Indonesia masih bisa memacu daya saing sektor industri di tengah ketidakpastian kondisi global. Potensi ini seiring adanya peningkatan investasi dan produktivitas manufaktur sehingga berpeluang mendongkrak nilai tambah bahan baku dalam negeri dan menggenjot ekspor.
Indikator itu tersaji dari data yang dirilis United Nations Industrial Development Organization (Unido)—satu organ di bawah PBB—pada 2018. Menurut laporan itu, indikator sektor manufaktur satu negara dinilai cukup baik dan dipakai parameter negara industri bila kontribusi sektor tersebut terhadap perekonomian bisa mencapai rata-rata sekitar 17%.
Nah, dalam konteks ini, Indonesia ternyata patut bersyukur karena negara ini masih menyumbang di atas rata-rata angka tersebut. Peringkat pertama diduduki oleh Cina dengan skor 28,8%, Korea Selatan (27%), Jepang (21%), Jerman (20,6%), dan Indonesia (20,5%).
Laporan itu juga menyajikan data negara-negara dengan kontribusi industrinya yang di bawah 17%, antara lain, Meksiko, India, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Brasil, Prancis, Kanada, dan Inggris.
Artinya, sektor manufaktur Indonesia telah berada di jalan yang benar untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi bangsa ini ke depan. Bahkan, produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asean.
Data dari Kementerian Perindustrian menyebutkan, sektor industri pengolahan nonmigas menyumbang Rp2.555,8 triliun sepanjang 2018, naik 21,8% dibandingkan dengan periode 2015 yang hanya mencapai Rp2.098,1 triliun pada 2015.
Berkaca dari data tersebut, industri manufaktur Indonesia bisa dikatakan telah menunjukkan tren yang meningkat, baik dari sisi produktivitas dan perluasan usaha guna memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Tren ini dibenarkan oleh Sekjen Kementerian Perindustrian Haris Munandar. “Dari sisi manufacturing value added, industri pengolahan Indonesia, trennya terus membaik,” tuturnya di Jakarta (17/1/2019).
Namun, negara ini jangan berbangga dengan data dari organ PBB tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan peringatan agar pelaku industri manufaktur dan pemerintah harus hati-hati dalam mengakselerasi sektor tersebut.
Pasalnya, di tengah-tengah ekonomi global yang tidak menentu, neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 mengalami defisit USD8,57 miliar. Memang tak dipungkiri, mengutip data BPS, realisasi nilai ekspor tetap menunjukkan kinerja yang positif, yakni mencapai USD180,06 miliar, naik 6,65% dibandingkan periode yang sama 2017.
Kontribusi Industri Besar
Dari total nilai ekspor 2018 itu, ekspor nonmigas tercatat mencapai USD162,65 miliar, naik 6,25% dibandingkan dengan periode yang sama 2017 yang tercatat sebesar USD153,08 miliar. Bila dibedah lebih jauh, kontribusi sektor industri memberikan porsi yang terbesar, yakni 72,16%. Berikutnya sektor tambang (16,26%), migas (9,67%), dan pertanian (1,91%).
Dan, dari lima klaster komoditas ekspor yang memberikan kontribusi terhadap ekspor, industri pengolahan memberikan kontribusi ekspor sebesar USD129,93 miliar, naik 3,86% dibandingkan dengan pencapaian 2017 sebesar USD125,10 miliar.
Sayangnya, kinerja ekspor yang cukup moncer termasuk sumbangan dari sektor industri pengolahan yang sudah berada di jalur yang benar, menjadi terlihat menjadi tidak bagus.
Apa pasal? Neraca dagang tercatat defisit. Sektor manufaktur ternyata juga berkontribusi terhadap defisit tersebut, antara lain, mesin-mesin/pesawat mekanik, peralatan listrik, besi baja, plastik dan produk plastik serta kendaraan beserta bagiannya.
BPS juga memberikan diskripsi, kontribusi impor yang cukup besar diberikan oleh impor bahan baku atau penolong yang memberikan sumbangan hingga 75,01% dari total impor sepanjang 2018. Berikutnya, adanya impor barang modal yang memberikan porsi 15,88% dari total impor.
Berangkat dari data BPS itu, pemerintah dan pelaku usaha harus duduk bersama merumuskan strategi baru menyambut tahun politik 2019 bila tetap ingin berkinerja baik dan bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perekonomian nasional.
Wajar saja, Menperin Airlangga Hartarto masih tetap optimistis dan meyakini sektor manufaktur akan menjadi andalan ekspor di masa datang bagi perekonomian nasional. Indikator itu bisa terlihat dari adanya peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor.
“Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri,” tegasnya.
Selain itu, Kemenperin pun perlu terus mendorong pendalaman struktur industri di dalam negeri melalui upaya menarik investasi agar semakin meningkat, yang juga bertujuan untuk mensubstitusi produk impor.
Tidak itu saja, Kemenperin harus konsisten untuk mengawasi berjalannya kebijakan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). Apalagi, kebijakan itu juga sangat kuat karena didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri dan juga diperkuat dengan Kepres Nomor 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional P3DN.
Selanjutnya, kementerian itu juga perlu terus melakukan penguatan sumber daya manusia (SDM) industri melalui pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang link and match dengan industri, pelatihan industri berbasis kompetensi yang dikembangkan dengan sistem three in one (3 in 1), pemagangan industri, fasilitasi sertifikasi kompetensi dan pengembangan inkubator bisnis dalam rangka menciptakan wirausaha baru (startup).
Tidak itu saja, perlunya penumbuhan industri baru dalam rangka penguatan dan pendalaman struktur industri nasional di kawasan industri. Dari sisi regulasi yang selama ini telah berjalan tentu tetap harus konsisten diterapkan dengan penajaman.
Regulasi itu, seperti insentif fiskal (tax holiday, tax allowance, dan BMDTP) untuk investasi industri hulu serta substitusi impor, dan insentif nonfiskal, sehingga mengakselerasi sektor tersebut.
Harapannya, komitmen pemerintah untuk lebih memacu pengembangan industri manufaktur melalui pelaksanaan peta jalan Making Indonesia 4.0 tentu sebuah mimpi yang tidak mudah untuk dicapai.
Butuh kerja keras dan konsistensi terhadap kebijakan yang sudah diambil sehingga target menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada 2030 bisa terwujud. (F-1)