Pertemuan G20 sangat penting bagi pemulihan ekonomi dunia dari dampak pandemi Covid-19 yang telah bersemayam di berbagai negara selama dua tahun terakhir.
Sejumlah pertemuan, sebelum menuju pertemuan puncak pemimpin dunia yang tergabung ke dalam G20 tahun depan, sudah mulai digelar. Pada Kamis-Jumat, 9-10 Desember 2021, berlangsung kick off pertemuan Finance and Central Bank Deputies (FCBD) dalam rangkaian Presidensi G20 Indonesia dalam bentuk high level seminar di Nusa Dua, Bali.
Seminar itu dipimpin moderator Perry Warjiyo, Ketua II Finance Track G20 Indonesia sekaligus Gubernur Bank Indonesia. Hadir sebagai pembicara, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati merangkap ketua I Finance Track, Menteri Keuangan Itali Daniele Franco, dan Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman.
Selain ketiga menteri keuangan itu, pembahasan tersebut juga menghadirkan panelis sejumlah lembaga internasional, yakni dari International Monetary Fund (IMF), Financial Stability Board (FSB), dan World Health Organization (WHO).
Sri Mulyani memulai high level discussion dengan ucapan selamat datang yang cukup menarik bagi ratusan peserta diskusi. Acara itu sendiri berlangsung secara hibrida (online dan offline). "Saya ingin menyambut kalian semua di Bali, khususnya yang dari luar negeri. Jadi selamat datang di Indonesia. Selamat datang di Bali," ujarnya lantang, sembari menebar senyum saat berjalan ke arah panggung.
Sejurus kemudian, Menkeu Sri Mulyani pun menyampaikan kepada para delegasi informasi penting tentang Bali. “Bali adalah lokasi yang aman. Sebab merupakan Pulau Dewata atau Land of God,” tandasnya.
Informasi itu disampaikan Menkeu Sri Mulyani mengingat pandemi masih menjadi ancaman bagi warga dunia. "Kalian aman di sini. Bali adalah Land of God. Jadi jangan cemas. Sebagai host, kami sangat happy," tegas Menkeu Sri Mulyani.
Pada kesempatan itu Menkeu Sri Mulyani juga menekankan pentingnya pertemuan G20 bagi pemulihan ekonomi dunia yang terdampak pandemi Covid-19. Kini, dunia memang masih diliputi ketidakpastian yang tinggi akibat pandemi.
Pemulihan yang ada tidak terjadi secara merata, antara negara maju dan berkembang yang masih berusaha untuk pulih dari pandemi karena akses vaksin yang masih terbatas. Menguatnya kinerja ekonomi global, khususnya negara maju, yang diikuti dengan naiknya tekanan inflasi juga mendorong perubahan kebijakan yang lebih ketat (tapering) sehingga pemulihan yang tidak merata berpotensi semakin parah.
Menkeu Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa pandemi yang berkepanjangan akan menimbulkan scarring effect. Exit strategy yang tepat dan upaya mengatasi masalah scarring effect menjadi prasyarat pemulihan yang berkelanjutan.
Oleh sebab itulah, agenda utama Presidensi G20 Indonesia sebagaimana arahan Presiden RI Joko Widodo mengerucut pada tiga bidang. Pertama, kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi digital. Dan ketiga, transisi energi.
Selain mewujudkan vaksinasi yang merata, Presidensi G20 Indonesia diharapkan sukses dalam mempercepat digitalisasi dan mengarahkan koordinasi kebijakan global terkait pembiayaan perubahan iklim.
Indonesia bertekad untuk mengatasi tantangan global yang masih akan muncul dan mencari solusi terbaik, memastikan bahwa semua negara dapat pulih bersama, serta mendorong reformasi kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif pascapandemi.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa pertemuan awal itu berperan penting dalam memastikan keberlanjutan kepemimpinan G20 dalam mendukung pemulihan ekonomi global. “Baik itu dalam jangka pendek maupun panjang, sejalan dengan tema “Recover Together, Recover Stronger".
Normalisasi Kebijakan
Selanjutnya, Perry menambahkan, agenda prioritas finance track dalam Presidensi G20 relevan dengan tugas BI. Antara lain, kerja sama internasional dalam normalisasi kebijakan moneter, penerapan regulasi di sektor keuangan yang harus memperhatikan kesiapan sektor keuangan, dan digitalisasi sistem pembayaran, termasuk Central Bank Digital Currency (CBDC).
