Dengan dimotori AIPI, sayap ilmuwan S20 mulai berkiprah mengiringi gerakan G20. Tugasnya menyiapkan basis ilmiah. Presiden Jokowi meminta keputusan KTT G20 harus bisa dieksekusi.
Kegiatan G20 tidak berjalan sendirian. Para ilmuwan dilibatkan untuk memberikan basis saintifik bagi perumusan kebijakan G20, terutama pada sidang-sidang pendahuluan di tahap working group dan ministerial meeting. Pelibatan kaum cendekiawan itu diorganisir melalui jalur khusus yang disebut Science20 (S20). Sayap ilmuwan S20 itu akan berkepak pararel dengan agenda G20.
Sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2022, Indonesia juga telah menyiapkan sayap ilmuwan S20 tersebut. Pengampunya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang menjadi induk bagi kaum ilmuwan. Kiprahnya sudah digulirkan, ditandai dengan peluncuran S20, yang dikemas dalam sebuah webinar yang digelar Kamis (16/12/2021).
Ketua AIPI Profesor Satrio Sumantri Brodjonegoro dipercaya menjabat sebagai Chairman di S20. Dalam pelaksanaan tugasnya, ia akan menghimpun masukan dari Academy Science negara-negara anggota G20, kemudian dirumuskan bersama-sama dan dibawa ke meja sidang G20. Sebagai sebuah badan, S20 ini didukung oleh AIPI, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Asian Development Bank (ADB).
‘’Proses pengambilan keputusan G20 harus berdasarkan pada data riset yang mendalam,’’ kata Profesor Satrio Brodjonegoro, yang meraih doktor teknik mesin dari Universitas California Berkeley itu. Kakak kandung mantan Menristek/Kepala BRIN Bambang Permadi Brodjonegoro itupun menggarisbawahi bahwa tema S20 sejalan dengan tiga fokus Pemerintah Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20.
Dengan demikian, fokusnya akan terkait dengan isu transformasi ekonomi melalui digitalisasi sektor ekonomi, ketahanan kesehatan global yang kuat dan inklusif, energi terbarukan, dan pembangunan rendah karbon. Semua,terkait dengan isu pokok perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim itu, kata Profesor Satrio, telah terbukti mencakup persoalan yang sangat luas. Isu terbaru adalah gangguan serius pada kesehatan umat manusia karena munculnya zoonosis, yakni mikroba patogenik yang menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya, karena habitat kehidupan yang terguncang. Zoonosit yang mengguncang dunia saat ini adalah Covid-19.
Untuk menjamin agar tatanan di planet bumi ini tidak semakin runyam, kata Satrio, perubahan iklim harus dicegah agar tidak semakin menjadi-jadi. Tata ruang di planet bumi harus diatur lebih cermat dengan melibatkan para ilmuwan. Sebuah kebijakan tidak bisa hanya mengandalkan ekonomi dan politik. ‘’Kebijakan harus berlandaskan data riset dan sains,’’ kata Prof. Satrio Brodjonegoro.
Manteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, yang memberikan sambutan pada acara webinar itu, juga menyoroti isu perubahan iklim. Dari perjalanannya ke berbagai penjuru tanah air, Menteri Nadiem menyatakan, banyak mendapatkan gambaran betapa dampak perubahan iklim itu telah dirasakan oleh petani, nelayan, dan juga dunia industri. ‘’Alam yang dulu ramah kini menjadi pemarah, dan menimbulkan kesulitan,’’ katanya.
Nadiem memberikan penekanan, agar isu perubahan iklim masuk lebih dalam ke dunia pendidikan, agar lebih dipahami dan terinternalisasi di kalangan anak muda. Dengan bekal yang cukup, mereka bisa berlaku lebih bijaksana terhadap alam. ‘’Isu perubahan iklim ini bukan hanya terkait ke planet bumi, tapi juga pada nasib umat manusia di masa depan,’’ katanya.
Reformasi Tata Kesehatan
Di depan komunitas ilmuwan itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin memaparkan draf yang berjudul Reformasi Arsitektur Kesehatan Global. Ada tiga isu utama yang kini digarap Pemerintah Indonesia untuk dipersiapkan menjadi keputusan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, yang akan dihelat di Bali sekitar Oktober 2022 itu.
Salah satu isunya adalah soal pencegahan, persiapan, dan respons terhadap pandemi. Dalam isu ini ada rencana program berbagi pengetahuan tentang pandemi, agar ilmu dan pengetahuan soal ini tidak terpusat di negara maju. Ada pula program pembangunan pusat-pusat industri obat, vaksin, perkakas medis dan alat diagnosis di negara berkembang. ‘’Misalnya saja, mengembangkan pusat vaksin dan obat di Indonesia untuk kebutuhan Asia Tenggara,’’ kata Menkes.
Isu berikutnya adalah harmonisasi standar protokol. Di sini, menurut Menteri Budi Gunadi, perlu pendekatan risiko yang saling berkesesuaian dalam pengaturan perjalanan internasional, terkait pandemi. ‘’Prosedurnya kurang lebihnya sama, alatnya dengan standar yang sama, karantinanya juga sama,’’ ujarnya. Menkes juga menekankan sistem informasi yang berkesesuaian. ‘’Misalnya, aplikasi Peduli-Lindungi nyambung dengan aplikasi yang di luar negeri,’’ Menkes menambahkan.
Yang ketiga adalah isu tentang building global health system resillience (membangun ketahanan sistem kesehatan global). Isu ini terkait soal akses obat serta vaksin yang inklusif dan ketersediaan alat kesehatan, fasilitas serta tenaga kesehatan yang lebih merata. Negara-negara middle income dan low income harus bisa menjangkaunya.
‘’Kemarin kita merasakan. Ada uangnya saja cari barangnya itu susah,’’ ujar Menkes. Maka, perlu ada reformasi supaya semuanya bisa tersedia, baik bagi yang kaya maupun yang miskin. Untuk itu, Budi Gunadi menegaskan, Indonesia akan melanjutkan gagasan Italia (Presidensi G20 tahun 2021 tentang global health fund mechanism. Intinya, Global Health Fund ini adalah lembaga dunia yang sah, yang dihadirannya diputuskan dalam Sidang Umum PBB, dan bekerja untuk membantu negara-negara anggota PBB, terutama yang middle income dan low income.
‘’Kalau ada negara mengalami masalah moneter atau fiskal, kan ada IMF atau Bank Dunia yang bisa bantu. Tapi, kalau ada yang menghadapi masalah kesehatan, siapa yang bisa membantu,’’ kata Budi. Maka, Indonesia akan mendorong global health fund ini bisa segera terwujud. Skema penyetoran modal dasar dan iurannya pun sudah dibikin draf.
Presiden Joko Widodo, menurut Menkes, sudah memerintahkan agar di masa Presidensi Indonesia, segala draf harus dibuat matang dan rinci, sehingga tidak hanya berhenti sampai meja diskusi. ‘’Kita akan mendorongnya menjadi keputusan yang bisa dieksekusi,’’ Menteri Budi Gunadi menambahkan.
Maka, Menkes berharap, sayap S20 bisa memberikan kontribusi berupa basis-basis ilmiah yang rinci dan valid. ‘’Jangan hanya sebatas pada komunike. Keputusan KTT G20 harus bisa menjadi aksi yang memberikan hasil nyata, deliverable,’’ ujar Budi Gunasi Sadikin.
S20 bukan satu-satunya sayap yang mengikuti gerakan G20. Forum tersebut juga melibatkan pelaku usaha (business) dan kelompok pemuda (youth) sebagai engagement group. Masing-masing disebut B20 dan Y20.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari