Indonesia.go.id - Berlomba Melawan Virus Corona

Berlomba Melawan Virus Corona

  • Administrator
  • Senin, 6 April 2020 | 19:32 WIB
COVID-19
  Pekerja memberikan label vaksin di Laboratorium Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020). Bio Farma memastikan stok vaksin untuk menjaga daya tahan tubuh dari ancaman virus influenza di tengah ancaman penyebaran virus corona jenis baru (Covid-19) dalam keadaan mencukupi. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Peneliti di sejumlah negara berlomba membuat vaksin antivirus corona. Vaksin yang mujarab diharapkan bisa ditemukan sebelum virus memakan lebih banyak korban.

Tanpa berpikir panjang, Jennifer Haller (43 tahun) langsung mendaftar saat sebuah lembaga penelitian mencari relawan untuk dijadikan kelinci percobaan pengembangan antivirus. Setelah membaca surat pernyataan persetujuan 45 halaman, wanita yang tinggal di Seattle, Amerika Serikat ini menyanggupi.

Haller lantas memberitahukan niatnya ke anak-anaknya. Anak-anaknya bilang, "Ibu keren." Didukung kedua anaknya, Haller tambah semangat.

Haller memang tak sendiri. Ada 44 relawan lain yang bersedia menjadi kelinci percobaan fase I pengujian vaksin antivirus corona ini. Ke-45 relawan ini akan menjalani uji coba secara bertahap.

Dari 45 orang itu, Haller tercatat sebagai orang yang pertama mengacungkan jarinya. Peneliti memberitahu, ia bersama beberapa relawan akan menjalani uji coba pada Senin (16/3/2020). Haller mengangguk, menyanggupi.

Haller sadar, menjadi kelinci percobaan vaksin anti-corona yang dikembangkan National Institutes of Health (NIH) bersama Moderna Inc Amerika Serikat ini punya risiko. Sebab uji coba ini tergolong tak biasa.

Vaksin biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan dan dijual ke pasar. Pada tahap uji praklinis, biasanya peneliti mengujicobakan terlebih dulu ke hewan untuk memastikan vaksin itu tidak hanya efektif, tetapi juga aman.

Namun para peneliti harus berkejaran dengan kecepatan virus yang sudah menyebar ke 158 negara, menginfeksi 173.047 orang, dan merenggut 6.664 orang hingga Senin (16/3/2020). Kerja cepat dibutuhkan. Mereka memangkas prosedur yang biasa dilakukan di dunia penelitian.

Niat Haller sungguh mulia. "Ini yang bisa saya lakukan dan saya ingin melakukannya," kata ibu dua anak ini seperti dilansir npr.org, Sabtu (21/3/2020).

"Ada begitu banyak orang Amerika yang tidak seberuntung saya. Mereka kehilangan pekerjaan. Mereka khawatir membayar tagihan, memberi makan keluarganya." Wanita yang bekerja di perusahaan teknologi di Amerika Serikat ini hanya berpikir bagaimana jutaan umat manusia terselamatkan dari serangan virus corona yang sudah melanda dunia.

Tiba pada hari uji coba yang telah ditentukan, Haller datang ke Lembaga Penelitian Kesehatan Kaiser Permanente Washington (KPWHRI) Seattle untuk divaksin.

Hari itu ibu dua anak ini menjalani uji coba bersama tiga relawan lainnya. Ia terlihat riang saat akan menjalani uji coba itu. Duduk di kasur yang ada di ruang pemeriksaan, ia terlihat santai. Petugas medis sempat menanyakan namanya sebelum ia menyuntikkan vaksin ke lengan Haller.

Vaksin yang disuntikkan ke Haller dan relawan itu dikembangkan dalam waktu pendek. Mereka tidak menggunakan virus yang hidup atau melemah.

 

Rekayasa Genetik

Kepala petugas medis Moderna Inc Tal Zaks mengatakan, mereka melakukan rekayasa genetika. Artinya, antivirus yang dikembangkan itu dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang dirangkai dari informasi digital. "Kami tidak perlu memiliki virus fisik, hanya informasinya," ujarnya.

Menurut Zaks, para peneliti menciptakan molekul RNA sintetik sejak awal Januari lalu setelah virus yang pertama kali menginfeksi warga Wuhan, Hubei, Tiongkok, teridentifikasi. Partikel sintesis yang mereka susun itu diharapkan mampu memproduksi antibodi terhadap virus corona. Vaksin itu mereka namai mRNA-1273.