Dalam Presidensi G20 Indonesia akan melanjutkan beberapa legacy issues, di antaranya, mengintegrasikan risiko pandemi dan iklim dalam pemantauan risiko global. Lalu, penguatan global financial safety net (GFSN).
Selanjutnya, meningkatkan Arus Modal, melanjutkan inisiatif kesenjangan data (data gap initiatives), meningkatkan reformasi regulasi sektor keuangan, memperkuat pengelolaan dan transparansi utang, serta mempercepat agenda infrastruktur menuju pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Selain itu juga melakukan optimalisasi dukungan pembiayaan dari bank pembangunan multilateral (MDBs), memperkuat kapasitas sistem kesehatan dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi, serta melanjutkan dukungan untuk menarik investasi sektor swasta di negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di kawasan Afrika.
Perry berharap, agenda prioritas dan legacy issue Presidensi G20 Indonesia dapat menyeimbangkan agenda global dengan prioritas dan kepentingan domestik. Serta juga menyelaraskan kepentingan berbagai pihak, baik negara maju maupun negara berkembang.
Harapan Menkeu terhadap forum G20 adalah agar exit policy negara maju tak merugikan banyak negara. “Karena kalau hanya fokus kebijakan di negara mereka, tapi tak melihat dunia luar, dampaknya juga lebih lemah,” katanya.
Dia menyarankan negara maju, seperti Eropa, bisa melihat lebih seksama penyebab inflasi. Hal tersebut untuk memastikan apakah kenaikan harga disebabkan meningkatnya daya beli ataukah kondisi jangka pendek, seperti logistik atau biaya tenaga kerja.
“Dengan harapan tidak langsung menggunakan instrumen moneter, padahal masalahnya mikro,” katanya.
Potensi penarikan stimulus ini bisa saja berdampak besar lantaran tak semua negara telah mendapatkan vaksinasi yang sepadan. Oleh sebab itu, komunikasi pembuat kebijakan keuangan antarnegara harus lebih intens dilakukan. “Agar ketika ada penyesuaian kita tidak jauh tertinggal,” katanya.
Sebagai ilustrasi soal penanganan pandemi dunia di masa datang, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, anggaran yang dibutuhkan dunia untuk mempersiapkan diri menghadapi pandemi mencapai USD 15 miliar atau Rp215 triliun (kurs Rp14.385 per dolar AS) per tahun.
"Berdasarkan estimasi dari panel independen yang dibentuk saat presidensi G20 Italia, kebutuhan dunia untuk dapat menciptakan kesiapan dari pandemi ke depan estimasinya sekitar USD15 miliar per tahun," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan anggaran USD15 miliar per tahun untuk pencegahan pandemi di masa mendatang dipakai untuk sejumlah kebutuhan. Terutama, untuk membangun sistem kesehatan yang lebih handal, khususnya di negara berkembang dan miskin.
"Karena kalau dikasih vaksin pun mereka (negara berkembang dan miskin) belum tentu bisa melakukan vaksinasi, karena seperti sekarang, sudah ada vaksin, tapi karena distribusinya dan lain-lain yang terhambat, ini menunjukkan sistem kesehatannya belum siap," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman melontarkan isu yang sama. Menurutnya, semua negara di dunia saat ini terus berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Persoalannya, virus Covid-19 juga terus bermutasi menciptakan varian-varian baru, salah satunya varian Omicron.
Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman mengatakan, dunia masih menghadapi tantangan Covid-19 yang terjadi saat ini. Keberhasilan menghadapi tantangan akan berdampak positif terhadap ekonomi global, atau sebaliknya.
"Saat ini Covid-19 masih menjadi tantangan yang juga harus dihadapi. Apalagi adanya varian baru yang bermutasi seperti Omicron. Ini juga perlu diwaspadai," ujar Sitharaman.
Sitharaman menambahkan, kehadiran vaksin untuk pencegahan varian Omicron sangat penting dan perlu dilakukan segera. “Di negara-negara berkembang, banyak yang masih harus berjuang untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat yang tinggal di pedalaman, yang jauh dari akses pemerintah setempat.”
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari