkabau, Betawi, Bugis, Banten, dan Banjar. Warga Tionghoa termasuk dalam kelompok 10 besar etnis hanya di Provinsi Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Kalimantan Barat.

Dengan segala perubahan tatanan hukum, politik, sosial, dan pola pikir masyarakat sendiri, tak ada lagi kawasan pecinan baru termasuk di Jakarta. Maka, sudah banyak mengalami perubahan bentuk dan fungsi, Glodok dan sekitarnya adalah situs pecinan yang masih tersisa. Selain menjadi monumen bagi perjalanan bangsa Indonesia, situs sejarah ini bisa menjadi destinasi wisata budaya.

Ingin menonton Barongsai dan warna-warni lampion serta menghirup hawa Imlek yang paling kental? Datang saja ke Glodok-Tamansari. (P-1)