Pengalaman krisis ekonomi dunia, yang paling parah selalu menimpa industri perbankan. Krisis pada sektor perbankan pada akhirnya juga menyebabkan krisis ekonomi secara keseluruhan.
Berkaca pada kasus BLBI pada 1998, pemerintah harus menggelontorkan dana sampai Rp650 triliun untuk menyehatkan perbankan Indonesia yang terkena masalah. Pada 2004, terjadi juga krisis yang menyebabkan Bank Century kewalahan. Saat itu, pemerintah harus turun tangan lagi mencegah agar krisis perbankan yang berdampak sistemik tidak menular. Dana untuk menghalau kriris itu mencapai Rp6 triliun.
Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur soal bisnis perbankan akan menerbitkan aturan baru berupa kewajiban bayar premi kepada bank, yang dananya nanti digunakan untuk menanggulangi apabila terjadi kriris. Sehingga tidak memberatkan kantong pemerintah.
Dana itu dikumpulkan dari perbankan nasional yang besarannya dihitung dari total aset. Besaran iuran diperkirakan berkisar antara 0% sampai 0,007% dari total aset yang dimiliki bank. Sedangkan untuk BPR yang asetnya masih dibawah Rp1 triliun, dilepaskan dari kewajiban membayar premi ini alias nol persen.
Kewajiban pembayaran premi ini tidak serta-merta harus dilakukan oleh bank begitu peraturan ini dikeluarkan. Sebab, ada masa tenggang atau grace period selama tiga tahun. Dengan kata lain, baru di tahun keempat setelah aturan ini dilansir, bank-bank berkewajiban menyetorkan dana tersebut.
Menurut hitungan, apabila aturan tersebut jadi dilaksanakan, dana tersebut sesungguhnya belum mampu menutupi seluruh kebutuhan reststrukturisasi apabila terjadi krisis. Aturan ini diperlukan agar bank secara bersama-sama menjaga stabilitas perbankan nasional.
Beleid terkait premi ini sendiri kelak akan mengelompokkan bank berdasarkan jumlah aset. Kelompok dengan aset terendah yaitu BPR akan bebas premi.
Premi ini sendiri dibayarkan di luar premi penjaminan LPS sebesar 0,2% dari total dana pihak ketiga (DPK) bank yang dibayar tiap semester. Beleid ini merupakan turunan regulasi UU 9/2016 tentang Pencegahan dan Penangan Krisis Sistem Keuangan.
Ada banyak pendapat mengenai aturan baru yang sebentar lagi bakal ditetapkan ini. Penolakan datang dari pihak perbankan yang merasa aturan ini akan memberi beban tambahan kepada industri yang akhirnya menggerus keuntungan.
Salah satu alasannya adalah perhitungan beban premi berdasarkan besaran aset dianggap kurang adil. Khususnya bagi yang nonsistemik, yang biasanya memiliki cadangan modal kuat yang lebih tahan terhadap krisis. Makanya ada usulan agar besaran premi dihitung berdasarkan besaran risiko, bukan berdasarkan besaran aset.
Untuk besaran, hitungan Lembaga Penjamin Simpanan menjelaskan pada umumnya dana hasil dari pungutan premi untuk restrukturisasi perbankan mencapai dua hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika ditilik saat ini, perbankan sendiri memiliki tiga mekanisme pertahanan terhadap krisis. Pertama dari sisi permodalan bank harus memiliki kecukupan modal (current adequancy ratio) yang diatur tersendiri. Menurut data BI saat ini, rata-rata CAR perbankan mencapai 20%.
Kedua, adalah penjaminan dari lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terhadap dana masyarakat. Kita tahu setiap dana masyarakat yang disimpan di bank dijamin keberadaannya oleh LPS. Dana LPS diambil juga dari iuran pihak perbankan, dengan besaran 0,2% dari dana pihak ketiga.
Ketiga, yang sedang direncakan adalah aturan premi untuk mengantisipasi terjadinya krisis perbankan. Dananya dikumpulkan dari perbankan, dengan target tertentu. Tentu saja proses pengumpulannya tidak bisa cepat tetapi membutuhkan waktu yang cukup. Misalnya, 20 tahun. (E-1)