Indonesia.go.id - Mata Uang Digital, Isu Hangat di Finance Track G20

Mata Uang Digital, Isu Hangat di Finance Track G20

  • Administrator
  • Selasa, 7 Desember 2021 | 17:10 WIB
G20
  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kemenkeu
Isu mata uang digital akan banyak diangkat dan mendapat dukungan dari banyak negara.

Central Bank Digital Currency (CBDC) menjadi salah satu isu dari enam prioritas dalam pembahasan finance track di Presidensi G20 Indonesia. Seperti pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, melalui agenda finance track, Indonesia sebagai Presidensi G20 akan memproyeksikan masalah keuangan atau lingkungan pada 2022. “Pastinya itu sangat menantang.”

Terdapat enam agenda prioritas yang diangkat dalam agenda finance track Presidensi G20 Indonesia. Pertama, exit strategi untuk mendukung pemulihan. Kedua, mengatasi dampak pandemi untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan.

Ketiga, sistem pembayaran di era digital yang ditangani oleh Bank Indonesia.

Keempat, keuangan berkelanjutan di mana forum diskusi akan fokus pada tujuan keberlanjutan dan pembiayaan perubahan iklim yang kredibel dan menciptakan keadilan bagi semua negara.

Kelima, inklusi keuangan. Menkeu mengungkapkan, agenda ini akan mengeluarkan inklusi keuangan terutama terkait peran teknologi digital dan peluang untuk meningkatkan akses bagi UMKM dalam hal pembiayaan dan pemasaran.

Keenam, masalah perpajakan internasional. Di isu ini, G20 akan membahas paket pajak internasional dan menciptakan kepastian rezim pajak, transparansi, dan pembangunan.

“CBDC menjadi isu yang banyak diangkat dan mendapat dukungan banyak negara untuk Indonesia sebagai isu prioritas,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo dalam satu webinar, Senin (6/12/2021).

Dody menjelaskan, pembahasan akan difokuskan pada dua hal. Pertama, bagaimana signifikansi dampak CBDC terhadap makro ekonomi, moneter, dan sektor keuangan.

BI memandang, terdapat sejumlah risiko dari penerbitan CBDC, salah satunya pada efektivitas kebijakan baik di sisi moneter maupun keuangan. Hal itu karena penerbitan CBDC akan mengakibatkan aliran uang yang beredar di masyarakat akan menjadi sangat cepat.

Di samping itu, CBDC juga diperkirakan akan berpengaruh pada permintaan dan konsumsi masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada inflasi dan stabilitas sektor keuangan.

 

Pengendalian Modal

Dody menambahkan, mata uang digital ini pun dikhawatirkan akan berpengaruh pada efektivitas pengendalian aliran modal. “Jika tekanan pada nilai tukar sangat tinggi, terpaksa BI harus CFM atau capital flow management, tapi jika aliran dana modal melalui digital currency tanpa ada tekanan ke nilai tukar pun sudah menyulitkan bank sentral,” jelasnya.

Kedua, pembahasan akan difokuskan yaitu terkait dengan operasional atau teknis dari penerbitan CBDC. “Kita melihat bagaimana desain CBDC, bagaimana platform dan sisi bisnis proses CBDC, jadi konteks operasional yang akan coba kita angkat,” kata Dody.

Deputi Gubernur BI menekankan, sangat penting untuk mengangkat kembali pembahasan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency secara lebih serius saat Presidensi G20 Indonesia pada 2022.

Sebab, akan ada beberapa risiko yang berdampak serius terhadap makro ekonomi jika tidak diantisipasi, dan isu ini juga akan banyak diangkat serta mendapat dukungan dari berbagai negara lain yang akan turut hadir. “Mata uang digital ini menjadi isu yang banyak diangkat dan dapat dukungan dari banyak negara. Untuk Indonesia sebagai prioritas,” tutur Dody.

Selain itu, dia juga memperingatkan, risiko utama jika tidak diantisipasinya keberadaan mata uang digital, termasuk keharusan adanya rupiah digital, adalah tidak terdatanya dengan baik aliran uang yang berada di masyarakat. Tak dipungkiri, negara-negara yang tergabung ke dalam G20 harus terus melakukan monitor yang kuat.

Tanpa melakukan monitor, akan sulit melihat pergerakannya, karena aliran uang sangat cepat. Bila aliran uang itu tidak terdata dengan baik, maka dipastikannya akan sangat berpengaruh terhadap pola permintaan atau konsumsi masyarakat, khususnya berkaitan dengan inflasi.

Di sisi lain, banyak negara dengan mata uang digital ini juga telah berpengaruh terhadap efektivitas pengendalian aliran modal, khususnya yang berkaitan dengan capital flows management. “Kalau tekanan kepada nilai tukar itu sangat-sangat tinggi, terpaksa harus CFM. Tapi kalau aliran dana modalnya itu melalui digital currency tanpa ada tekanan ke nilai tukar pun sudah menyulitkan bank sentral,” jelas Dody.

Maka dari itu, Doddy menekankan, selama Presidensi G20 pada 2022, BI bersama dengan otoritas lainnya akan menekankan pentingnya pembahasan CBDC. Tujuannya, agar lebih konkret.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai, momen Indonesia sebagai Presidensi G20 merupakan kesempatan pertama dan momen yang sangat bersejarah. Hal itu berarti Indonesia dipandang menjadi negara yang sangat strategis di dunia.

Menjadi anggota G20 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam 20 negara paling besar perekonomiannya di dunia, di mana Indonesia berada di nomor 16. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi global, bersama Tiongkok dan India.

Untuk itu, Presidensi G20 menunjukkan tingkat resiliensi dan daya tahan Indonesia di tengah pandemi, sekaligus mempromosikan komitmen dan potensi Indonesia dalam mempraktekkan kepemimpinan global.

“Inilah modal pertama kita yang jelas dilihat oleh banyak negara dan kita juga sadar akan keunggulan kita tersebut. Jadi kita memang dalam posisi confidence, dalam posisi ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari leader global ini,” ungkap Febrio dalam satu Webinar yang sama, Senin (6/12/2021).

Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Presidensi G20 Indonesia memberi pesan yang sangat dalam bagi global agar bersama-sama dapat pulih dari pandemi. Terdapat tiga hal utama yang akan dibahas dalam kegiatan tersebut.

Pertama, kesehatan. Melalui Presidensi Indonesia, agenda kesehatan akan memastikan vaksinasi seluruh dunia akan merata. Febrio menyatakan, pemulihan ekonomi tidak akan mungkin terjadi bila vaksinasi antara satu negara dan lainnya berbeda.

“Katakanlah vaksinasinya ini sudah cukup satu negara, di Afrika tidak cukup, lahir varian baru seperti sekarang Omicron. Jadi tidak mungkin kita tidak recover together. Inilah pesan yang harus kita dorong supaya semua negara melihat ini berarti vaksin harus merata,” jelas Febrio.

Selain itu, dalam agenda kesehatan Presidensi Indonesia menginginkan adanya kesiapan global terhadap pandemi. Akan disepakati mekanisme bersama supaya pandemi dapat terdeteksi sehingga tidak akan menimbulkan dampak kepada manusia dan perekonomian yang besar.

Kedua, perubahan iklim. Dalam presidensi akan dikoordinasikan pembiayaan perubahan iklim untuk mencegah kenaikan suhu global 1,5 hingga 2 derajat celcius, karena ini merupakan barang publik yang harus sama-sama dijaga.

Ketiga, perpajakan internasional. Untuk perpajakan internasional telah ada hasil dari G20 dan OECD yang telah disepakati saat Presidensi Itali yaitu Pilar Satu dan Pilar Dua.

Pilar Satu terkait kesepakatan bahwa negara pasar dari perusahaan multinasional walaupun tidak memiliki badan usaha tetap memiliki hak untuk menarik pajak perusahaan tersebut. Pilar Dua terkait minimum tax rate global untuk mengatasi penghindaran pajak dan memperbaiki tax base.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari