Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi, pada 22--23 Februari 2020, para panelis yang mewakili beberapa negara menyampaikan optimistisnya bahwa konsensus global dapat dicapai pada 2020. Pasalnya jika tidak, masing-masing negara dikhawatirkan akan mengambil pendekatan unilateral yang justru bakal membahayakan sistem perpajakan internasional.
Berkaitan dengan pemajakan terhadap industri digital, laporan Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan beberapa negara telah menerapkan pemajakan terhadap industri digital yang berbisnis di wilayah mereka. Setidaknya ada 50 negara yang sudah menerapkan pemungutan pajak industri digital tersebut.
Dalam dokumen OECD Secretary General Tax Report to G20 Finance Minister and Central Bank Governor Februari 2020, yang dipublikasikan akhir pekan lalu menyebutkan adanya kemajuan yang signifikan dalam implementasi pemajakan digital yang direkomendasikan OECD khususnya untuk pengumpulan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). OECD ingin ada pemajakan yang efektif untuk perdagangan online, setelah Laporan Aksi 1 BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) 2015.
Sebagai tambahan mendukung penerapan standar pemajakan digital OECD telah mengembangkan panduan yang berfokus pada pelaporan dan kewajiban pengumpulan PPN untuk pasar e-commerce dan platform digital lainnya.
Hasilnya, saat ini sudah lebih dari 50 negara di seluruh dunia yang menerapkan standar ini, dengan hasil yang sangat positif untuk meningkatkan kepatuhan dan mengumpulkan pendapatan tambahan.
Misalnya, Uni Eropa melaporkan adanya pertumbuhan pendapatan PPN dari pajak digital yang semula sebesar EUR 3 miliar pada 2015 naik menjadi lebih dari EUR 4,5 miliar pada 2018.
Sementara itu, Australia juga melaporkan pendapatan pajak baru dari transaksi online sesuai standar OECD sebesar AUD 728 juta pada dua tahun pertama. Angka ini jauh di atas target awal yang cuma sebesar AUD 348 juta tahun di pertama.
Adapun Afrika Selatan telah mengumpulkan ZAR 3 miliar, sekitar USD210 juta, dalam lima tahun pertama sejak diperkenalkannya standar OECD pada penjualan layanan dan produk digital online.
Negara-negara lain yang telah menerapkan pajak digital, di antaranya, adalah Prancis dengan sebutan Digital Service Tax tarifnya 3% dan basis pajak berdasarkan pada nilai transaksi. Italia menyebutnya dengan Digital Service Tax dan tarif sebesar 3% dari nilai transaksi.
Begitu juga dengan Austria dan Spanyol menyebut pajak digital ini dengan nama Digital Service Tax dan tarif lebih tinggi yakni 5% dari nilai transaksi. Namun, Spanyol hanya mengenakan tarif hanya 3% dari nilai transaksi. Khusus di Asia, salah satunya adalah India yang mengenakan tarif pajak digital dengan nama Equalisation Levy. India mengenakan tarif sebesar 6% dari nilai transaksi.
Negara-negara yang tergabung di G20 memang belum mencapai kesepakatan berkaitan dengan penerapan pajak lintas batas itu. Namun, mereka berharap bisa mencapai konsensus minimum berkaitan dengan perpajakan digital di akhir tahun ini.
Pertanyaannya, apakah adanya wabah Covid-19 yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan mengakibatkan lumpuhnya ekonomi dunia bisa tetap mempermulus rencana pemajakan bagi raksasa digital ekonomi dunia? Semoga saja kebijakan itu tetap jadi konsensus dunia dan tetap jalan.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Ratna Nuraini