Zaks mengatakan, 45 peserta akan berpartisipasi dalam percobaan, masing-masing pada tiga tingkat dosis yang berbeda. Relawan dalam uji coba vaksin buatan NIH-Moderna akan menerima jadwal vaksinasi dalam dua dosis, 28 hari terpisah.

Semua peserta akan dipantau selama 14 bulan. Mereka juga diminta untuk mencatat suhu tubuhnya dan perubahan apa saja yang terjadi pada tubuhnya setiap hari.

Para relawan juga akan di tes darahnya secara rutin. Tes darah akan melihat apakah vaksin mengaktifkan sistem kekebalan mereka. Peserta dalam penelitian ini akan menerima 100 dolar AS untuk setiap kunjungan laboratorium dengan total 1.100 dolar AS.

Apabila uji coba vaksin pada manusia ini berhasil, pejabat kesehatan masyarakat di AS memprediksi vaksin ini baru akan siap dipakai untuk umum selama setidaknya 18 bulan lagi.

Riset NIH-Moderna ini hanya salah satu dari beberapa riset yang dilakukan lembaga untuk menemukan vaksin yang bisa menangkal virus corona. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), saat ini ada 20 vaksin yang mencoba dikembangkan.

Tiongkok, tempat awal virus ini mewabah juga tengah mengembangkan vaksin penangkal corona. Vaksin ini dikembangkan Akademi Ilmu Kedokteran Militer bersama CanSino Biologics. Tidak seperti yang dilakukan NIH-Moderna, para ilmuwan Tiongkok pertama-tama melakukan uji coba praklinis pada hewan pada, Minggu (22/3/2020). Uji coba pada hewan menunjukkan gejala baik.

Selanjutnya, pada fase 1 mereka mengujicobakan kepada 108 relawan berusia 18-60 tahun. Uji coba dilakukan di Rumah Sakit Tongji, Wuhan. Uji coba diperkirakan bakal rampung pada Desember mendatang.

Di luar Amerika dan Tiongkok, negara lain juga tengah mengembangkan vaksin corona ini. Pengembangan vaksin ini dilakukan berkat upaya Tiongkok yang berhasil mengurutkan kode genetik Covid-19 dan membagikannya ke seluruh dunia pada Januari lalu.

Kode genetis itu menjadi bahan bagi para peneliti untuk mengetahui perilaku virus dalam sel tubuh manusia. Setelah urutan genetis itu dibagikan ke seluruh dunia, lembaga riset dan farmasi sejumlah negara berlomba untuk mengembangkan vaksin ini.

"Ini kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya," Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan WHO.

Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Chairul Anwar Nidom ikut bersuara. Kata Nidom, infeksi virus corona bisa ditangkal dengan zat curcumin.

Curcumin adalah zat yang terkandung pada empon-empon yang kerap digunakan untuk memasak, seperti jahe, temulawak, kunyit, sereh, dan lain-lain.

Keyakinan itu ia dapat setelah dirinya mempelajari jurnal-jurnal ilmiah dari para dokter dan peneliti di Tiongkok yang telah menangani kasus infeksi Covid-19.

Berbekal keyakinan itu, Nidom yang pernah mengepalai proyek riset flu burung pada 2010 ini mengklaim tengah mengembangkan vaksin penangkal corona. Melalui lembaga Profesor Nidom Foundation (PNF), mereka menggunakan formulasi obat dari curcumin itu.

Formulasi yang dibuat hampir sama dengan formulasi yang pernah dibuat untuk melawan virus flu burung (H5N1). Namun untuk merumuskan formulasi itu, ia membutuhkan sampel dari pasien yang positif terinfeksi virus corona.

Sayang, sampai saat ini ia mengaku belum bisa mendapat virus dari pasien positif corona. "Platform riset ini sebetulnya sudah pernah kami lakukan terhadap virus atau infeksi flu burung beberapa tahun lalu,” kata Nidom.

Sejumlah pakar dari pelbagai negara tengah ditantang untuk bisa menciptakan vaksin yang benar-benar ampuh menangkal corona. Seperti terlihat dalam KTT G20 akhir Maret lalu. Negara yang tergabung dalam G20 bersepakat untuk mengumpulkan dana sebesar USD4 miliar atau Rp64 triliun. Dana itu akan digunakan untuk membiayai pengembangan dan riset vaksin virus corona. Corona memang telah menjadi musuh bersama.

 

Penulis: Fajar WH
Editor: FH
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini