Dunia kini masih terus berusaha untuk menghentikan wabah virus berbahaya, Covid-19, yang telah menelan korban ribuan korban jiwa. Imbas dari virus mematikan yang pertama kali muncul dari pasar ikan Huanan yang terletak di kota Wuhan juga mengganggu pertumbuhan ekonomi, tidak hanya Tiongkok, tetapi ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Bahkan, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pun terus memantau pergerakan wabah virus itu. Tidak tanggung-tanggung, lembaga itu mengingatkan bahwa pandemi virus itu telah mengganggu ekonomi Tiongkok dan negara lainnya sehingga diprediksi menggagalkan pemulihan ekonomi global tahun ini.
Seperti dikutip dari Reuters, Rabu (19/2/2020), para menteri keuangan G20 dan gubernur bank sentral, serta IMF berencana memetakan sejumlah risiko global termasuk virus Covid-19 yang menyebar cepat tersebut dalam pertemuan di Riyadh, Arab Saudi, akhir pekan ini.
Harapan awalnya, ekonomi global bisa memulai pemulihan pada tahun ini. Namun, musibah tak dapat ditebak, wabah virus mematikan datang dari Wuhan. Sehingga kendati lembaga itu sebenarnya tetap memprediksi pada Januari, pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 3,3%, naik dari 2,9% pada 2019, pesimistis serta-merta menyergap. Pemulihan diproyeksi akan dangkal dan risiko tetap condong mengarah ke sisi buruk.
"Pemulihan bisa tergelincir oleh kenaikan tajam dalam risiko yang dipicu, misalnya, oleh eskalasi ketegangan perdagangan atau penyebaran lebih lanjut dari virus itu," sebut IMF.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia, seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, perekonomian Indonesia di awal 2020 menghadapi tantangan yang cukup berat akibat kondisi global, salah satunya dengan merebaknya virus Covid-19.
“Sektor yang terkena dampak, utamanya adalah sektor perdagangan dan pariwisata,” tambah Sri Mulyani, Rabu (19/2/2020).
Dalam satu paparan di depan publik itu, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa setiap penurunan 1% di Tiongkok akan berdampak ke Indonesia 0,3%-0,6%. Perlu diketahui, Negeri Panda itu merupakan konsumen komoditas Indonesia. CPO salah satunya. Negara tersebut juga tercatat sebagai importir terbesar kedua komoditas itu, sedangkan batu bara tercatat terbesar ketiga
“Kondisi ini membuat banyak yang memperkirakan perekonomian Tiongkok akan turun 1%-2% di tahun ini. Pelemahan ekonomi Tiongkok ini tentunya akan berdampak di berbagai negara, antara lain, Amerika Serikat dan kawasan Asia termasuk Indonesia,” tukasnya.
Tak Memberi Dampak
Pernyataan Sri Mulyani itu terkonfirmasi oleh Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. Menurut dia, merebaknya virus Covid-19 belum memberikan dampak signifikan pada sektor tambang Indonesia, terutama komoditas batu bara. Adapun saat ini sekitar 30% dari total produksi batu bara Indonesia diekspor ke Tiongkok.
“Covid-19 kalau dari sisi batu bara mungkin belum (berdampak), ini kan baru sebentar. Mungkin kalau kami lihat alasannya sebagai energi bukan komoditas untuk industri," ujar Bambang dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/2/2020).
Kendati begitu, Bambang mengakui, jika penyebaran virus tersebut tak kunjung usai maka bisa memengaruhi kinerja ekspor batu bara Indonesia. “Kalau sudah enam bulan baru kelihatan. Saya enggak tahu selesai kapan (virusnya). Kita lihat nanti," kata Bambang.
Sejauh ini, memang belum ada satu perusahaan pun yang mengadu atas terganggunya kegiatan perdagangan Indonesia-Tiongkok di sektor mineral. “Perusahaan belum ada yang datang ke kami untuk mengurangi produksi atau ekspor ke Tiongkok," ucap dia.
Masih adanya optimitis dari semua pemangku kepentingan pemegang komoditas unggulan itu membuat Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu masih belum akan melakukan perubahan terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, sebesar 5,3%.
Pasalnya, dia meyakini pemerintah Tiongkok akan melakukan kebijakan-kebijakan yang mengantisipasi pelambatan ekonomi. "Pemerintah RRT akan countercylical. Pemerintah negara itu cukup efektif melakukan kebijakan ini," ucapnya.
Berbeda dengan Sri Mulyani, Bank Indonesia perlu merevisi proyeksi pertumbuhan 2020. Semula BI memberikan perkiraan di kisaran 5,1%-5,5%. Dengan adanya wabah direvisi menjadi 5%-5,4% sembari berharap terjadi pemulihan bertahap pada 2021 menjadi 5,2%-5,6%.
Sebaliknya, sikap yang lebih moderat dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga itu melihat dampak penyebaran virus Covid-19 terhadap perdagangan Indonesia baru akan terlihat pada Februari 2020. Sementara itu, di awal tahun ini, BPS melihat dampaknya masih tidak terlalu besar terhadap kinerja perdagangan Indonesia.
"Data yang disajikan oleh BPS adalah data secara bulanan. Jadi akumulasi di bulan Januari. Sementara itu, dampak Covid-19 baru terlihat di seminggu terakhir di Januari. Jadi, secara keseluruhan tidak ada pengaruh signifikan," jelas Kepala BPS Suhariyanto pada Senin (17/2/2020) di Jakarta.
Meski begitu, menurut data BPS, ekspor Indonesia ke Negara Tirai Bambu tersebut tercatat mengalami penurunan sebesar USD211,9 juta secara bulanan. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan adalah bijih, terak (ampas leburan logam), dan abu logam yang turun 75,81% mom (bulan per bulan), lemak hewan nabati yang turun 65,58% mom, serta bahan kimia organik yang turun 28,27% mom.
Selain ekspor, BPS juga mencatat adanya penurunan impor dari Tiongkok sebesar USD125,2 juta. Penurunan terbesar impor terjadi pada golongan barang mesin dan peralatan mekanis sebesar 11,24% mom dan besi dan baja yang turun 10,97% mom.
Menurut catatan BPS, nilai ekspor Indonesia sepanjang 2019 turun 6,94% menjadi sebesar USD167,53 miliar dari nilai ekspor pada 2018 yang sebesar USD190,01 miliar. Sektor yang alami penurunan antara lain, ekspor migas 2019 turun 27% dibandingkan 2018, ekspor industri pengolahan turun 2,7%, dan ekspor tambang dan lainnya turun 15%.
Terlepas dari gambaran data yang disampaikan BPS itu, penanggung jawab perdagangan, Mendag Agus Suparmanto, lebih menyakinkan dengan menilai bahwa virus Covid-19 tersebut tidak berpengaruh terhadap nilai ekspor Indonesia. Namun, ada satu hal yang memperlambat kegiatan perdagangan ekspor dan impor, yakni pergerakan orang yang ada di Tiongkok.
Pasalnya, di Tiongkok aktivitasnya mulai dibatasi ruang geraknya. Ditambah lagi ada pembatasan melakukan perjalanan ke negara lain. Tiongkok merupakan negara pemasok terbesar ke Indonesia untuk bahan baku.
"Memang dengan adanya virus ini, kita antisipasi. Memang pada dasarnya, barang itu tidak akan terpengaruh terhadap ekspor. Hanya pergerakan orang ini yang mempengaruhi ruang gerak berusaha, ini yang memperlambat," katanya pada acara Trade Tourism & Investment Business Forum di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
"Jadi, mereka bukan berkurang juga, tapi memperlambat. Artinya, sekarang ruang gerak di sana lagi dibatasi, otomatis dengan pembatasan ini konsumsinya juga berkurang," lanjut Agus.
Adanya kondisi itu harus menjadikan semua pemangku kepentingan untuk bergandengan tangan menyatukan langkah dan menangkapnya sebagai peluang untuk memperbaiki neraca perdagangan Indonesia.
Dan, caranya adalah lebih menggenjot ekspor ke negara lain selain Tiongkok sebagai substitusi pasar. Selama ini, pangsa pasar ekspor utama Indonesia adalah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Kemudian disusul India, Singapura, dan Malaysia.
Harapannya, pemerintah terus mendorong intra perdagangan di dalam negeri dengan memperkuat konsumsi selain pemberian insentif fiskal untuk tetap menjaga pertumbuhan sebagai cara untuk tetap bisa bertahan dari kondisi yang tidak bersahabat ini.
Penulis : Firman Hidranto
Editor bahasa : Ratna Nuraini