Indonesia mengajak negara G20 menjadi bagian dari solusi bagi ketersediaan vaksin, obat, dan alat kesehatan. Dukungan keuangan diperlukan untuk membangun arsitektur kesehatan global.
Pandemi global perlu dihadapi masyarakat dunia secara bersama-sama. Krisis kesehatan dunia akan sulit dikendalikan tanpa kerja sama. Pesan itu menjadi butir utama pidato Presiden Joko Widodo di depan forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Lanuvola, Roma, Italia, Sabtu, 30 Oktober 2021, yang mengusung isu pemulihan ekonomi dan sistem kesehatan global.
“Demi membangun dunia yang lebih tahan terhadap serangan pandemi dan berbagai guncangan ke depan, Indonesia mengajak semuanya untuk memperkuat arsitektur kesehatan secara global,” ujar Presiden Joko Widodo, yang pada kesempatan tersebut didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Co-Sherpa Kementerian Luar Negeri Dian Triansyah Djani.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden Jokowi menjelaskan, pertama mekanisme penggalangan sumber daya kesehatan global harus disusun bersama-sama. Hal tersebut mencakup dana, vaksin, obat, alat kesehatan, hingga tenaga kesehatan, yang siap diterjunkan setiap saat untuk membantu negara yang mengalami krisis kesehatan.
“IMF sudah memberikan contoh tentang bagaimana penggalangan sumber daya keuangan global untuk membantu negara yang mengalami krisis keuangan,” kata Presiden Jokowi merujuk ke Dana Moneter Internasional yang siaga membantu negara anggotanya yang mengalami krisis keuangan. Presiden Jokowi juga menyebut bahwa dukungan keuangan internasional untuk isu kesehatan dan perubahan iklim sangat penting artinya.
Kedua, Presiden Jokowi menyerukan semua pemimpin negara yang hadir dalam KTT tersebut untuk menyusun standar protokol kesehatan (prokes) global, terkait dengan aktivitas dan mobilitas lintas negara, termasuk di antaranya protokol kesehatan perjalanan antarnegara.
Ketiga, G20 harus menjadi bagian penting dari solusi untuk mengatasi kelangkaan dan kesenjangan vaksin, obat-obatan, dan alat-alat kesehatan esensial. Presiden Jokowi menyebut bahwa G20 harus mendukung diversifikasi produksi dan alih teknologi ke negara berkembang, seraya mengeliminasi hambatan perdagangan bahan baku vaksin, mendukung penetapkan standar minimal atas regulasi hak kekayaan intelektual (TRIPS Waive), dan mendorong pemerataan dosis vaksin melalui inisiatif institusi lintas lembaga dan negara, seperti pada COVAX Facility.
“Proses penataan ulang arsitektur ketahanan kesehatan global ini harus berlangsung inklusif, serta berpegang teguh pada prinsip solidaritas, keadilan, transparansi, dan kesetaraan,” kata Presiden RI.
Selain isu ketahanan kesehatan dunia, Presiden Jokowi juga mendorong para pemimpin G20 untuk mempercepat pemulihan ekonomi global yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Menurutnya, G20 perlu tampil menjadi katalis bagi koordinasi menuju ke normalisasi kebijakan ekonomi, setelah selama dalam dua tahun ini dunia menjalankan kebijakan extraordinary di bidang fiskal, moneter, dan sektor keuangan.
G20 juga diharapkannya bisa menjadi katalis bagi dukungan likuiditas dan restrukturisasi utang bagi negara miskin. Presiden Jokowi juga mendorong G20 berperan dalam reaktivasi konektivitas global, khususnya pada sektor yang mengandalkan pergerakan manusia dan barang, seperti pariwisata dan manufaktur. Dorongan itu diperlukan bagi negara berkembang, termasuk di dalamnya inovasi serta teknologi yang ramah lingkungan.
“Kerja sama inovasi, teknologi digital, teknologi hijau serta peningkatan investasi bagi pertumbuhan yang inklusif,berkelanjutan, dan dukungan kemitraan global dalam kaitan pembangunan di negara berkembang,” Presiden Jokowi menandaskan.
Grup Negara dengan GDP Tertinggi
KTT G20 selama ini dikenal sebagai event yang berpengaruh terhadap situasi perekonomian global. Anggota G20 adalah 20 negara dengan gross domestic product (GDP) yang terbesar di dunia. Dalam deretan G20, Indonesia ada di peringkat 16, di atas Arab Saudi, Turki, Argentina, dan Afika Selatan.
G20 dibentuk 1999 sebagai respons atas krisis moneter yang melanda dunia, dengan akibat yang parah di Asia Tenggara dan Timur. Awalnya hanya dimaksudnya untuk memperbaiki arsitektur keuangan global, dalam perjalanannya G20 merespons hampir semua isu global. Forum G20 itu juga dianggap sebagai pelengkap dan penyeimbang dari G7 dan G8 yang lebih dulu ada.
Setiap tahun G20 menggelar KTT. Pada KTT 2021 ini semua kepala negara dari seluruh anggotanya hadir di Roma, karena event ini dianggap penting setelah hampir dua tahun dunia kesulitan akibat terjangan pandemi Covid-19. Semuanya memerlukan pemulihan dan jaminan bahwa pandemi lebih terkendali di masa mendatang.
Negara anggota grup 20 negara itu secara bergiliran memimpin. Negara yang memegang presidensi menggelar KTT di negaranya saat masa presidensinya berakhir, seperti yang dilakukan Italia dengan KTT G20 di Roma ini. Indonesia akan menerima tugas presidensi itu untuk setahun berikutnya yakni November 2021 hingga November 2022. Sebelumnya, presidensi ada di tangan Arab Saudi (2019 – 2020), Italia (2020-2021), Indonesia (2021-2022), lantas berlanjut ke India (2022-2023). Indonesia sendiri telah merencanakan menggelar KTT 2022 di Bali, November tahun depan.
Tidak mengherankan bila G20 punya pengaruh besar secara global. Grup 20 negara itu mewakili 60 persen penduduk planet bumi, menghasilkan 85 persen dari GDP dunia, dan menangani 80 persen dari perdagangan global. Toh, dalam membangun kesepakatan, G20 masih tetap mengedepankan pendekatan ekonomi dan keuangan. Keputusan G20 itu secara hukum juga tidak mengikat.
Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia berpeluang menyalip Meksiko, Australia, dan Brazil yang hanya selapis di atasnya dalam peringkat GDP di G20. Ada pun Afrika Selatan dimasukkan ke dalam G20 untuk mewakili kawasan Afrika, meski dari GDP-nya jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Kehadiran Afsel diperlukan untuk membangun perspektif global.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari